Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Ada sahabat saya di grup Whatsapp alumni Unair nyletuk “Bagaimana ya kalau dia-AHY bertemu Moeldoko, apa gak kaku salah tingkah?”. Pertanyaan sahabat saya itu merupakan respon dari berita putra mantan presiden SBY – Agus Herumukti Yudhoyono (AHY) diangkat menjadi menteri nya pak Jokowi. AHY yang mantan perwira TNI Angkatan Darat dan memiliki harta kekayaan Rp 15,2 milyar (data mengutip Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilaporkan pada Oktober 2016) pernah berseteru dengan Jendral Pur. Moeldoko yang juga berada di jajaran kabinetnya Pak Jokowi.
Seperti masyarakat sudah mengetahuinya Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi melantik Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurthi Yudhoyono (AHY) sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Rabu (21/2/2024). Dia menggantikan Hadi Tjahjanto yang akan dilantik dan menduduki posisi baru sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Ham (Menko) Polhukam, yang sebelumnya diisi Mahfud MD. Pengangkatan AHY menjadi menteri itu ditanggapi banyak pihak antara lain Ahmad Khoirul Umam Dosen ilmu politik & international studies Universitas Paramadina yang menjabarkan analisisnya
“Pelantikan AHY sebagai Menteri ATR di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi seolah menegaskan bahwa Jokowi saat ini independen dan tidak lagi berada di bawah bayang-bayang dan intervensi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Menurut informasi, memang sejak 2019 Jokowi ingin mengajak AHY masuk ke pemerintahan, namun terhalang veto politik Megawati karena AHY adalah anak SBY,” kata Umam dalam keteranganya, Rabu (21/2/2024).
Terlepas dari pendapat para pengamat politik tentang AHY menjadi menteri yang jelas AHY pernah bersitegang dengan Jendral Pur Moeldoko melalui proses hukum yang akhirnya AHY menang. AHY yang menjadi Ketua Umum Partai Demokrat pernah menyatakan dirinya menang dengan skor 19-0 melawan Kepala Staf Presiden (KSP) Meoldoko dalam kasus pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat.
Pernyataan itu dia sampaikan merespons putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak upaya peninjauan kembali (PK) yang dilayangkan Moeldoko. Jendral Moeldoko berupaya mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat pada Februari 2021. Moeldoko dkk menggelar KLB di Deli Serdang dan Moeldoko ditetapkan sebagai Ketua Umum pada 5 Maret 2021. Namun, pemerintah menolak permohonan pengesahan kepengurusan Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang.
Setelah itu, berbagai gugatan dan upaya hukum pun dilayangkan oleh kubu Moeldoko untuk mendapatkan legalitas. Namun, berulang kali ditolak pengadilan. Terkini, upaya PK Moeldoko dkk pun ditolak oleh MA. Karena sejak lama AHY ini berseberangan dengan Jendral Moeldoko atau persisnya bermusuhan satu sama lain.
AHY mengakui selama lebih dua tahun proses gugatan itu, mulai dari kasasi hingga PK, telah berdampak pada beban psikologis para kader. Mereka khawatir kepengurusan resmi Demokrat diambil secara sewenang-wenang. Secara eksternal, dia menilai gugatan tersebut juga menimbulkan kekhawatiran pada Koalisi Perubahan yang saat itu mendukung Anies Baswedan sebagai calon presiden di 2024.
Dalam politik publik sering mendengar frasa “The enemy of my enemy is my friend. The friend of my enemy is my enemy” atau. “Musuh dari musuhku adalah temanku. Teman dari musuhku adalah musuhku” Tidak diragukan lagi Anda pernah mendengar rumusan ini sebelumnya. Pendukungnya yang paling terkenal adalah Niccolo Machiavelli.
Robert Nesta Marley atau lebih dikenal dengan Bob Marley (6 Februari 1945 – 11 Mei 1981) seorang penyanyi, pencipta lagu, dan musisi reggae pernah menulis kalimat yang saya kutip diatas mengatakan “Your Worst Enemy, Could Be Your Best Friend And Your Best Friend, Your Worst Enemy” atau Musuh terburuk Anda, bisa jadi menjadi sahabat Anda yang paling baik dan sahabat baik Anda bisa menjadi musuh terburuk Anda “.
Kasus “Musuh menjadi Teman” ini pernah terjadi pada diri Let.Jen. Pur Prabowo dan presiden Jokowi dimana pada saat pemilu sebelumnya ini pak Prabowo menjadi “musuh” pak Jokowi, mengkritik keras kepemimpinan pak Jokowi dalam setiap acara kampanye atau debat. Pada waktu itu dukungan rakyat terhadap pak Prabowo sangat tinggi terutama kaum Ema-Emak. Lalu akhirnya para pendukung kuatnya Pak Prabowo itu kecewa berat ketika pak Prabowo “Njeketek” – kata arek Suroboyo atau ternyata pak Prabowo berpihak pada mantan “musuhnya itu”.
Dalam kasus AHY dengan Jendral Moeldoko mungkin frasa yang tepat adalah “My Enemy Is My Friend”.
Itulah politik.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (3): Membangun Stabilitas Politik dan Menghindarkan Indonesia dari Kekacauan Pasca 1965

Negara Yang Terperosok Dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rakyat Setengah Mati, Kekuasaan Setengah Hati

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%

Novel “Imperium Tiga Samudra” (13) – Perang Senyap Mata Uang

Mencermati Komisi Reformasi Polri

Cinta, Kuasa, dan Kejatuhan: Kisah Gelap Yang Menyapu Ponorogo




No Responses