Suara Arus Bawah Berbeda Dengan Elit

Suara Arus Bawah Berbeda Dengan Elit

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah

Siapapun yang mengikuti perkembangan perpolitikan di Timur Tengah pasti mengenal istilah “Arab Street”. Itu bukan nama sebuah jalan, namun bermakna rakyat atau masyarakat Arab di arus bawah atau “di jalanan”. Wikipedia menjelaskan: “The Arab street (Arabic: الشارع العربي, ash-shāriʿ al-ʿarabī) is an expression referring to the spectrum of public opinion in the Arab world, often as opposed or contrasted to the opinions of Arab governments.[1] In some contexts it refers more specifically to the lower socioeconomic strata of Arab society. It is used primarily in the United States and Arab countries.” Atau Jalan Arab (bahasa Arab: الشارع العربي, ash-shāriʿ al-ʿarabī) adalah ungkapan yang mengacu pada spektrum opini publik di dunia Arab, seringkali bertentangan atau kontras dengan pendapat pemerintah Arab. Dalam beberapa konteks, ini mengacu lebih spesifik pada strata sosial ekonomi yang lebih rendah dari masyarakat Arab. Ini digunakan terutama di Amerika Serikat dan negara-negara Arab.

Dalam kasus perjuangan bangsa Palestina melawan Zionis Israel misalkan tatkala Israel membom warga Gaza maka sering terdengar teriakan dari para korban atau aktivis politik “where are the Arabs?” – “dimana orang-orang Arab?”. Hal ini terjadi karena mereka merasa kecewa terhadap sikap diamnya beberapa negara Arab di Timur Tengah terhadap penderitaan bangsa Palestina itu. Maklum negara-negara Arab di Timur Tengah ini memiliki kebijakan politik yang pragmatis yang banyak diantaranya bersandar kepada kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya termasuk Israel.

Namun hampir semua rakyat kebanyakan dinegara-negara Arab itu memiliki pendapat yang berbeda bahkan bertentangan dengan sikap pemerintahnya dimana masing-masing. Rakyat bawah ini mati-matian membela bangsa Arab lainnya (dalam hal ini Palestina) yang dijajah bangsa asing.

Itu kejadian di Timur Tengah. Lalu apakah kondisi seperti itu sekarang sama dengan kondisi perpolitikan di Indonesia khususnya partai-partai politik?.

Seperti diketahui ada partai politik yang memiliki pendukung yang fanatik; apa yang diomongkan para elit di partainya pasti didukung. Dalam bahasa agama Islamnya “Sami’na Wa Atho’na” yang berarti “Kami Mendengar dan Kami Mentaatinya”. PDI-P, PKS, PKB mungkin partai-partai yang memiliki pendukung yang taat itu. Kalau misalkan jumlah pendukungnya 100; ya 100 itu semua mendukung bulat keputusan partai. Mungkin dalam ilmu marketing mereka ini disebut “captive market”. Hal itu bisa dilihat dari berbagai pemilihan pilpres maupun pilkada dimana para pendukungnya mentaati keputusan partainya tanpa “reserve”.

Lalu dalam kondisi perpolitikan yang terjadi saat ini, dimana banyak partai yang secara pragmatis berusaha menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi tentang ambang batas atau “threshold” atau batas usia seorang calon pemimpin di DPR itu apakah lantas serta mereka didukung oleh pendukungnya yang fanatik itu? Karena keputusan partai yang pragmatis itu bertentangan dengan hati nurani rakyat banyak.

Saya pakai contoh PKS yang dikenal memiliki anggota, kader yang tangguh dan taat kepada apapun keputusan partai; namun PKS yang pada akhirnya mengikuti “arus” politik yang pragmatis untuk “mendekat” kepada kekuasaan dengan misalnya tidak mengusung figur Anies Baswedan sebagai calon gubernur DKI. Apakah nanti sebagian besar “rakyat” nya PKS akan “sendika dawuh” tidak memilih Anies atau diam-diam mereka tetap memilih Anies?

Wallahu Alam.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K