Oleh: Dr. Mulyadi (Opu Andi Tadampali)
Ketua Pusat Kajian Pemilu dan Partai Politik FISIP UI
Dosen Ilmu Politik SKSG UI-FISIP UI
Pemilu Prosedural dan Subtantif
Pemerintahan repsentatif (demokrasi) tidak mentoleransi penyelenggaraan pemilu yang hanya sebatas prosedural belaka. Mentoleransi pemilu yang bersifat prosedural (kuantitatif) belaka sama saja kalau mengatakan pemerintahan repsentatif (demokrasi) itu tidak memiliki legitimasi dan justifikasi politik. Lebih dari itu, juga mengandung makna bahwa pemerintahan yang terbentuk dari hasil pemilu prosedural itu adalah pemerintahan non-demokratis, pemerintahan buruk.
Pemilu subtantif (kualitatif) penting bagi pemerintahan repsentatif (demokrasi) sebagai dasar keyakinan politik warga negara bahwa pejabat politik hasil pemilu yang akan membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan adalah orang-orang terbaik secara politik: memiliki kapasitas politik, kapabilitas politik, dan integritas politik yang memadai.
Secara prosesual (kronologis), penyelenggaraan pemilu berlangsung tujuh tahap, yakni: (1) tahap pembuatan regulasi; (2) tahap pendaftaran pemilih; (3) tahap pendaftaran peserta pemilu; (4) tahap kampanye; (5) tahap pencoblosan dan perhitungan suara; (6) tahap rekapitulasi perolehan suara; dan (7) tahap penetapan hasil. Semua tahapan itu mengandung celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu melakukan kecurangan atau melakukan pelanggaran pemilu.
Di negara yang memandang remeh pemilu, tahap pembuatan regulasi pemilu dianggap tidak terlalu penting. Bahkan terkesan pembuatan regulasi pemilu bukan bagian dari tahapan pemilu. Padahal untuk melakukan deteksi dini terhadap ada atau tidaknya niat, keinginan, atau rencana dari pihak tertentu melakukan kecurangan atau kejahatan pemilu sangat strategis dilakukan di tahap ini. Misalnya dengan memeriksa klausul dalam UU Pemilu yang memberi ruang hadirnya berbagai pihak, seperti pejabat pemerintah, penyelenggara pemilu, pemilih, dan peserta pemilu yang berpotensi merusak proses dan hasil pemilu.
Dalam teori pemilu, suatu pemilu dikatakan berada pada level subtantif (kualitatif) bila dalam prosedural penyelenggaraannya juga melaksanakan dua aspek integritas pemilu, yaitu: azas pemilu dan prinsip pemilu. Pada azas pemilu, terdapat empat indikator integritas politik pemilu, yakni: (1) langsung; (2) umum; (3) bebas; dan (4) rahasia. Lalu pada prinsip pemilu, terdapat empat indikator integritas politik pemilu, yakni: (1) jujur; (2) adil; (3) kompetitif; dan (4) berskala luas.
Di negara yang rezim politiknya buruk, penyelenggaraan pemilu sudah pasti mengabaikan azas pemilu dan prinsip pemilu, sehingga pemilu dinyatakan cacad integritas politik. Betul bahwa dari sisi prosedural (kuantitatif) terdapat jumlah pemilih, jumlah peserta pemilu, jumlah logistik pemilu, jumlah prolehan suara repsentatif minimal. Namun dari sisi subtantif (kualitatif), pemilu demikian dipandang bermasalah jika mengabaikan azas pemilu dan prinsip pemilu. Pemilu dalam teori politik tidak hanya ditandai oleh adanya pemilih, kandidat, dan kotak suara atau Dapil, DPT, dan Bilik Suara (TPS), tetapi juga ditandai oleh adanya legitimasi politik dan justifikasi politik yang dihasilkan dari pelaksanaan azas pemilu dan prinsip pemilu.
Di Indonesia, pemilu prosedural (kuantitatif) tampak kasat mata pada pelaksanaan pemilu yang berorientasi semata-mata pada hasil, seperti pemilu di era Orde Baru dan pemilu sesudahnya yang hasilnya ditentukan oleh Hakim MK. Peserta pemilu baik partai politik maupun perseorangan yang memperoleh suara repsentatif minimal langsung dinyatakan sebagai pemenang pemilu terlepas prosesnya yang mengabaikan azas pemilu dan prinsip pemilu.
Besaran jumlah suara repsentatif minimal berbeda untuk peserta pemilu partai politik dan kandidat perseorangan. Menurut Pasal 414 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, partai politik peserta pemilu dinyatakan lolos ke DPR jika berhasil memperoleh suara repsentatif minimal (parliamentary threshold) sebesar 4% dari jumlah suara sah nasional. Namun seorang kandidat anggora DPR yang memperoleh suara terbanyak di daerah pemilihan (Dapil)-nya tidak akan duduk di DPR bila partai yang mencalonkannya tidak berhasil memperoleh suara repsentatif minimal (parliamentary threshold) sebesar 4%.
Sedangkan untuk pasangan kandidat Presiden-Wakil Presiden, suara repsentatif minimal (presidential threshold) diatur pada Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD2002, yakni lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu, dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia (Ayat 3). Jika tidak ada pasangan kandidat Presiden-Wakil Presiden yang memperoleh suara repsentatif minimal (presidential threshold) pada putaran pertama pemilu, maka pada pemilu putaran kedua dua pasangan kandidat dengan perolehan suara terbanyak pertama dan kedua menjadi peserta pemilu, dimana pasangan kandidat yang memperoleh suara terbanyak yang akan dinyatakan sebagai pemenang pemilu (Ayat 4).
Bandingkan Amerika yang Presidennya tidak dipilih secara langsung oleh rakyat. Di Amerika, Presiden dipilih pada bulan Desember oleh Electoral College yang beranggotakan 538 electors. Anggota Electoral College dicalonkan oleh partai dan dipilih oleh rakyat Amerika dalam pemilu Popular Vote¬ pada bulan Nopember. Besaran suara repsentatif minimal (presidential threshold) untuk kandidat Presiden AS ditetapkan sebesar 270 electoral votes dari 538 suara anggota Electoral College. Jika tidak ada kandidat Presiden yang memperoleh suara repsentatif minimal (presidential threshold) sebesar 270 suara (electoral votes), maka Presiden AS dipilih oleh DPR AS dan Wakil Presiden dipilih oleh Senat AS berdasarkan suara terbanyak.
Kembali ke pemilu Indonesia. Satu pelanggaran serius terhadap azas pemilu dan prinsip pemilu adalah pasangan kandidat Presiden-Wakil Presiden diusulkan oleh gabungan partai politik yang populer dengan istilah koalisi. Selain itu penggunaan (parliamentary threshold) pemilu sebelumnya sebagai syarat partai peserta pemilu mengusulkan pasangan kandidat Presiden-Wakil Presiden. Dari sudut pandang politik, dua pelanggaran serius ini sudah layak dikatakan sebagai awal kejahatan politik yang akan berlanjut pada sejumlah kejahatan politik berikutnya, seperti maraknya istilah mahar politik, partai rental, bagi-bagi jabatan di pemerintahan dan BUMN, bagi-bagi pengelolaan sumber daya politik, Presiden yang (full power), DPR pendukung rezim hingga kehilangan fungsi pengawasannya, dan seterusnya.
Pemilu Curang dan Implikasinya
Secara teoritis dan praktis, hasil pemilu adalah otoritas sipil, yakni pejabat politik puncak yang bergerak atas dasar mandat kedaulatan rakyat. Otoritas sipil inilah yang akan membentuk dan menjalankan pemerintahan repsentatif secara periodik. Akan tetapi dalam kasus kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), dapat dipastikan bahwa otoritas sipil: pejabat politik puncak tersebut tidak memiliki legitimasi politik dan justifikasi politik yang memadai dalam membentuk dan menjalankan pemerintahan repsentatif secara periodik.
Ada dua implikasi politik bila otoritas sipil tidak memiliki legitimasi politik dan justifikasi politik yang memadai, yakni: (1) dalam membentuk dan menjalankan pemerintahan repsentatif secara periodik akan mengoperasikan kekuasaan buruk (power over); (2) kapabilitas sistem politik tidak menghasilkan adaptasi politik, integrasi politik, dan stabilitas politik. Konsekuensi dari dua implikasi politik itu adalah demokrasi berada di jalur kehancurannya.
TERKAIT :
Pada implikasi pertama, akibat oprasi kekuasaan buruk (power over); adalah tegaknya rezim politik anti-demokrasi yang ditandai oleh sebuah pemerintahan yang menindas, anti-kritik, anti-perubahan, status quo, dan korup. Di bawah rezim politik non-demokrtatis (bisa despotis, otoriter, totaliter, atau fasis), demokrasi terpental jauh di luar tiga jalur tahap-tahap pertumbuahan dan perkembangannya: tahap transisi demokrasi, tahap konsolidasi demokrasi, dan tahap tertib demokrasi, yang ditandai oleh penyelenggaraan pemerintahan yang buruk: tidak transparan, tidak akuntabel, tidak kredibel, dan tidak partisipatif.
Pada implikasi kedua, akibat kapabilitas sistem politik yang tidak menghasilkan adaptasi politik, integrasi politik, dan stabilitas politik adalah merebaknya ketidakpuasan politik. Rendahnya kapabilitas responsif, kapabilitas distributif-alokatif, kapabilitas regulatif, kapabilitas simbolik, kapabilitas ekstraktif, kapabilitas domestik, dan kapabilitasi internasional menjadi dasar terbentuknya oposisi politik loyal yang bersifat laten dan permanen. Selain itu, di level elit dan massa juga terbentuk pembangkangan politik yang sifatnya silent majority yang secara perlahan muncul sebagai noisy minority lalu membesar menjadi people power.
Menyadari ancaman pembangkangan politik akibat krisis legitimasi politik dan justifikasi politik, rezim politik ini segera melakukan dua metode opensif politik aktif sebagai upaya penyelamatan diri, yakni: (1) persuasi politik; dan (2) koersi politik.
Pada metode persuasi politik, rezim politik akan mengencarkan dua operasi politik rahasia, yakni: (1) operasi suap politik, dengan membujuk semua pihak yang dianggapnya berseberangan untuk kembali mendukungnya dengan iming-iming atau imbalan uang, barang, jasa, pangkat dan jabatan hingga seks; (2) operasi manipulasi politik, dengan membentuk kelompok perlawanan politik yang akan melakukan propaganda politik dan agitasi politik, seperti kelompok influencer politik dan buzzer politik. Kedua operasi politik rahasia itu bertujuan untuk memobilisasi dukungan politik kepada rezim politiknya.
Pada metode koersi politik, rezim politik akan gencar melakukan teror dan intimidasi melalui tiga operasi politik rahasia, yakni: (1) operasi political assassination, yakni menyerang pribadi atau merusak reputasi personal siapa saja yang dianggapnya sebagai oposisi politik; (2) operasi extra judicial killing, yakni menghilangkan nyawa oposisinya dengan mengatasnamakan penegakan hukum; dan (3) operasi unlawfull killing, yakni menghilangkan nyawa oposisi politiknya di luar penegakan hukum. Operasi ketiga ini umumnya sulit diketahui, karena umumnya menggunakan cara-cara non-konvensional, seperti santet, racun, kecelakaan, atau jasa kriminal. Ketiga operasi politik rahasia itu bertujuan untuk menghentikan gerakan oposisi yang bermaksud menggulingkan rezim politiknya.
(Bersambung)
EDITOR: REYNA
Related Posts

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (3): Membangun Stabilitas Politik dan Menghindarkan Indonesia dari Kekacauan Pasca 1965

Negara Yang Terperosok Dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rakyat Setengah Mati, Kekuasaan Setengah Hati

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%

Novel “Imperium Tiga Samudra” (13) – Perang Senyap Mata Uang

Mencermati Komisi Reformasi Polri

Cinta, Kuasa, dan Kejatuhan: Kisah Gelap Yang Menyapu Ponorogo



No Responses