Menurut Capres Anies BUMN Itu “Benefit Oriented”!

Oleh : Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST

Di beberapa kesempatan Capres Anies Rasyid Baswedan (ARB) menyampaikan Visi nya terkait pengelolaan BUMN. Dan ini menjadi kelebihan ARB dibanding dua Capres yang lain. Sekaligus memperlihatkan Ideologinya yang Etatisme/Ta’jul Furudz , yang “in line” dengan Panca Sila dan UUD 1945.

Disampaikan bahwa menurutnya fungsi Pemerintah/Negara adalah untuk melindungi rakyat sekaligus menolong kehidupan ekonominya. Dan ini bisa dilakukan melalui Birokrasi Pemerintah dan BUMN. Yang semuanya dibiayai dengan pajak, sedang untuk operasional BUMN dipungut juga dari rakyat selaku konsumen namun tidak bersifat komersial, atau semacam iuran saja atas produk komoditas BUMN tersebut (misal untuk PLN berupa iuran listrik bukan tarip komersial).

Sehingga untuk operasional PLN kedepan (bila Anies RI 1) system perhitungannya kembali ke “Benefit/Cost Ratio” (B/C) seperti ketika PLN masih Jawatan bersama PN Gas. Yaitu bila B/C lebih besar dari 1 (satu) maka dinilai berkinerja bagus. Tetapi sebaliknya bila B/C lebih kecil dari 1 (satu) maka di anggap gagal.

Dimana :

B = Benifit (Manfaat).
C = Cost (Biaya Operasi).

Kondisi Riil System Kelistrikan Saat Ini 

Namun Visi seperti diatas adalah Visi “Etatisme” (Nasionalis) atau “Ta’jul Furudz” (Ideologi Islam) yang telah mewujud/menyatu dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yaitu “Cabang Produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai Negara”.

Sementara saat ini kenyataannya “Cabang produksi yang penting di sektor kelistrikan sudah bukan milik Negara lagi tetapi sudah milik Senhua, Huadian, Chengda, Meryland, Hyundai, CNEEC, Shinomach, Siemens, Marubeni, Mitsubishi, GE, Embalut (Dahlan Iskan), Toba Bara (Luhut), Poso (JK), Bimasena (Boy Tohir/Erick Tohir), Tanjung Jati Adaro (Sandi Uno ). Sedang jaringan Ritail di kota2 (khususnya Jawa-Bali) sudah dimiliki oleh Taipan 9Naga yg bekerja sama dengan Dahlan Iskan.

Sedangkan PLN (khususnya Jawa-Bali) hanya memiliki dan menguasai jaringan Transmisi dan Distribusi saja. Itupun posisinya sudah di sewa oleh Kartel Listrik Swasta diatas guna melakukan “Kompetisi Penuh” atau MBMS (“Multy Buyer and Multy Seller”) System, yang mengakibatkan lonjakan tarip listrik yang harus di tutup dengan subsidi yang rata rata Rp 200T per tahun.

Untuk itu sebenarnya MK telah melarang mekanisme kelistrikan seperti diatas dengan Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 tgl 15 Desember 2004 serta Putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 tgl 14 Desember 2016.

Namun demikian Pemerintah dan DPR tetap mengeluarkan UU penggantinya yaitu UU No 6/tahun 2023 ttg “Omnibuslaw” (OBL) atau Cipta Kerja (Kluster Ketenagalistrikan) yang isinya “Unbundling” dan “Liberalisasi” Kelistrikan persis UU Kelistrikan yang sudah dibatalkan MK diatas.

Yaitu berisikan “semangat” pembubaran PLN dan menyerahkannya ke Aseng/Asing dan Taipan 9Naga yang berakibat subsidi rata2 Rp 200T pertahun.

Nah mulai 2021 Pemerintah rupanya mulai tidak mampu lagi memberikan subsidi listrik akibat MBMS diatas. Untuk itu dibuat Holdingisasi atau HSH (“Holding Sub Holding”).

Yang untuk Jawa-Bali berfungsi untuk “mereduksi” peran Holding kedalam HSH Pembangkit (Genco 1 dan Genco 2), HSH Energy Primer, serta HSH Distribusi (Beyond Kwh).

Yang untuk selanjutnya HSH Jawa-Bali ini akan di IPO (“Initial Public Offering”) kan dalam “Bursa Effect” sehingga secara operasional lepas dari tanggung jawab PLN !

Selanjutnya saat ini sedang dibahas RUU EBT (Rencana Undang Undang Energy Baru Terbarukan) antara Kementerian ESDM dan Komisi VII DPR RI. Namun ternyata disana di “selundupkan” adanya pasal pasal “Power Wheeling System” (PWS) atau “Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi” guna pelaksanaan MBMS secara resmi.

Setelah HSH Jawa-Bali di IPO kan dan telah terbit UU PWS, maka di Jawa-Bali secara resmi akan diterapkan MBMS yaitu dengan ;

1). PLN Jawa-Bali dibubarkan dan kelistrikan akan ditangani Kartel Liswas secara langsung.

2). Penerapan tarip secara MBMS oleh swasta secara langsung. Sehingga tarip listrik akan “melejit” minimal 5x lipat dibanding sewaktu masih dikelola oleh PLN ! Dan pada saat “peak load” atau “beban puncak” tarip bisa melonjak sampai 11x lipat (terjadi di Kamerun 1999).

Sedangkan PLN Luar Jawa untuk sementara akan dibentuk PLW (Perusahaan Listrik Wilayah). Sedangkan kedepan ada “opsi” untuk diserahkan ke masing2 PEMDA !

KESIMPULAN :

Privatisasi/Swastanisasi PLN hanya menguntungkan para “PENG PENG” (Pejabat yang merangkap sebagai Pengusaha) seperti diatas, serta Aseng/Asing dan Taipan 9Naga.

Pengalaman di Kamerun dan Philipina, rakyat yang tidak mampu akhirnya pakai lilin, sentir, teplok, gembreng, upet dan sejenisnya !

Untuk itu mari kita turun ke jalan (didepan Istana Merdeka) pada 10 Agustus 2023.

BOGOR, 08 AGUSTUS 2023.

EDITOR: REYNA

Related Posts