2. Merusak Logika Sistem Pemerintahan Presidensial
Tambah lagi, apabila diletakkan dalam disain sistem pemerintahan, mempergunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai persyaratan dalam mengisi posisi eksekutif tertinggi (chief executive atau presiden) jelas merusak logika sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem presidensial, melalui pemilu langsung, mandat rakyat diberikan secara terpisah masing-masing kepada pemegang kekuasaan legislatif dan kepada pemegang kekuasaan eksekutif (presiden).
Prof Dr Saldi Isra, SH, MPA (lahir di Paninggahan, Solok, Sumatera Barat, 20 Agustus 1968) adalah seorang ahli hukum tata negara Indonesia, aktivis antikorupsi, penulis serta guru besar Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat. Saldi lahir dari pasangan Ismail dan Ratina. Sekolah dasar hingga menengah ditempuh di kampung halamannya. Selanjutnya, ia menyelesaikan gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, dengan predikat summa cum laude. Kemudian ia mengambil gelar Master di Universitas Malaya, Malaysia (2001) dan meraih gelar Doktor di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (S3-2009). Pada 2010, ia dikukuhkan sebagai guru besar hukum tata negara Universitas Andalas. Selain menjadi direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako), kini dia aktif menulis.
Karena sama-sama berasal dari pemilihan langsung, mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan legislatif belum tentu sama, bahkan sejumlah fakta empirik membuktikan acapkali berbeda, dengan mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan eksekutif. Menggunakan hasil pemilu legislatif guna mengisi posisi pemegang kekuasaan eksekutif merupakan logika dalam pengisian posisi pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dalam sistem parlementer.
Artinya, dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan ambang batas (presidential threshold) dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial. Padahal salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem pemerintahan presidensial Indonesia.
3. Amerika Serikat Tidak Mengenal Presidential Threshold
Pertanyaan elementer yang niscaya diajukan: mengapa ambang batas pengajuan calon presiden (dan wakil presiden) dipertahankan ketika keberadaannya menyimpang dari logika sistem presidensial? Bahkan studi komparasi menunjukkan, misalnya Amerika Serikat, negara yang selalu menjadi rujukan utama praktik sistem pemerintahan presidensial sama sekali tidak mengenal aturan ambang batas dalam pengusulan calon presiden (dan wakil presiden).
Amerika Serikat sama sekali tidak mengenal aturan ambang batas dalam pengusulan calon presiden
Bahkan hasil studi Djayadi Hanan (2017) menunjukkan negara-negara di Amerika Latin, yang kebanyakan menganut model sistem pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk, seperti Indonesia, tidak mengenal presidential threshold dalam mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden.
Bahwa logika lain yang selalu dikembangkan, ambang batas pengajuan calon presiden (dan wakil presiden) diperlukan untuk menjaga stabilitas pemerintah dalam membangun hubungan dengan lembaga legislatif. Pendukung logika ini percaya, bila presiden didukung oleh kekuatan signifikan partai politik lembaga perwakilan, akan lebih mudah mendapat dukungan di lembaga perwakilan. Pandangan demikian hadir disebabkan praktik sistem presidensial lebih banyak ditandai dengan masalah dasar, yaitu bagaimana mengelola relasi antara presiden dan pemegang kekuasaan legislatif.
Jamak dipahami karena sama-sama mendapat mandat langsung rakyat, praktik sistem presidensial acap kali terjebak dalam ketegangan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Praktik demikian sering terjadi jika kekuatan partai politik mayoritas di lembaga legislatif berbeda dengan partai politik (pendukung) presiden. Sementara itu, jika partai politik mayoritas di legislatif sama dengan partai politik presiden atau mayoritas partai politik legislatif mendukung presiden, praktik sistem presidensial mudah terperangkap menjadi pemerintahan otoriter.
Secara doktriner dipahami, sistem pemerintahan presidensial berayun antara dua pendulum, di satu sisi pemerintahan yang tidak stabil, sementara di sisi lain mudah terperangkap ke dalam praktik pemerintahan otoriter. Kondisi dilematis ini dikenal sebagai paradox of presidential power.
Related Posts

Komisi Reformasi Polri Dan Bayang-Bayang Listyo Syndrome

Dusta Yang Ingin Dimediasi

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (4): Stabilitas Politik dan Keamanan Nasional Yang Menyelamatkan Indonesia

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (3): Membangun Stabilitas Politik dan Menghindarkan Indonesia dari Kekacauan Pasca 1965

Negara Yang Terperosok Dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rakyat Setengah Mati, Kekuasaan Setengah Hati

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%




ทดลองเล่นสล็อต ไม่เด้งJanuary 19, 2025 at 6:17 pm
… [Trackback]
[…] There you will find 92274 more Information to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/tuntutan-pt-0-meluas-hakim-mk-saldi-dan-suhartoyo-preshold-merusak-rasionalitas-dan-kedaulatan-rakyat/ […]
cornhole wrapsJanuary 19, 2025 at 7:07 pm
… [Trackback]
[…] Info on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/tuntutan-pt-0-meluas-hakim-mk-saldi-dan-suhartoyo-preshold-merusak-rasionalitas-dan-kedaulatan-rakyat/ […]
บาคาร่าเกาหลีJanuary 22, 2025 at 12:05 am
… [Trackback]
[…] Find More Information here to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/tuntutan-pt-0-meluas-hakim-mk-saldi-dan-suhartoyo-preshold-merusak-rasionalitas-dan-kedaulatan-rakyat/ […]