Shikka Songge: Pak Lafran dan HMI di persimpangan sejarah

Shikka Songge: Pak Lafran dan HMI di persimpangan sejarah

Oleh: MHR. Shikka Songge

TADI Malam usai rapat bersama teman teman PIC di Tebet, kawan kawab bergerak ke Epicentrum untuk menonton film dokumenter Pak Lafran Pane. Tokoh Lafran Pane yg diteguhkan menjadi insiator dan pendiri HMI itu kini karyanya difiliemkan dan diputar saat HMI memasuki usia 77 thn.

Malam itu saya memutuskan untuk tidak menonton filem Pak Lafran yg edaran perdananya dibioskop epicentrum yg terletak kawasan elite kuningan Jakarta Pusat.

Sebelumnya saya sudah dikirim undangan oleh adinda M Laca yuniorku dari Bulaksumar Yogyakarta, saat saya masih berada di locasi Training LK2 Tingkat Nasional HMI Cabang Sangatta Kaltim.

Bukan karena saya tidak suka menonton filem Pak Lafran. Sebagai kader HMI saya sangat kagum pada Pak Lafran, karena sosok beliau yg ilmuan, militan, pejuang, rendah hati, sederhana, amanah, tangguh dan kharismatic. Sosok yg sulit dicari ganti saat ini. Sosok Pak Lafran tetap menjadi profile hidup saya. Tetapi kenapa filem yg mengkisahkan gerak perjuangan Pak Lafran diputar di bioskop bukan di kampus, bukan di tempat pergerakan activis ?

Dituturkan bhw ketika berjuang menghidupkan HMI, Pak Lafran Pane tidak pernah kendor, lelah mengajak para mahasiswa masuk menjadi anggota HMI dan ber HMI. Proses itu Pak Lafran lakukan saban hari dari sudut masjid setelah menunaikan sholat dan dari arena kampus, di sela sela kegiatan kuliah. Mereka adalah para activis kampus yang rajin menunaikan sholat di masjid kauman Yogyakarta diajak diskusi dan diberikan pemahaman tentang HMI. Pada mereka Pak Lafran menawarkan jabatan untuk mengurus HMI dan menerbitkan Surat Keputusan untuk mereka dengan tulus tanpa pamrih, meskipun Pak Lafran hanya menjadi staf biasa.

Pada saat tokoh Pak Lafran juga dekat dengan tokoh tertentu di pemerintahan Soekarno, tetapi Pak Lafran tidak menggadaikan HMI apalagi menjadikan HMI sebagai instrumen teknis untuk negosiasi kekuasaan, dan mencari kehidupan kepada penguasa negara di saat itu. Bahkan sampai Allah memanggilnya Pak Lafran hanya meninggalkan buku-buku di rumah jabatan dan organisasi HMI yang merupakan rumah perjuangan bagi anak anak muda umat dan bangsa. Pak Lafran tak punya rumah saat perjalanan terakhir ke rumah kekalnya di alam baqo.

Saat ini banyak diantar kita alumni HMI bahkan kader HMI larut di dalam krisis identitas, tanpa cita ideal HMI. Berorganisasi HMI tetapi gagal menginstitusikan nilai-nilai HMI menjadi etitude atau sikap hidup. Kader HMI tidak lagi menjadi pejuang, tokoh pergerakan yang berpengaruh, intelektual yang berintegrity. Mereka hanya menjadi HMI sekedar jargon sosial tetapi tidak menjadi profile dan identitas gerakan kader. Bahkan cenderung menjadikan HMI sekedar batu loncatan menggapai tujuan sesaat, kemewahan duniawi denan cara-cara lipat sana lipat sini, sikut sana, sikut sini, tetapi mengabaikan prinsip etik dan moral.

Mereka ke mana-mana dikawal Patwal bahkan sampai ruang training, ruang kongres. Saya menyaksikan Ketum PB HMI datang melantik Cabang dikawal Patwal, saya juga menyaksikan pula mantum PB HMI datang ke lokasi training di kawal rombongan patwal baik motor dan mobil. Mereka merasa bangga dan besar dengan jabatan HMI. Meski tidak ada kata dan fikiran mulia dan terdidik lahir dari ucapannya. Mereka lupa sebahagian pimpinan HMI Cabang berlumuran darah saat aksi menyuarakan keadilan.

Tadi malam saya memilih pergi bersama anak saya Michael Hart Aristockrat Songge dan seorang sahabat saya alumnus HMI dari Cabang Makasar, ia kader HMI yang cemerlang dan idealistis. Kami bertiga meluncur dari Tebet balik ke arah Ciputat. Banyak hal yang tertuang dlm diskusi. Karena jalan sepi kamipun cepat tiba di Ciputat. Sambil menanti jemputan anak saya, apalagi kondisi grimis, kami berhenti di sebuah warung sate tidak jauh dari kampus UIN Syahida Ciputat.

Kami berdiskusi di sekitar soal runtuhnya kekuasaan daerah dan menguatnya sentralisme keluasaan. Seiring dengan melemahnya kekuasaan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Wali Kota) kemiskinan tumbuh subur di daerah yang kaya dengan sumber daya alam. Pertarungan rakyat jelata yang hanya bertahan hidup, hak mereka direnggut, sumber daya dan kekayaan alam mereka dirampok oleh para investor atas nama UU dan kekuasaan. Negara hanya meningkatkan tagihan upeti dari pajak rumah, bangunan, hiburan, kuliner. Lalu pertanyaannya di mana hasil pengelolaan tambang dari hulu ke hilir?

Terma lain yang tidak kalah hangat dalam diskusi tersebut adalah putusan MK yang meloloskan Gibran putra Jokowi menjadi Calon Cawapres, adalah potret buruk dari demokrsi. Mengutip pendapat Wilem Billidel Guru Besar Islamolog dari Ohayo University bahwa setelah 10 tahun Indonesia mengalami stagnasi demokrasi pada masa SBY, dan di masa Presiden Jokowo Indonesia mengalami titik balik atau keruntuhan demokrasi yang ditandai oleh rusaknya instrumen demokrasi. Demokrasi yang tidak mendidik dan mencerdaskan politik anak bangsa. Demokrasi yang hanya memberikan peluang kepada anak Presiden, anak pejabat dan mantan pejabat dan anak konglomerat, dan anak hipokrit yang berlenggang ke gelanggang politik, tapi anak rakyat umumnya jauh lebih pintar, berbakat, berintegrity hanya menjadi penonton demokrasi dengan lesu dan kecewa. Di sini mesin oligarki yang menderu menguasai partai politik, parlemen dan lembaga instrumen demokrasi. Inikah yang disebut persimpangan gelap sejarah bangsa ?

Lalu pertanyaannya ?

Dimana engkau tiarap wahai alumni yang berjumbal-jubal di ruang parlemen. Di mana engkau kibarkan bendera hijau hitammu wahai anggota HMI, di mana engkau sembunyikan syahadat tauhid dan rosulmu wahai jutaan alumni dan anggota HMI ? Saat negaramu sedang tidak baik baik baik saja. Di mana niat suci dan idealisme gerakan Pak Lafran dan para aktor pendiri HMI kamu tenggelamkan?

Semoga di 77 tahun usia HMI saya berharap para senior Keluarga Besar Insan Cita, menjadi tetap tauladan terbaik dalam pengkhidmatan pada HMI bagi yunior setanah air. Dengan tidak merusak kewarasan dan kejernihan para kader yunior ber HMI.

Saat ini dan kedepan HMI membutuhkan ketulusan yang tak terhingga dari semua senior KB Insan Cita untuk tetap tegap menggerakan jalan perkaderan HMI di tengah deru gelombang kapitalism, liberalism dan komunism. Terus menggelorakan suara kebenaran, mengibarkan bendera dan panji-panji keadilan.

Jangan sampai perahu perkaderan HMI oleng apalagi terkandas. Untuk itu kita berharap jiwa besar dan keteladanan para senior untuk tetap konsisten mengawak dan merawat idealisme HMI. Dari rahim perkaderan, HMI tetap jernih dan kritis menyuarakan suara kebenaran, suara keadilan, suara kemanusiaan, yang kian hari kian sirna bahkan redup. Jangan sampai suara HMI tenggalam seiring dengan kegalauan para senior lebih yang memilih selamat, lebih memilih kepentingan untuk dirinya, dan berkompromi pada kebathilan kekuasaan dari pada menggelorakan idealisme HMI dan memperjuangkan Mission HMI. Haruskah para alumnus menimbun idealisme HMI demi kekuasaan ? Inikah yang disebut fase HMI di persimpangan sejarah ?

Moga di 77 tahun, HMI tetap sanggup berdiri tegak dan kokoh menembus tantangan zaman yang menghadang, dan sanggup mempertahankan arah perjalanan bangsa dan negara sebagaimana cita cita politik para pendiri bangsa.

Ingat HMI tidak lahir di ruang kosong, tatapi HMI terlahir sarat idealisme, gumpalan masalah keummatan dan kebangsaan. Olehnya HMI memikul mendat titah para pendiri bangsa, HMI berkomitment mewujudkan tata kehidupan kebangsaan kita yang berkeadilan sosial dan berkeadilan ekonomi.

Mision HMI tidak mungkin kita panggulkan pada pundak orang lain. Mision HMI hanya bisa dipanggulkan pada punggung dan pundak kader terbaik HMI. Moga cerah-cerah perubahan datang bersama kader Insan Cita yang berintegrity.

Ciputat, 6 Februari 2024.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K