Oleh: Muhammad Chirzin
Pemilu Dan KPU mempunyai sejarah yang panjang. Sejak kemerdekaan tahun 1945, Indonesia telah melewati berbagai macam pemilu. Pemilu-pemilu yang pernah dilaksanakan di Indonesia, yakni Pemilu 1955, Pemilu 1971, Pemilu 1977-1997, Pemilu 1999, Pemilu 2004, Pemilu 2009, Pemilu 2014, Pemilu 2019, dan Pemilu 2024.
Sistem Pemilu tahun 1955 adalah kombinasi antara sistem distrik dan sistem perwakilan berimbang. Pemilihan Umum 1955 merupakan Pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia di usia 10 tahun.
Sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah menyatakan keinginannya untuk menyelenggarakan Pemilu pada awal tahun 1946 sebagaimana dicantumkan dalam Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik.
Maklumat itu menyebutkan, Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Tidak terlaksananya Pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945 disebabkan dua hal. Pertama, belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu. Kedua, belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam.
Pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan Pemilu dengan membentuk UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung), didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warga negara Indonesia masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
RUU Pemilu ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia.
Pemilu berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing.
Dalam Pemilu 1955 Partai Nasional memperoleh 8.434.653 suara (22,32%) dengan perolehan 57. Masyumi 7.903.886 suari (20,92), dengan perolehan 57 kursi. Nahdlatul Ulama (NU) memperoleh 6.955.141 suara (18,41%), dengan perolehan 45 Kursi. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.179.914 suara (16,36) dengan perolehan 49 kursi. Partai-partai lainnya memperoleh kurang dari 10 kursi.
Sukses Pemilu 1955 tidak berlanjut dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan Pemilu kedua lima tahun berikutnya.
Format politik berubah dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia. Kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah.
Tahun 1963 MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.
Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPU) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970 diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. LPU keanggotaannya terdiri dari Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan dan Sekretariat Umum. LPU ini dibawah Departemen Dalam Negeri.
Setelah 1971 pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, yakni dua parpol dan satu Golkar. Dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga.
Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekadar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer.
Visi Komisi Pemilihan Umum menjadi penyelenggara Pemilihan Umum yang mandiri, non-partisan, tidak memihak, transparan, dan profesional, berdasarkan asas-asas Pemilihan Umum dengan melibatkan rakyat seluas-luasnya, sehingga hasilnya dipercaya masyarakat.
Misi KPU: (a) Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pejabat-pejabat publik lain yang ditentukan Undang-Undang; (b) Meningkatkan pemahaman tentang hak dan kewajiban politik rakyat Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif, dan beradap; (c) Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku; (d) Melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap penyelenggara Pemilihan Umum untuk meningkatkan kualitas Pemilihan Umum berikutnya.
KPU sekarang merupakan KPU kelima yang dibentuk sejak era Reformasi. KPU pertama (1999–2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999, beranggotakan 53 orang anggota, dari unsur pemerintah dan Partai Politik. KPU pertama dilantik Presiden BJ Habibie.
KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001, beranggotakan 11 orang, dari unsur akademis dan LSM. KPU kedua dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001.
KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisi tujuh orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik Presiden karena masalah hukum.
Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU diubah, sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu yang jujur dan adil tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat.
Sebagai anggota KPU, integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena didukung oleh personal yang jujur dan adil.
Tiga tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan non-partisan.
Pemilihan Umum Tahun 2019 berdasar hukum UU Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum dengan system sebagai berikut. Ada tiga macam Pemilu, yaitu Pemilu DPR, DPRD, dan DPD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pertama, Pemilu DPR dan DPRD menggunakan sistem proporsional terbuka (suara terbanyak). Kedua, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menggunakan sistem distrik berwakil banyak. Ketiga, Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Penyelenggaraan pemilu legislatif dengan pemilu presiden secara serentak membuat skala penyelenggaraan pemilu Indonesia menjadi luar biasa besar. Pemilu serentak lima kotak diselenggarakan setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan uji materi (judicial review) UU Nomor 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. MK menyatakan penyelenggaraan pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) setelah pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD (pemilu legislatif) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pada Pemilu 2024 ditengarai terjadi kecurangan terstruktur, sistematis, dan massif. Kecurangan pemilu yang dimaksud terjadi sejak putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto. Kecurangan juga terjadi ketika KPU menerima pendaftaran paslon Prabowo-Gibran setelah masa masa pendaftaran tutup. Kecurangan berikutnya terjadi pada masa kampanye, saat pencoblosan, 14 Februari 2024 dan setelahnya, sehingga muncul secara massif tuntutan penggunaan Hak Angket oleh DPR atas kecurangan-kecurangan dalam Pemilu.
Hari-hari ini, selain menanti realisasi Hak Angket DPR, rakyat Indonesia menunggu hasil Pemilu 2024 yang dituntut jujur dan adil, sehingga dapat diterima oleh ketiga pasangan Calon Presiden dan para pendukungnya.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (5) : Pelopor Swasembada Pangan Yang Diakui Dunia

Komisi Reformasi Polri Dan Bayang-Bayang Listyo Syndrome

Dusta Yang Ingin Dimediasi

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (4): Stabilitas Politik dan Keamanan Nasional Yang Menyelamatkan Indonesia

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (3): Membangun Stabilitas Politik dan Menghindarkan Indonesia dari Kekacauan Pasca 1965

Negara Yang Terperosok Dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rakyat Setengah Mati, Kekuasaan Setengah Hati

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya



No Responses