Agus Wahid: Kulit Yang Dihempaskan

Agus Wahid: Kulit Yang Dihempaskan
Ilustrasi: Tokoh Petruk dalam pewayangan Jawa, dalam fragmen "Petruk Dadi Ratu"

Oleh: Agus Wahid
Penuli: analis politik

Agus Wahid

Kacang lupa pada kulitnya. Itulah pepatah yang sudah demikian memasyarakat, puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Pepatah ini sangat tepat untuk melukiskan panorama politik nasional saat ini. Bagaimana tidak? Sejumlah aktor politik penentu negeri ini sedang mempertontonkan panorama sosial yang menggelikan, sekaligus sadis pada titik puncak.

Dalam kaitan itu kita bisa menelaah dari sejumlah aktor yang sarat dengan nuansa distruksi sekaligus sadisme sosial. Pertama dan utama adalah pelecehan frontal Jokowi kepada Megawati dan atau PDIP. Fakta politik bicara, tanpa restu dan atau campur tangan Megawati dan partai yang dipimpinnya, jelas: Jokowi bukanlah siapa-siapa, sejak melangkah ke Walikota Solo, hingga Gubernur DKI Jakarta dan Presiden RI. Memang, ada pendukung lain secara finansial: Hasyim Djojohadikusumo. Namun, kartu truf utama adalah political supporting Megawati dan PDIP. Bukan hanya rekomedasi, tapi basis massanya yang all out untuk menaiki tangga politik Jokowi.

Fakta politik bicara. Jokowi bukan hanya meninggalkan Partai Banteng dan Ketua Umumnya, tapi tampak melakukan perlawanan secara terencana dan frontal, terback up dengan berbagai instrumen kekuatannya: kekuatan pertahanan (TNI-POLRI) dan ASN. Perlawanan yang demikian berani menimbulkan pertanyaan, benarkah Jokowi manusia Jawa tulen? Data biologis menunjukkan, Jokowi memang China peranakan.

Jika kita analisis dari perspektif sosiologi, tidak semua China keturunan berperangai sesadis itu. Biodata politik menunjukkan, Jokowi memang putera Oey Hong Liong dan Sulami. Menurut data yang beredar, Oey seorang aktvis PKI di Boyolali. Dan ibunya yang hingga masih hidup adalah tokoh Gerwani. Maka, tidaklah heran, bebarapa waktu lalu Megawati menegaskan “Jokowi PKI”. Hal yang sama disampaikan juga oleh Ribka Ciptaning, anggota Fraksi PDIP DPR RI dan penulis buku “Aku Bangga Menjadi Anak PKI”.

Merenda analisis sosiologis dan ideologi yang dianut kedua orang tuanya, maka kita mendapatkan titik temu: sadisme Jokowi karena darah komunis yang mengalir dalam dirinya. Karakter ideologis komunis memang raja tega. Kejam. Sudah menjadi sejarah dunia. Jangankan terhadap orang lain yang beda hubungan biologis, sesama saudara sekandungnya pun tega membantainya. Hanya karena beda ideologi – seperti yang kita saksikan pada penculikan, pembantaian dan penyiksaan terhadap Jend. Siswondo Parman – seorang kakak (Sukirman), salah satu petinggi PKI dan pernah terlibat dalam pemberontakannya di Wonosobo, tega mengambil paksa adiknya yang cinta Tanah Air berhaluan Pancasila.

Membaca karakter komunis itu, maka kita dapat memahami, apalah artinya Megawati dan atau PDIP. Meski di Partai Banteng ini disinyalir banyak elemen komunis, namun bagi Jokowi tak akan puas jika tidak merebutnya. Gelagat untuk mengambil kepemimpinan PDIP bukanlah berita anyar. Namun, Megawati masih terlalu kuat untuk disingkrkan. Karenanya, selagi masih berkuasa sebagai RI-1, apapun dilakukan Jokowi. Tanpa risi apalagi introspeksi sejarah karir politiknya.

Lalu, bagaimana dengan Hasyim Asy`arie dan Yakut Cholil Qaumas? Sebagian besar publik meyakini, keduanya bukanlah komunis. Keduanya anasir NU. Sama-sama pernah menjabat sebagai Ketua GP Ansor. Yang perlu kita catat, mungkinkah Hasyim Asy`ari (HA) kader NU itu bisa menaiki tangga politik sebagai Ketua KPU Pusat tanpa endorsement PKB saat pemilihannya di DPR Senayan? Pertanyaan yang sama, mungkinkah Yaqut Cholil Qaumas (YCQ) bisa menjadi Menteri Agama tanpa tunjukan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar saat itu?

Jawabannya simple. Sulit bagi keduanya menggapai posisi politik puncak jika PKB tak campur tangan. Yang perlu kita renungkan, keduanya – secara terang-terangan – melawan Muhaimin. Seorang HA lebih mendengarkan dan tunduk pada kemauan rezim bromocorah ini. Bukan hanya tidak bisa terima kasih pada PKB, tapi justru berusaha menghajar suara pasangan calon (paslon) 01. Bukan hanya tak mampu menegakkan kejujuran dan keadilan, tapi justru membangun sketsa politik penggelombungan suara untuk paslon lain (02).

Apakah itu karakter NU yang sangat pragmatis? Banyak elemen menilai seperti itu. Namun, sangat disayangkan karakter pragmatis itu. Sebab, hal yang paling mendasar adalah campur tangan Muhaimin selaku Ketua Umum PKB dalam mengendorse HA tidaklah kecil nilainya. Itu campur tangan politik yang luar biasa. Tapi, begitu mudah dilupakan, bahkan kini berdiri menjadi pihak “pelawan” sejati. Tidak hanya melawan kepentingan PKB, NU dan seluruh elemen bangsa ini yang menjunjung tinggi prinsip kebenaran, tapi menjadi bagian strategis yang menopang kepentingan istana, tanpa memandang risiko bahwa negeri ini akan porak-poranda jika tetap memaksakan kehendak (02 harus menang).

Tak jauh beda dengan HA, YCQ juga kini menjadi “pelawan”. Tidak hanya terhadap PKB, tapi seluruh elemen bangsa ini yang tak sejalan dengan istana dihadapi dengan kewenangannya. Jauh sebelum pemilihan presiden (pilpres), dia menggunakan kewenangannya pada seluruh ASN Kementerian Agama sampai ke tingkat terbawah: harus pilih paslon 02. Data bicara, gerakan sistimatis ini berhasil mereduksi perolehan suara basis-basis NU seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah yang hengkang dari paslon 01. Memang, ada faktor penentunya: pengerahan “gentong babi” yang bernilai fantastik, mencapai Rp 496,8 trilyun, di samping polisisasi makan saing dan minum susu gratis. Menurut catatan sebuah lembaga survey, akibat politisasi klaim itu, sekitar 63,9% banyak suara pindah ke paslon 02.

Yang “maha” luar biasa adalah, kini persekongkolan YCQ dan kakaknya selaku Ketua Umum PBNU, mereka siap menggeser Muhaimin. Hal ini sudah terlihat sinyalnya pada pernyataan Jokowi yang siap berkoalisi dengan PKB, tapi bukan kepemipinan Muhaimin. Maka, dalam waktu dekat, ada kemungkian terjadi prahara dalam internal PKB. Skenario jahat itu pasti dilakukan.

Akankah warga besar PKB siap menghadang gerakan picik dan licik itu? Tak bisa diharapkan. Berangkat dari budaya pragmatisme yang cukup menginternalisasi (mendarah-daging) pada kaum NU, termasuk PKB, maka terdapat potensi besar: penggoyangan terhadap Muhaimin bukanlah fatamorgana, kecuali skenrio 02 gagal menuju istana dan Jokowi pun terlengser secara soft landing apalagi die hard. Dan mencermati dinamika politik teranyar, potensi pelengseran sacara die hard cukup besar.

Akhir kata, beberapa aktor politik negeri ini benar-benar tak lagi mengenal kulitnya. Jasa baik sebesar apapun dipandang sebagai debu. Dihempaskan. Tak berarti. Dan itu terjadi karena karakter budaya komunis yang telah merasukinya. Juga, budaya pragmatisme yang telah mandarah-daging. Itulah kacang yang lupa pada kulitnya. Biarlah. Karena, hukum alam (sunnatullah) akan bicara lain sesuai kodrat dan iradat-Nya. Allah Maha Digdaya. Tugas kita kini adalah bagaimana merapatkan barisa untuk menyambut kehendak Allah itu. Doa yes. Tapi, itu selemah-lemah iman. Tak elok dan tidak sepantasnya kita “memperbudak” Allah selagi tenaga, pikiran dan amunisi lainnya bisa digerakkan secara eksplosif. Kepada para patriot sejati, “Allahu ma`anaa, orang-orang yang terdzalimi sekian lama”.

Satu hal yang layak menjadi keterpanggilan secara jihadiyah, gerakan penghancuran secara sistimatis terhadap PDIP dan PKB sesungguhnya merupakan ikhtiar sistimatis bagaimana anak bangsa ini terpecah. Saling curiga antar anak bangsa. Bahkan, berpotensi perang saudara. Politik devide et empera yang pernah dihembuskan oleh seorang kolinialis Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje menjadi senjata ampuh untuk menceraikan bangsa ini sekaligus untuk menguasainya. Dan komunis paling getol menggunakan strategi devide et empera ini. Inilah yang harus diwaspadai sekaligus menjadi kesadaran untuk melawan istana dan segenap hantunya. Then, how to fight them?

Kini, kita saksikan pendekatan politik: sebagian mengepung istana, DPR, KPU dan BWASLU. Diperlukan massa besar. Adakah stratetegi lain yang jauh lebih simple dan efektif? Ada. Kepung kediaman atau kantor sejumlah figur penentu yang menjadi aktor bromocorah selama ini, mulai dari anasir orang terdekat istana, penentu KPU dan BAWASLU, “penguasa” Mahkamah Konstitusi, para “penasehat” politik (surveyors bayaran) dan praktisi hukum (pengacara handal).

Dan satu lagi yang tampaknya tak terpikir: blokir jalan-jalan utama yang menjadi urat nadi ekonomi nasional. Dalam jangka dua atau tiga hari saja, ekonomi akan segera lumpuh total. Inflasi akan segera beranjak naik. Daya beli masyarakat pun melemah. Tanpa pengerahan massa puluhan ribu. Bisa mencegah potensi korban yang bergelimpangan. Dampak kontigion ekonomi itu akan menggrakkan revolusi sosial. Mirip dengan tragedi Mei 1998. Sekedar saran lepas lho…. Wallahu `alam.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K