Oleh: Muhammad Chirzin
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Denny JA dikenal sebagai penulis yang telah malang melintang di jagat media sosial. Dua tulisan Denny JA menggelitik para pembaca, baik yang pro maupun kontra. Pertama, “Ijazah Jokowi Asli dan Lima Kesalahan Metodologis Tuduhan Palsu” (Jakarta, 22 Mei 2025); dan kedua, “Ketika Universitas Harvard Memilih untuk Melawan Presiden Donald Trump” (Jakarta, 24 Mei 2025).
Menurut Denny JA, Bareskrim, melalui serangkaian riset forensik, telah menyimpulkan: Ijazah Presiden Joko Widodo dari Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah asli. Pernyataan Bareskrim ini memperkuat sikap resmi UGM—institusi yang menerbitkan ijazah tersebut—yang sejak awal telah menegaskan keasliannya.
Tim penyidik menelaah bahan kertas dan pengamannya (seperti watermark), teknik cetak (handpress/letterpress), tinta tulisan tangan, stempel dan tanda tangan dari dekan serta rektor UGM saat itu.
Dokumen tersebut dibandingkan dengan ijazah milik alumni seangkatan Presiden Jokowi di Fakultas Kehutanan UGM.
Hasilnya: identik. Dari jenis kertas hingga format tanda tangan, semuanya berasal dari sistem akademik yang sah. Semua bukti—fisik, digital, dan historis—mengarah pada satu kesimpulan: Ijazah itu asli. Ia bagian dari sejarah akademik yang otentik dan sah.
Lima kesalahan metodologis berikut ini menunjukkan cacat serius dalam tata akademik:
(1) data sekunder tak tervalidasi tak bisa dijadikan dasar analisis. Menggunakan data sekunder tanpa konfirmasi adalah pelanggaran berat dalam metode ilmiah. Bagaimana kita tahu pasti data sekunder itu adalah sama dengan data primer?
(2) Mengabaikan prinsip triangulasi. Dalam riset yang sahih, satu sumber tak pernah cukup. Harus ada pembanding, harus ada konfirmasi silang, harus ada proses pengujian. Ia hanya mengandalkan satu gambar digital. Ini bukan riset. Ini retorika yang menyamar sebagai analisis.
(3) Ilusi visual yang menyesatkan. Salah satu argumen yang diajukan adalah bahwa font Times New Roman belum digunakan pada tahun 1985. Padahal secara historis, font itu telah dikembangkan sejak 1931 dan digunakan secara luas dalam mesin ketik dan percetakan profesional sejak tahun 1932.
(4) Mengabaikan etika riset. Ilmu bukan hanya soal teknik, tetapi juga soal etik. Peneliti yang jujur mengakui keterbatasan data, bersedia diuji, dan tidak menyimpulkan besar dari bukti kecil.
Dalam kasus ini si penuduh menolak klarifikasi dari lembaga resmi (UGM, yang menyatakan keaslian ijazah); tetap menyebarkan simpulan yang telah dibantah lembaga resmi UGM. Ini bukan laku akademik. Ini adalah cacat epistemik—opini yang dipoles seolah-olah ia ilmu.
(5) Confirmation Bias: Mencari Apa yang Ingin Dipercaya. Alih-alih menyelidiki secara netral, penuduh tampaknya hanya ingin mencari konfirmasi bagi praduga awalnya.
Bareskrim telah memberi teladan: kebenaran tidak lahir dari keraguan yang diteriakkan, tetapi dari keraguan yang diselidiki secara teliti.
Kasus ini memberi pelajaran penting: bahwa kebenaran dalam demokrasi harus diperjuangkan—bukan dengan asumsi liar, melainkan dengan metode, integritas, dan disiplin.
Yang benar tetap benar, bahkan jika hanya didukung satu laboratorium.
Yang palsu tetap palsu, meski disebarkan oleh seribu akun.
Berkenaan dengan uraian (yang telah diringkas tersebut), penulis mengajukan tiga pertanyaan untuk Denny JA:
Pertama, apakah kesimpulan dan pernyataan Bareskrim tentang Ijazah Jokowi 100% benar? Dalam hal ini Roy Suryo telah mengemukakan bantahan dengan saksama.
Kedua, apakah pernyataan UGM 100% jujur? Pihak UGM keberatan membuka data Jokowi ketika diklarifikasi TPUA pada 15 April 2025.
Ketiga, apakah pernyataan Denny JA sepenuhnya benar, jujur, dan adil? Denny JA mempercayai pernyataan Bareskrim dan UGM sedemikian rupa, tanpa ia pernah melihat ijazah asli Jokowi.
Penulis menanti jawaban akademik, argumentatif, dan sahih.
Untuk opini Denny JA kedua (diringkas sebagai berikut) penulis setuju.
Universitas Harvard—pusat pemikiran bebas tertua di Amerika—mengajukan gugatan terhadap pemerintah federal Amerika Serikat. Gugatan hak untuk berpikir, hak untuk mengajar, dan hak untuk belajar tanpa intimidasi dari kekuasaan.
Pemerintahan Donald Trump, melalui Departemen Keamanan Dalam Negeri, baru saja memberlakukan kebijakan baru. Universitas yang dianggap “tidak kooperatif” terhadap pengawasan mahasiswa asing akan dikenai sanksi berat. Harvard menjadi sasaran pertama.
Kebijakan ini tak hanya membahayakan ribuan mahasiswa dari luar negeri. Ia juga mengguncang fondasi konstitusional pendidikan tinggi: bahwa kampus adalah tanah merdeka, bukan barak militer ideologis.
Dalam dokumen gugatan setebal 49 halaman, Harvard
menolak tunduk pada kekuasaan yang ingin menundukkan pemikiran dengan dalih keamanan nasional.
“Jika kami diam hari ini,” tulis Harvard, “besok akan lebih banyak suara dibungkam.” Maka berdirilah Harvard. Bukan dengan senjata. Tapi dengan integritas dan keberanian.
Pemerintah Trump memperkenalkan kebijakan yang mewajibkan universitas menyerahkan data pribadi mahasiswa internasional. Jika tidak, hak mereka untuk menerima pelajar asing akan dicabut.
Sanksi yang disiapkan sangat keras: (1) Penghentian visa untuk mahasiswa baru; (2) Ancaman deportasi bagi mahasiswa aktif; (3) Pemotongan dana riset dari pemerintah pusat.
Harvard menggugat kebijakan itu di pengadilan federal Boston. Dua hari setelah gugatan diajukan, pada 24 Mei 2025, Hakim Allison Burroughs mengabulkan permohonan perintah penahanan sementara (temporary restraining order).
Dalam putusannya, ia menulis: “Jika kebijakan ini dilanjutkan, kerugian terhadap Harvard bukan hanya administratif, melainkan eksistensial: kemerdekaan berpikir akan terkubur hidup-hidup.”
Pemerintah Trump membela kebijakan ini dengan alasan keamanan nasional. Mereka mengklaim adanya peningkatan ancaman intelijen asing dari negara-negara seperti Iran, Tiongkok, dan Palestina.
Profesor Danielle Allen dari Harvard Kennedy School menyatakan: “Pengawasan massal atas dasar asal negara menciptakan atmosfer ketakutan. Itu bukan keamanan, tapi paranoia yang dilembagakan.”
Tiga Alasan Mengapa Universitas Harvard Melawan Donald Trump
Pertama, karena universitas bukan alat negara. Ia harus bebas dari tekanan politik agar tetap menjadi penjaga nurani dan pencari kebenaran—meskipun kebenaran itu menyakitkan bagi penguasa.
Kedua, karena jika kekuasaan boleh menentukan siapa yang boleh belajar dan siapa yang layak bicara, kita sedang menghidupkan kembali masa ketika buku dibakar, guru dibungkam, dan ilmu dijadikan pelayan ideologi.
Ketiga, karena rasa takut tak boleh tumbuh di ruang belajar. Jika kampus berubah menjadi ruang interogasi, maka generasi masa depan akan tumbuh dalam ketakutan, bukan dalam kebijaksanaan.
Perlawanan Harvard bukan sekadar soal kebijakan 2025, tetapi upaya memutus rantai sejarah yang selalu mencoba membungkam kebenaran demi kekuasaan.
Di tengah ketegangan ini, para analis kebijakan publik dan ahli keamanan nasional mengingatkan bahwa tantangan sebenarnya terletak pada menemukan titik tengah antara keamanan negara dan kebebasan akademik.
Sejumlah lembaga think tank di Washington menyarankan agar pemerintah dan universitas membangun mekanisme dialog yang transparan dan berbasis bukti.
Keamanan nasional tidak harus bertentangan dengan kebebasan berpikir. Itu dapat dicapai melalui kerja sama yang saling menghormati hak asasi dan prinsip demokrasi. Solusi yang adil dan berkelanjutan dapat ditemukan tanpa mengorbankan nilai-nilai inti yang dijunjung oleh kedua belah pihak.
Makna Perlawanan Harvard ini adalah deklarasi bahwa di tengah zaman yang terpolarisasi, pikiran manusia harus tetap merdeka. Ketika suara manusia makin sering dibungkam, Harvard menyalakan kembali api kecil bernama akal sehat.
Kata John Milton dalam Areopagitica: “Berikan padaku kebebasan untuk mengetahui, menyampaikan, dan memperdebatkan secara bebas menurut suara hati—di atas segala bentuk kebebasan lainnya.”
Harvard telah memilih berpihak pada cahaya, di tengah pekatnya tirani. Dan kelak, generasi mendatang akan mengingat bahwa di tahun 2025, sebuah universitas pernah berdiri ketika banyak lainnya memilih diam.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (3): Membangun Stabilitas Politik dan Menghindarkan Indonesia dari Kekacauan Pasca 1965

Pertemuan “Rahasia” di PTIK (Bagian 2): Guncangan di Ruang Reformasi dan Bayang-Bayang Operasi Garis Dalam

Pertemuan “Rahasia” di PTIK (Bagian 1) : Walkout, Ketegangan, dan Polemik Komisi Reformasi Polri

Sikap Arogan Ketua Tim Reformasi Polri Justru Tak Hendak Mendengarkan Suara Rakyar

Sutoyo Abadi: Memusingkan

Tantangan Transformasi Prabowo

Kementerian PKP Tertinggi Prestasi Penyerapan Anggaran dari Seluruh Mitra Komisi V

Kejati Sumut Sita Rp150 Miliar dari Kasus Korupsi Penjualan Aset PTPN I: Babak Baru Pengungkapan Skandal Pertanahan 8.077 Hektare

Dipimpin Pramono Anung Jakarta Makin Aman dan Nyaman, Ketua Umum APKLI-P: Grand Opening WARKOBI Januari 2026 Diresmikan Gubernur DKI

Refly Harun Dan RRT Walkout saat Audiensi Dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri



No Responses