Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Pasca perhelatan pemilu/pilpres 2024 sebagian masyarakat mengamati adanya lobi-lobi politik yang intensif dari pihak presiden terpilih Jendral (purn) TNI Prabowo ke tokoh-tokoh partai politik yang juga melibatkan presiden dan mantan presiden. Lobi-lobi politik itu dilakukan oleh elit politik yaitu segelintir orang dalam partai politik atau pemerintahan yang memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan dan arah politik nasional.
Lalu lobi politik itu menimbulkan pertanyaan apakah Indonesia akan menyaksikan elit politik kembali mempertontonkan “politik dagang sapi.” Kalau kita cari kondisi yang sama di luar negeri, maka kita bisa menyaksikan bahwa di berbagai negara bahkan di negara maju pun ada praktek lobi-lobi politik itu, namun tentunya istilahnya bukanlah “politik dagang sapi”. Mungkin yang sering dipakai di dunia barat adalah istilah “transactional politics”
Menurut Wikikamus politik dagang sapi itu adalah tawar-menawar antara beberapa partai politik dalam menyusun suatu kabinet koalisi (lembaga dsb). Secara sederhana politik dagang sapi lazim didefinisikan sebagai praktik politik transaksional jual beli kekuasaan sebagai imbalan dukungan yang diberikan parpol atau elite bagi capres tertentu dalam pemilu. Tidak hanya dalam hal pemberian jabatan kepada anggota koalisi, tetapi juga dalam pembagian imbalan kepada lawan politik. Praktek “politik dagang sapi” adalah praktik politik di mana kekuasaan ditukar-tukar dalam bentuk transaksi, di mana partai politik atau elit memberikan dukungan kepada calon presiden tertentu dalam pemilihan umum sebagai imbalan atas manfaat atau keuntungan yang mereka terima.
Secara umum disebutkan bahwa ketika sebuah partai diajak untuk bergabung dalam kabinet, maka partai tersebut diharapkan memiliki kewajiban memberikan imbalan kepada partai yang mengundangnya.
Masyarakat umum sebagian besar merasa kecewa dengan praktek politik dagang sapi itu karena partai atau calon yang didukung mereka itu secara ideal – menurut pemahaman mereka- tidak akan menjual platform ideologi politiknya dengan imbalan kekuasaan politik jangka pendek. Publik terperanjat dan kecewa karena praktik ini terbukti menodai idealisme demokrasi yang susah payah dibangun bersama
Memang kebanyakan masyarakat tidak menyadari bahwa, pola relasi yang dibangun dalam politik dagang sapi itu berdasarkan kepentingan taktis pragmatis jangka pendek. Prinsip utamanya tentang bagaimana cara mendapatkan dan mengakumulasi kekuasaan politik.
Saya tidak tahu persis apakah ide presiden terpilih Prabowo Subianto yang mencetuskan ide untuk membentuk wadah yang berisi para presiden terdahulu, yang disebut dengan presidential club atau klub presiden– termasuk dalam kategori politik dagang sapi.
Narasi normatif yang dibangun menyatakan bahwa Presidential Club itu sendiri merupakan wadah menyatukan para mantan presiden Indonesia terdahulu supaya bisa tetap rutin berdiskusi tentang masalah strategis kebangsaan. Hal ini diungkap langsung oleh juru bicara (jubir) Presiden terpilih Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak pada Juma, (3/5/2024).
Namun kenyataannya bisa terjadi bahwa pertemuan para presiden itu juga berisi transaksi politik atau political transaction untuk membagi-bagi kekuasaan diantara mereka.
Wallahu alam.
Editor : Reyna
Artikel sama dimuat di Optika.id
Related Posts

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (5) : Pelopor Swasembada Pangan Yang Diakui Dunia

Komisi Reformasi Polri Dan Bayang-Bayang Listyo Syndrome

Dusta Yang Ingin Dimediasi

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (4): Stabilitas Politik dan Keamanan Nasional Yang Menyelamatkan Indonesia

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (3): Membangun Stabilitas Politik dan Menghindarkan Indonesia dari Kekacauan Pasca 1965

Negara Yang Terperosok Dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rakyat Setengah Mati, Kekuasaan Setengah Hati

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya



No Responses