Habis Efisiensi Terbitlah Danantara, Jangan dikelola Seenak “Ndasmu”

Habis Efisiensi Terbitlah Danantara,  Jangan dikelola Seenak “Ndasmu”
Isa Ansori

Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi

Pemerintah gencar menggaungkan efisiensi anggaran sebagai upaya untuk memastikan bahwa dana negara digunakan secara optimal dan program-program yang tidak mendesak bisa ditunda. Secara konsep, langkah ini terdengar bijaksana, terutama jika anggaran yang dihemat bisa dialihkan ke sektor-sektor yang lebih berdampak langsung bagi masyarakat. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan praktik yang justru bertolak belakang dengan semangat efisiensi itu sendiri.

Salah satu ironi terbesar dalam kebijakan efisiensi ini adalah prioritas anggaran untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Dalam kondisi keuangan yang diklaim membutuhkan penghematan, proyek besar seperti IKN tetap mendapatkan porsi anggaran yang signifikan, padahal manfaatnya bagi masyarakat luas masih diperdebatkan. Jika benar efisiensi menjadi pedoman, seharusnya pembangunan IKN bisa ditunda, mengingat urgensinya yang tidak sebesar program-program sosial yang berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat.

Tak hanya itu, pemerintah juga melarang pengangkatan staf ahli bagi kepala daerah yang baru dilantik dengan alasan efisiensi. Namun, di saat yang sama, kabinet Prabowo justru menjadi salah satu kabinet dengan jumlah menteri dan pejabat tinggi terbanyak dalam sejarah. Penambahan staf khusus di berbagai kementerian juga terus berlangsung tanpa henti. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah efisiensi anggaran hanya berlaku bagi daerah dan bukan bagi pemerintah pusat?

Yang lebih mencolok, dana hasil efisiensi kini diarahkan untuk membiayai program – program Prabowo yang diucapkan pada saat kampanye. Dan hal lainnya konon akan digunakan untuk menyuntik modal ke Danantara, sebuah lembaga keuangan baru yang dibentuk pemerintah. Keberadaan Danantara ini menimbulkan tanda tanya, terutama terkait urgensinya di tengah kondisi keuangan negara yang diklaim harus dihemat. Bagaimana jaminan bahwa lembaga ini benar-benar akan memberikan manfaat nyata bagi rakyat dan bukan sekadar menjadi alat bagi segelintir elit untuk mengelola dana besar tanpa kontrol yang transparan?

Keberadaan lembaga ini mendapatkan respon beragam, karena dipertanyakan urgensinya dan jangan sampai hanya ajang mengambil uang negara dengan alasan investasi di lembaga ini dengan alasan untuk menciptakan hilirasasi SDA ibu pertiwi. Apalagi terjadi paraktek yang tidak semestinya yaitu menempatkan pengawasnya adalah Jokowi sebagaimana permintaan Prabowo, padahal Jokowi mendapatkan gelar presiden paling korup versi OCCRP.

Siapa yang akan memastikan bahwa Danantara tidak akan terseret pada pusaran korupsi ? Kasus 1MDB (1 Malaysia Development Berhad) di Malaysia menjadi pengingat betapa rentannya dana investasi negara dari penyalahgunaan.

Awalnya dimasukkan sebagai motor pembangunan, 1MDB justru menjadi skandal keuangan terbesar di dunia. Menggerus kepercayaan publik dan mengguncang ekonomi negeri Jiran. Indonesia dengan rekam jejak yang tak kalah berliku tentang pengelolaan dana investasi, jelas harus belajar dari kegagalan tersebut.

Masalah lainnya beberapa nama yang diajukan dalam struktur kepengurusan ini menimbulkan pertanyaan publik, bagaimana kredibilitas lembaga ini. Guru Besar Universitas Indonesia dan Pengamat Pasar Modal, Budi Frensidy menyarankan agar pengelolaan lembaga ini diserahkan kepada profesional yang mempunyai interitas tinggi, berkomitmen dan tidak terafiliasasi dengan kepentingan politik dan kelompok tertentu.

Hal yang sama disampaikan oleh Anggawira, Sekjend Hipmi, Danantara harus dikelola secara transparan dan profesional dengan pengurus didalamnya harus bebas dari intervensi politikdan kepentingan bisnis tertentu. Beliau juga menambahkan bahwa pengelolaan aset yang besar seperti Danantara diserahkan kepada mmereka yang mempunyai keahlian luas dibidang investasi dan mengelola aset.

Sementara itu, program makan bergizi gratis yang menjadi salah satu janji kampanye utama kini menghadapi kendala keuangan. Program ini yang seharusnya menjadi prioritas justru mengalami pembatasan dengan skema bertahap dan piloting. Ini mengindikasikan bahwa di antara sekian banyak alokasi anggaran, kesejahteraan rakyat masih harus antre di belakang proyek-proyek lain yang tidak memiliki dampak langsung bagi mereka.

Dalam situasi ini, pemerintah seharusnya lebih konsisten dalam menerapkan prinsip efisiensi anggaran. Jika memang penghematan menjadi prioritas, maka anggaran seharusnya benar-benar diarahkan untuk sektor yang paling membutuhkan. Proyek-proyek besar yang bisa ditunda seharusnya masuk dalam daftar penghematan, bukan malah tetap mendapatkan prioritas anggaran. Selain itu, kebijakan efisiensi juga harus diterapkan secara adil, tidak hanya membatasi ruang gerak daerah, tetapi juga harus berlaku bagi pemerintah pusat dan kementerian.

Ke depan, transparansi dalam alokasi dan penggunaan anggaran menjadi kunci utama untuk memastikan bahwa kebijakan efisiensi benar-benar dijalankan untuk kepentingan rakyat, bukan sekadar jargon politik belaka. Tanpa transparansi dan konsistensi, efisiensi hanya akan menjadi alat justifikasi untuk memangkas sektor tertentu, sementara sektor lain tetap leluasa menikmati anggaran besar tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Jika kondisi ini terus berlangsung, bukan kesejahteraan rakyat yang meningkat, melainkan ketimpangan yang semakin melebar.

Dalam hal pengelolaan investasi dan aset sebagaimana yang akan terjadi pada Danantara hendaknya kita perlu belajar bagaimana kegagalan negeri Jiran hendaknya pemerintah perlu belajar dan mengantisipasi hal hal yang pernah terjadi, agar pengelolaan dana keuangan ini menjadi baik, transaparan dan benar benar berdampak pada kesejahteraan rakyat. Jangan dikelola lembaga ini seenak “Ndasmu”, yang pada akhirnya akan menjadi bancaan para elit.

Surabaya, 23 Pebruari 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K