Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 18)

Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 18)
Ilustrasi: Cindelaras dan ayam jagonya

Oleh: Budi Puryanto

Penonton seperti terkena sihir. Diam membeku melihat gerakan kedua penari itu. Sepanjang hidupnya, mereka belum pernah melihat tarian yang hebat ini. Lagipula, gerakan kedua penari itu seperti menebarkan tenaga gaib yang mencekam.

Kepala rombongan pengamen itu, Ki Joyo, yang sebenarnya adalah Kiageng Pandan Alas merasakan ada titik terang siapa kedua anak muda yang sedang menari itu. Keduanya pasti putra-putra raja. Karena tarian ini tidak bisa ditarikan oleh orang yang bukan keturunan raja. Tapi siapa sebenarnya mereka?

Ki Joyo terus melihat gerakan tari yang luar biasa ini. Semakin lama tenaga gaib yang dikeluarkan kedua penari itu terasa semakin besar. Ki Joyo ingin tahu apa yang akan terjadi di akhir tarian ini.

Tiba-tiba, seiring menurunnya irama gamelan, gerakan tari itu juga semakin pelan dan akhirnya berhenti pada posisi menghormat penonton. Kedua telapak tangan berada didada, lalu mereka menundukkan badan.

Penonton tidak sadar tarian sudah selesai. Kedua penari sudah keluar arena, barulah mereka bertepuk tangan. Penonton saling menoleh kekanan dan kiri, seperti bertanya apa yang terjadi. Tapi tidak ada yang bisa menjawabnya. Semuanya merasa bingung. Tarian itu benar-benar menyedot kesadaran bagi yang melihatnya.

Seiring selesainya tari tadi, pagelaran pengamen hari itu diakhiri. Penonton pulang dengan perasaan senang, ringan, dan bahagia. Seolah seluruh beban hidupnya sudah terangkat dari pundaknya.

Ki Joyo yang dari tadi memperhatikan kedua anak muda yang menari tadi bergegas menyusul keduanya. Mengajaknya mampir ke rumah yang disewa untuk menginap para punggawa pengamen. Rumah itu besar. Berbentuk joglo dan limasan. Jumlah kamarnya cukup banyak. Sehingga bisa menampung seluruh punggawa pengamen.

Terbukanya jatidiri

Ki Joyo tidak menunda-nunda waktu. Sesampainya di rumah tempat mereka menginap, dia langsung mengundang tiga anak muda itu ke kamarnya. Sebagai ketua rombongan Ki Joyo menempati kamar tersendiri.

Dihadapan ketiga anak muda itu Ki Joyo memulai pembicaraan dengan tenang dan berwibawa. Dia memperkenalkan namanya. Lalu berbicara.

“Anakmas bertiga, saya selaku ketua rombongan pengamen ini menyampaikan rasa terima kasih yang sangat besar. Anakmas telah memberikan tampilan yang luar biasa. Penonton sangat terhibur. Bila anakmas lihat wajah-wajah mereka, tampak sangat senang dan puas,” kata Ki Joyo.

“Kami juga begitu. Kami serombongan sangat senang. Bahkan anakmas memberikan bingkisan berupa uang yang cukup banyak. Kami menghaturkan rasa terima kasih yang tidak terkira.”

“Kami sengaja mengundang anakmas bertiga, karena ada keganjilan yang saya rasakan. Tarian terakhir tadi, itu bukanlah tarian sembarangan. Tidak semua orang bisa menarikan itu. Itu hanya bisa ditarikan oleh putra-dan putri para raja.”

Cindelaras dan Aryadipa kaget sekali. Namun tidak dengan Respati. Dia sudah tahu semuanya. Namun dipikiran Respati terlintas pertanyaan besar. Ini saatnya dia menanyakan.

“Maaf paman. Terus terang saya kaget, mengapa tiba-tiba tembang Durma dan gending Anglirmendung dimainkan,” tanya Respati.

Ki Joyo diam sebentar. Dia seperti mencari-cari kalimat yang cocok untuk menjelaskan.

“Begini anakmas. Kami rombongan pengamen ini bukanlah mengamen untuk mencari penghidupan, atau belas kasihan orang lain. Kalau anakmas perhatikan, rombongan kami ini cukup banyak. Perangkat gamelan yang kami bawa juga cukup lengkap. Kami mengamen ini sebenarnya bukan sekedar menghibur rakyat yang sedang mengalami kesusahan dalam hidup. Tapi ada tujuan lain.”

“Kami ingin menggugah kesadar rakyat yang saat ini tampak tak punya harapan hidup dan cita-cita masa depannya. Rakyat Jenggala sedang saat ini sedang mengalami penderitaan yang berat disebabkan oleh banyak hal. Kami tidak ingin rakyat putus asa akibat tekanan berat yang dipikulnya. Karena itu setiap pagelaran, kami selipkan pesan-pesan yang memberikan semangat. Lewat tembang, kidung, maupun carita.”

Ketiga anak muda itu mendengarkan dengan seksama penjelasan Ki Joyo.

“Sesungguhnya Negeri Jenggala saat ini dalam keadaan bahaya. Bisa diibaratkan sedang berjalan menuju jurang kehancuran. Ini disebabkan para pemimpin di negeri ini tidak menjalankan darma baktinya dengan baik. Sebaliknya mereka mengumbar nafsu keserakahan dan ambisi kekuasaan tanpa mempertimbangkan aturan dan etika.”

“Raja dikendalikan seperti boneka. Kekuasaan direbutnya melalui cara-cara licik dan kejam. Tidak ada lagi martabat yang dijunjungnya. Sesungguhnya pemimpin kerajaaan saat ini bukan lagi raja, meskipun raja masih duduk di singgasaanya. Raja hanya menjadi pelayan sekelompok orang disekelilingnya. Kelompok ini hanya memikirkan kepentingannya sendiri, sama sekali tidak memikirkan nasib rakyat dan massa depan kerajaan. Ini sungguh membahayakan. Karena itu, rakyat harus dibangunkan kesadarannya. Mereka harus tahu keadaan negerinya saat ini.”

“Tetapi pada saat yang sama rakyat tidak boleh putus asa. Harapan tidak boleh mati oleh keadaan saat ini. Sebaliknya, keadaan saat ini yang harus dirubah untuk memberikan harapan baru kedepan.”

“Misi kami, para pengamen kecil ini untuk membangun harapan itu. Karena itu kami akan terus mengamen dari desa ke desa. Entah sampai kapan kami mengamen, kami tidak tahu. Tetapi karena kami melakukan ini dengan kesadaran penuh, maka dari itu kami tidak pernah merasa kelelahan. Kami menganggapnya ini bagian dari darma kami dalam menjalani kehidupan.”

Cindelaras yang dari tadi diam mendengarkan perkataan Ki Joyo, akhirnya tidak sabar.

“Maaf paman. Siapakah sebenarnya paman dan rombongan pengamen ini. Saya merasa paman mengetahui banyak hal tentang keadaan negeri Jenggala. Lalu, untuk apa paman menceritakan semua ini kepada kami. Padahal diantara kita baru saja bertemu,” kata Cindelaras, yang dibenarkan kedua temannya.

“Baiklah anakmas. Barangkali memang sudah waktunya semuanya harus dibuka. Kami adalah rombongan pengamen dari negeri Daha. Namaku yang sebenarnya adalah Ki Pandan Alas. Ada yang menyebutnya Kiageng Pandan Alas. Sebagai ketua rombongan pengamen, aku dipanggil Ki Joyo,” jawab Ki Joyo.

Baca Juga:

Kalau tidak keberatan, anakmas silakan memperkenalkan diri.

“Saya Cindelaras, sebelah kiriku ini bernama Respati, dan sebelah kananku ini bernama Aryadipa,” jawab Cindelaras.

“Anakmas, ijinkan saya berbicara lebih jauh tentang negeri Jenggala. Perubahan yang harus terjadi di negeri Jenggala. Dan kaitannya dengan anakmas bertiga,” kata Ki Joyo.

“Apa hubungannya dengan kami bertiga, Ki Joyo, eh maaf Kiageng Pandan Alas,” kata Cindlearas.

“Panggil saja aku Ki Joyo.”

“Baiklah, Ki Joyo, sekali lagi apa hubungannya perubahan negeri Jenggala ini dengan kami bertiga?” tanya Cindelaras mengulangi.

“Ya anakmas Cindelaras, karena Anakmas yang akan menjadi pelaku utama dari perubahan di negeri Jenggala ini,” jawab Ki Joyo.

“Mengapa saya Ki Joyo, bukan yang lain,” tanya Cindelaras.

“Karena anakmas Cindelaras sesungguhnya putra raja Jenggala. Anakmas yang akan menggantikan kedudukan raja yang sekarang. Kursi raja Jenggala adalah milik yang sah dari anakmas, Cindelaras,” kata Ki Joyo tenang dan berwibawa.

Baca kisah selanjutnya:

Respati dan Aryadipa sangat kaget mendengar perkataan Ki Joyo. Terutama Respati, perubahan wajahnya sangat tampak. Wajah kuning bersih itu berubah menjadi merah. Matanya bersinar. Dan gerak tubuhnya mendadak menjadi salah tingkah dan gelisah.

“Cindelaras, benarkah yang dikatakan paman Ki Joyo itu,” tanya Respati.

Cindelaras hanya diam. Dia tidak menanggapi pertanyaan Respati.

“Anakmas, Cindelaras. Ijinkan saya untuk menjelaskan pertanyaan anakmas Respati yang juga dipanggil Dewi Candra Kirana, yang bernama asli Dewi Sekartaji. Mohon maaf Kanjeng Putri Sekartaji, saya harus membuka semuanya disini,” jawab Ki Joyo.

“Aku masih ada hubungan kerabat dengan ibunda Cindelaras, yang berasal dari Daha. Aku juga masih ada hubunan kerabat dengan mendiang ibumu, kanjeng Putri.” kata Ki Joyo.

“Aku mengetahui semua ini dari Gurumu Kiageng Ronggo, dan dari Ki Patih Jenggala. Ketahuilah, Ki Patih adalah orang yang menyelamatkan Permaisuri Jenggala, ibunda anakmas Cindelaras. Dia tidak menjalankan perintah raja untuk membunuh permaisuri yang sedang mengandung bayi. Sebaliknya, dia justru menyelamatkan permaisuri. Bayi itu kelak lahir dengan nama Cindelaras,” kata Ki Joyo.

“Mengapa kanjeng permaisuri dijatuhi hukuman dibunuh,” tanya Respati.

“Kanjeng Permaisuri difitnah, dituduh tanpa dasar. Saat itu Raja baru saja memiliki seorang selir baru yang cantik, muda, cerdas, tapi wataknya sangat jahat. Dia memiliki ambisi politik kelewat batas. Selir itu tiba-tiba jatuh sakit. Karena tidak mau makan, badannya menjadi sangat kurus. Dihembuskan desas-desus sakitnya selir itu disebabkan perbuatan Permaisuri. Raja marah, akhirnya diam-diam meminta Ki Patih untuk membawa permaisuri jauh dari istana, dan membunuhnya. Itu dilakukan dengan makksud agar tidak diketahui oleh rakyat. Sebab, Kanjeng Permaisuri dicintai rakyat Jenggala,” jelas Ki Joyo.

“Cindelaras, benarkah itu semua,” tanya Respati.

“Seperti itulah,” jawab Cindelaras.

“Kalau begitu, kamu harus mendatangi raja dan menjelaskan ini. Kamu puta raja Jenggala, dan hakmu untuk menggantikan menjadi raja kelak,” kata Respati bersemangat.

“Itu benar, anakmas Respati. Tetapi kondisi di istana saat ini sudah berbeda. Selir itu sekarang sudah menjadi Permaisuri. Dan dia punya anak lelaki, yang kedudukannya sebagai Pangeran Anom,” jawab Ki Joyo.

“Untuk itulah, saya bersama Ki Patih dan Kiageng Ronggo menyatukan tekad untuk memperbaiki keadaan negeri Jenggala ini. Kami akan untuk menegakkan kebenaran. Kami akan berjuang untuk mendudukkan pewaris yang sah, yaitu anakmas Cindelaras sebagai raja di Jenggala ini,” kata Ki Joyo.

“Gerakan perubahan ini sedang dijalankan dan dipimpimpin langsung oleh Kanjeng Patih. Dia bertekad, sebelum dia mati ingin melihat Cindelaras duduk di singgasana kerajaan Jenggala dan ibunda permaisuri kembali ke istana,” kata Ki Joyo.

Respati yang juga bernama Dewi Candra Kirana yang bernama asli Dewi Sekartaji itu tiba-tiba tersenyum kecil. Entah bagaimana tiba-tiba dia ingat omongan Aryadipa,”Nanti Cindelaras yang menjadi raja, permaisurinya Respati.”

Dewi Sekartaji melirik Cindelaras yang ada disampingnya. Dia tambah kagum. Ternyata pria muda yang dikagumi ini adalah seorang pangeran. Dia tidak menduganya sama sekali.

Ki Joyo melihat perubahan besar dalam sikap Dewi Sekartaji kepada Cindelaras. Sebagai orang yang waskita, dia memiliki kemampuan membaca perlambang alam. Namun dia memilih diam, menyerahkan takdir kedua anak muda ini kepada yang Maha Kuasa.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K