Berkorban Demi Kebaikan

Berkorban Demi Kebaikan
Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., Guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Oleh: Muhammad Chirzin

Kita menyongsong Hari Raya Idul Adha pasca pergantian kepemimpinan Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto dalam kondisi Indonesia tidak sedang baik-baik saja.

Kurban adalah sebentuk ketaatan kepada Allah swt berupa penyembelihan sapi atau kambing pada hari raya Idul Adha, 10 Dzulhijjah, dengan mengharap ridha Allah swt semata.

Sungguh, telah Kami berikan kepadamu sumber yang melimpah. Maka, shalatlah untuk Tuhanmu dan berkurbanlah. Sungguh, orang yang membenci engkau,- dialah yang putus dari harapan masa depan. (QS Al-Kautsar/108:1-3).
Ibadah kurban umat Islam adalah warisan Nabi Ibrahim as.

Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersama Ibrahim, ia berkata: “Hai anakku, aku melihat dalam mimpi menyembelihmu.

Bagaimana pendapatmu?” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah akan kaudapati aku termasuk orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. Kami panggillah dia:

“Hai Ibrahim, kamu telah membenarkan mimpi itu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim pujian di kalangan orang-orang yang datang kemudian. “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” (QS Ash-Shaffat/37:102-109).

Pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail mengandung pesan untuk berbagi sumber, dan kesempatan, serta semangat memelihara warisan kemanusiaan, dengan mengalahkan kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan, maupun fanatisme sempit lainnya.

Penyembelihan ternak tahunan membuahkan keseimbangan ekosistem, membuka peluang memperoleh rezeki pengadaan hewan, pemeliharaan, penyediaan pakan, dan sarana transportasi, serta pemotongan.
Penyembelihan hewan kurban simbol pemotongan syahwat duniawi dan sikap mental syaithani yang mengalir dalam diri.
Yang sampai kepada Allah bukan daging atau darahnya, melainkan ketakwaan kamu. Demikianlah Ia memudahkannya kepada kamu supaya kamu mengagungkan Allah atas bimbingan-Nya kepada kamu; dan sampaikan berita baik kepada semua orang yang telah berbuat baik. (QS Al-Hajj/22:37).

Allah swt menurunkan agama untuk membebaskan manusia dari penderitaan, agar mereka dapat berdiri bebas di hadapan-Nya dengan benar dan menjaga diri dari perbuatan aniaya.
Manusia niscaya berjuang untuk meraih kehidupan yang bermakna. Setiap pengorbanan adalah investasi. Jer basuki mawa bea… Tak ada pengorbanan tulus yang sia-sia.

Bahwa yang diperoleh manusia hanya apa yang diusahakannya. Bahwa usahanya akan segera terlihat. Kemudian ia akan diberi balasan pahala yang sempurna. Bahwa kepada Tuhamu tujuan akhir. (QS An-Najm/53:38-42).

Kehidupan dunia adalah jembatan menuju kehidupan akhirat. Untuk mendapatkan kehidupan akhirat yang lebih baik, mukmin niscaya mengingat kematian. Rasulullah saw bersabda: orang yang terbaik dan paling cerdas ialah yang banyak mengingat kematian.

Banyak manusia terlena dengan kesenangan duniawi. Harta, anak, keluarga, dan takhta, menyebabkan manusia lupa akan kematian. Jika kematian menghampirinya, kecintaan terhadap keduniaan itu akan sirna.

Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik. (QS Āli ‘Imrān/3:14)

Rasulullah saw bersabda, “Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, ia akan menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekali tidak akan memenuhi mulutnya selain tanah.”

Sokoguru sebuah bangsa: (1) ulama (cendekiawan), (2) umara (penguasa), (3) ra’iyyah (rakyat jelata); dan (4) aghniya` (orang-orang kaya).

Para ulama dan cendekiawan menyangga kehidupan bangsa dengan ilmu pengetahuan dan kearifan, menjelaskan dan menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Para ulama dan cendekiawan harus berani mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah, demi kemaslahatan bangsa.

Allah swt meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu pengetahuan.

Hai orang-orang beriman, bila dikatakan kepadamu berlapang-lapanglah dalam majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah melapangkan untukmu, dan bila dikatakan berdirilah, maka berdirilah, niscaya Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Mujadilah/58:11)

Umara, penguasa, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, harus menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan sejujur-jujurnya dan seadil-adilnya. Tidak boleh ada tebang pilih dalam penegakan hukum, tajam ke bawah, tumpul ke atas, galak ke lawan, lembek ke kawan.

Allah swt berpesan, “Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. “(QS An-Nisa`/4:59)

Aghniya`, orang-orang kaya, harus dermawan demi kemaslahatan bersama. Membangun lembaga pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa, membangun perusahaan yang menampung sebanyak-banyaknya tenaga kerja lokal, memajukan sektor industri, pertanian, dan ekonomi rakyat dengan saksama.

Allah swt berpesan tentang harta.

Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dan diambil dari penduduk beberapa kota, adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah, dan apa yang dilarang, tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah; Allah sangat dahsyat hukumannya. (QS Al-Hasyr/59:7)

Ra’iyyah, rakyat, harus taat kepada para penguasa, selama mereka mentaati Allah dan Rasul-Nya. Bila penguasa menyimpang dari Undang-undang Negara, rakyat jangan segan-segan mengkritik dan mengoreksinya, sesuai dengan pesan Rasulullah saw: Man ra’a minkum munkaran falyughayyirhu biyadihi… – siapa yang menyaksikan kemungkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya…

Hidup tidak untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Kita harus memperlakukan pihak lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Tak seorang pun boleh diperlakukan dan/atau berlaku semena-mena. Kita berusaha mewujudkan aturan yang adil, di mana setiap orang memiliki kesempat¬an yang sama untuk meraih prestasi.

Kekayaan dan kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, dan keselamatan. Kekuasaan adalah ujian; apakah untuk menegakkan keadilan dan keselamatan atau sebaliknya.

Hidup di dunia tidak selamanya. Harta tidak akan membahagiakan, jika tidak digunakan sebagai bekal hidup setelah mati. Uang dan harta yang telah dikeluarkan pada jalan Allah itulah milik yang sesungguhnya, yang akan membahagiakan di alam kubur dan akhirat kelak.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K