Oleh: Irnanda Laksanawan, PhD*
Strategic Advisor – Centre for Energy and Innovations Technology Studies (CENITS) / Dosen Penguji Doktor Strategic Management – Universitas Indonesia
Meski harga Pertamax sudah naik dari Rp 9.000,- menjadi Rp 12.500,-, namun harga eceran tersebut masih di bawah harga keekonomian. Selisihnya ditanggung Pertamina. Rencana kenaikan Pertalite, Solar dan LPG juga belum mampu mengkompensasi melonjaknya subsidi energi akibat kenaikan harga minyak mentah dunia. Kenaikan subsidi energi dipengaruhi oleh perkembangan asumsi dasar ekonomi makro, yaitu harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan nilai tukar rupiah, volume konsumsi, serta pembayaran kekurangan subsidi tahun-tahun sebelumnya.
Pada periode 2017-2022, subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan LPG sudah melampaui Rp 100 triliun. Beban subsidi makin bertambah setelah kenaikan ICP melampaui US$ 100 per barel sebagai dampak dari konflik geopolitik Rusia-Ukraina.
Untuk tahun 2022, pemerintah telah mematok anggaran subsidi energi, yang terdiri dari BBM, LPG, dan listrik sebesar Rp 134 triliun atau 7,2 persen dari APBN 2022.
Padahal perkiraan subsidi di APBN 2022, dengan asumsi ICP US$ 63 per barel. Ditambah lagi terjadinya over kuota solar subsidi, Pertalite dan LPG 3 kg.
Tak heran, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif memproyeksikan subsidi energy dan kompensasi bisa membengkak sampai Rp 320 triliun di tahun 2022 ini.
Subsidi Bahan Bakar Fosil versus Komitmen Energi Bersih
Di tengah komitmen energy bersih untuk mengurangi dampak perubahan iklim, keberadaan subsidi bahan bakar fosil menjadi kontradiktif. Adanya subsidi dan kompensasi pada produk berbahan bakar fosil membuat harga jualnya dapat ditekan di bawah harga keekonomian. Di sisi lain, pemerintah berupaya mendorong harga energy baru dan terbarukan (EBT) menjadi kompetitif.
Subsidi bahan bakar fosil yang mendistorsi pasar energi semakin mengurangi daya saing EBT. Negara-negara kelompok G-20 berkomitmen untuk secara bertahap menghapuskan subsidi bahan bakar fosil.
Pada COP-26 di Glasgow, sejumlah pimpinan perusahaan global dalam World Economy Forum (WEF) menyerukan untuk menstop subsidi bahan bakar fosil. WEF mendorong negara-negara di dunia mengurangi separuh emisi di tahun 2030. Pemerintah Indonesia juga mencanangkan target net zero emisi di tahun 2060.
Baca Juga: Perlu Inovasi Kebijakan Penentuan Harga BBM
Pengurangan subsidi bahan bakar fosil jadi tren di sejumlah negara. China, sebagai negara terbesar pengguna migas dan batubara yang selama ini menyubsidi industri energinya, sudah melakukan reformasi secara bertahap melalui pajak konsumsi pengguna BBM dan reformasi kebijakan transportasi.
India melakukan reformasi dengan memotong subsidi hingga 76 persen. Subsidi untuk BBM dicabut sepenuhnya pada tahun 2016 dan menyisakan subsidi hanya untuk sektor strategis.
India juga meningkatkan alokasi anggaran untuk mengembangkan EBT sebesar 410 persen. Pengembangan EBT di India menunjukkan kemajuan yang agresif dengan target instalasi EBT mencapai 227 gigawatt pada tahun 2022.
Kebijakan Subsidi dalam Mendukung Transisi Energi
Mempertimbangkan kondisi, cadangan dan produksi migas yang makin menurun, dan berkurangnya kontribusi sektor energi fosil terhadap ekspor, maka mempertahankan subsidi fosil dinilai kurang efisien.
Sebagian besar subsidi BBM dinikmati oleh masyarakat menengah atas. Begitu juga dengan kompensasi listrik yang dinilai masih belum tepat sasaran. Dana kompensasi yang digelontorkan pemerintah menyasar -industri besar dengan persentase 46% dan 15% untuk bisnis besar.
Subsidi membuat semakin sulit melepaskan ketergantungan terhadap energi fosil. Target bauran EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025 makin sulit dikejar. Diperlukan ketegasan terhadap upaya transisi energi dengan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen di tahun 2030.
Postur subsidi energi ke depan idealnya selaras dengan arah dan kebijakan pemerintah dalam upaya transisi energi dan tujuan pembangunan berkelanjutan. Untuk itu, perlu dilakukan langkah-langkah strategis.
Baca Juga: Keuntungan dan Laba Pertamina Merosot Amblas!
Pemerintah tidak perlu ragu untuk menyesuaikan harga BBM non-subsidi, LPG 3 kg dan tarif listrik mendekati harga keekonomiannya. Namun untuk menjaga daya beli masyarakat dan mitigasi potensi inflasi, pelaksanaannya dapat dilakukan secara bertahap.
Pemerintah perlu melanjutkan reformasi subsidi dari sebelumnya berbasis komoditas menjadi berbasis orang.
Dengan perubahan kebijakan subsidi berbasis orang, semisal kerja sama dengan organisasi angkutan darat (organda), maka subsidi akan lebih tepat sasaran.
Untuk penyaluran subsidi LPG bagi rumah tangga, ditargetkan untuk warga dengan kategori prasejahtera dengan basis DTKS serta mengoptimalkan penggunaan kartu keluarga sejahtera.
Upaya pengurangan subsidi bahan bakar fosil dan dialihkan untuk sektor produktif harus diteruskan. Selama beberapa tahun terakhir, subsidi energi dialihkan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Ke depan, pemerintah perlu mengevaluasi ulang efektivitas pengalihan subsidi yang benar-benar memberikan dampak strategis bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang, misalnya mengalokasikan subsidi khusus untuk pengembangan industri EBT.
Sejalan dengan visi global menuju net zero emisi, diperlukan perubahan kebijakan subsidi energi untuk mendukung ekonomi hijau. Diperlukan berbagai kebijakan fiskal, seperti tax allowance dan pembebasan bea masuk untuk sektor EBT.
Berikut dukungan insentif fiscal untuk akselerasi penggunaan kendaraan listrik. Penetrasi kendaraan listrik yang drastis tentu akan mengurangi porsi kendaraan berbahan bakar fosil. Akibatnya konsumsi BBM juga turun.
Setelah dikeluarkannya Perpes Nilai Ekonomi Karbon, mendesak untuk mematangkan implementasi aturan teknisnya . Saat ini, sekitar 25 negara telah menerapkan pungutan karbon.
Finlandia, Swedia dan Norwegia yang sudah lama menerapkan pajak karbon berhasil menurunkan tingkat emisi karbon sebesar 25%. Pajak karbon terbukti mampu menurunkan polusi dan emisi serta dapat menambah penerimaan negara.
Reformasi subsidi memang gampang diucapkan, namun perlu meretas jalan terjal untuk mewujudkannya.
Profil Penulis*
Irnanda Laksanawan, PhD, Strategic Advisor – Centre for Energy and Innovations Technology Studies (CENITS). Alumnus Program Doktor Business Management – University of South Australia, ini juga aktif sebagai Dosen Penguji Doktor Strategic Management – Universitas Indonesia
EDITOR: REYNA
Related Posts

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (3): Membangun Stabilitas Politik dan Menghindarkan Indonesia dari Kekacauan Pasca 1965

Negara Yang Terperosok Dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rakyat Setengah Mati, Kekuasaan Setengah Hati

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%

Novel “Imperium Tiga Samudra” (13) – Perang Senyap Mata Uang

Mencermati Komisi Reformasi Polri

Cinta, Kuasa, dan Kejatuhan: Kisah Gelap Yang Menyapu Ponorogo




Perlu Inovasi Kebijakan Penentuan Harga BBM - Berita TerbaruApril 23, 2022 at 2:44 pm
[…] Baca Juga: Kenaikan Harga BBM: Momentum Akselerasi Transisi Energi […]
my profileJanuary 28, 2025 at 7:01 pm
… [Trackback]
[…] Here you will find 66404 more Information to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/kenaikan-harga-bbm-momentum-akselerasi-transisi-energi/ […]