Serial Wali Paidi (Bab 4): Periode Kewalian, Episode 15: Sepeda Angin

Serial Wali Paidi (Bab 4): Periode Kewalian, Episode 15: Sepeda Angin
Gambar ilustrasi Pondok Pesantren

Ditulis Ulang Oleh: Ir HM Djamil, MT

 

Ceritanya setelah sandi Apel, Wortel dan Onde-onde diterima oleh Juragan toko Onderdil yang juga adalah Kyai Mursyid, Haryanto diminta datang ke pondok untuk wawancara awal serta menentukan dia sebaiknya ngaji apa.

Dengan membawa sekoper pakaian dan beberapa uang, dia sudah siap untuk mondok dan tidak ingin pulang sebelum mendapatkan ilmu. Kita tinggalkan dulu cerita awal-muawal bagaimana Haryanto mondok ke Kyai Mursyid, kita beralih ke kisah wali Paidi setelah beberapa bulan Haryanto mondok.

Al kisah, wali Paidi membeli sepeda kebo merk ‘Gazele’ buatan jerman, sepeda kuno ini jenis sepeda laki-laki, masih mulus ada lampu dinamo yang masih nyala dan sadel kulit asli, sepeda ini dia beli seharga dua juta rupiah termasuk murah bila dilihat dari barangnya.

Sepeda ini rencananya selain untuk alat transportasi dari rumah ke pasar, juga dipakai untuk olah raga sekaligus mejeng bersama para penggemar sepeda Kebo. Bila ke pasar sepeda ini diparkir di parkiran sepeda, penjaga parkirnya sangat kenal karena wali Paidi ini orangnya grapyak dan disenangi banyak orang termasuk korak-korak pasar sungkan dan tak ada yang berani mengganggunya.

Kamis sore setelah sholat Ashar di masjid depan pasar, wali Paidi ditemui oleh Haryanto yang kini telah menjadi Santri Pondok.

“Mas, nanti apa panjenengan ndak ke Pondok ? Nanti malam ada acara Yasinan Khaul Abah Yai, abahnya Kyai Mursyid.”

“Lho.. ya..iya..lah, saya nanti berangkat sendiri kesana naik sepeda”… jawab wali Paidi.

“Apa ndak bareng saya saja, saya bonceng… saya mau berangkat sekarang… soalnya saya panitia mas… magrib harus sudah di sana.”

“Ndak usah mas Yanto… insya Allah saya nanti berangkat sendiri.. naik sepeda sambil rekreasi,”… jawab wali Paidi sambil mengajak Haryanto ke warung untuk ngambil bungkusan persiapan buka yang tadi dia tinggalkan keburu sholat Ashar.

Kebiasaan wali Paidi bila Senin atau Kamis dia mbungkus persiapan buka dari warung langganannya.

“Ayo sampeyan ngopi-ngopi dulu…saya yang nraktir”… ujar wali Paidi sambal menggandeng tangan Haryanto.

“Ndak usah mas… sudah jam setengah empat, naik sepeda motor jelek ini bisa sejam setengan dari sini ke Pondok,”..tolak Haryanto halus sambil menunjuk kearah jam dinding besar yang dipasang di masjid tempat mereka tadi berjamaah.

Haryantopun pergi menuju sepeda motornya yang di parkir depan masjid, sambil melambaikan tangan Haryanto pun Pergi.

Wali Paidi mengambil sepeda di parkiran pasar terus pulang untuk mandi-mandi dan bersiap pergi ke Pondok.

Perjalanan dari pasar ke rumah wali Paidi ditempuh dengan sepeda perlu setengan jam, sedang dari rumah ke Pondok bila ditempuh dengan sepeda motor tidak ngebut perlu waktu satu jam an, seperti yang diterangkan Haryanto tadi.

Saat itu waktu sudah lebih dari jam setengah lima sore, namun wali Paidi santai mancal sepedanya menuju pondok untuk ikut hormat Khaul Abah Yai yang beliau anggap sebagai guru lakunya.

Sampai di depan pasar Mojoagung terdengar suara adzan Magrib, tapi wali Paidi tetap mengayuh sepedanya santai.

Sampai di kota Jombang adzan magrib belum juga usai wali Paidi terus mengayuh sepeda kebonya dengan santai dan bahkan sampai dipondok adzan magrib belum juga usai walaupun sudah sampai pada takbir terakhir.

Wali Paidi menjagrak dan mengunci sepedanya di tepi asrama lalu bergabung ke Aula pondok untuk buka bersama dan sholat magrib berjama’ah.

Kebiasaan di Pondok setelah Adzan magrib langsung dikomati, tapi untuk hari Senin, Kamis dan pada hari-hari anyamul Bidh, Komatnya diundur lima menit untuk mendahulukan buka atau takjil.

Mendahulukan buka lebih utama, apalagi bila makanan sudah dia siapkan.

Setelah sholat magrib, sambil menunggu isak makin banyak tamu-tamu yang berdatangan, Haryanto mendekati dan berusaha mencium tangan wali Paidi, namun wali Paidi cepat-cepat menarik tangannya dan merangkul Haryanto sambil diajak keluar aula atau masjid untuk diajak ngobrol sambil roko’an di dekat asrama dimana sepedanya dijagrak untuk parkir sementara.

“Nuwun sewu mas… amalan apa yang sampeyan rapal hingga bisa mengundur waktu”… tanya Haryanto pada wali Paidi.

Wali Paidi pura-pura tidak dengar dan terus memindahkan sepedanya ke tempat parkiran sepeda dan sepeda motor karena sebentar lagi halaman itu akan penuh dengan mobil-mobil dan bahkan banyak mobil yang terpaksa diparkir di luar pondok.

Haryanto terus mengejar wali Paidi dan menanyakan amalan wali Paidi kok bisa naik sepeda kebo seperti angin.

“Sampeyan sudah diajari amalan apa ?” ganti wali Paidi menanyakan pada Haryanto.

“Waktu pertama kali saya datang, saya ditanya oleh Pak Kyai tentang maksud kedatangan saya kemari… lalu saya ceritakan kehebatan sampeyan yang selalu bisa tahu angka dadu yang saya kopyok, padahal saya sudah curang pakai cungkup ilat-ilatan… lalu saya ceritakan kalau sampeyan menyeberangkan saya dari sungai… lalu saya katakan saya ingin punya ilmu seperti sampeyan,”… jawab Haryanto tanpa menyebut amalan apa yang telah diajarkan padanya.

“Sampeyan ikuti aja apa yang diajarkan dan diperintahkan pada sampeyan,.. nanti sampeyan akan menjadi diri sampeyan yang sebenarnya… dan tidak menjadi seperti siapapun…kalau ada hal-hal yang sampeyan ndak ngerti, langsung tanyakan ke pak Kyai sendiri… jangan di depan khalayak pada saat beliau mengajar… adap santri harus begitu,”.. belum tuntas wejangan wali Paidi dari arah lain seorang santri yang setengah berteriak memerintah.

“Tok.. kamu tugasnya di sana… markir di luar pondok mbantu Sholeh,” Haryanto meraih tangan wali Paidi berusaha menciumnya dan lari mengambil posisi tugasnya untuk menjadi petugas parkir karena mobil-mobil sudah mulai banyak berdatangan.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K