Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Pak sPrabowo sebelum menjadi presiden pada bulan Oktober 2018 didepan para kader partai Gerindra pernah mengatakan bahwa Indonesia diramalkan akan bubar tahun 2030. “Saudara-saudara, kita masih upacara, kita masih menyanyikan lagu ebangsaan, kita masih pakai lambang-lambang negara, gambar-gambar pendiri bangsa masih ada di sini.””Tetapi di negara lain, mereka sudah bikin kajian-kajian di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030. Bung, mereka ramalkan kita ini bubar!”
Seingat saya pernyataan pak Prabowo itu disanggah oleh Prof. Mahfud MD karena rujukannya pak Prabowo itu adalah buku novel Ghost Fleet bukannya buku ilmiah. Ghost Fleet sendiri adalah sebuah novel techno-thriller tahun 2015 karya P. W. Singer dan August Cole. Berlatar belakang masa depan, buku tersebut menggambarkan sebuah skenario dimana Tiongkok dapat meluncurkan serangan yang ditunjang teknologi melawan Amerika Serikat, yang berujung pada pendudukan Hawaii.
Saya secara pribadi tidak membaca buku novel diatas, tapi menurut saya sebuah negara besar yang memiliki ribuan pulau dan beragam suku bangsa seperti Indonesia ini bisa bubar bukan karena serangan senjata nuklir, tapi bisa bubar dikarenakan pertikaian dalam negeri yang berumber pada pertikaian SARA – Suku Agama Ras dan Antar Golongan, juga bisa bubar karena adanya konflik perebutan wilayah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Karena itu mengelola negara besar seperti Indonesia ini diperlukan kearifan dan para petinggi pengelola negara ini.
Perpecahan antar anak bangsa itu bisa muncul karena adanyanya konflik wilayah misalnya antara lain perubahan status Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang dari bagian Provinsi Aceh ke Sumatra Utara oleh Kementerian Dalam Negeri yang telah memicu protes warga Aceh. Gubernur Aceh Muzakir Manaf megatakan bahwa sejak dulu keempat pulau itu milik Aceh.
Sementara itu Wakil Ketua Partai Aceh, Suadi Sulaiman, menyatakan bahwa pemerintah seharusnya menghormati batas Aceh yang disepakati dalam Perjanjian Helsinki. Ia menganggap penyerahan empat pulau ke Sumatra Utara telah menodai perjanjian damai Aceh dengan Indonesia. “Jangan mengeksploitasi Aceh itu dengan hal-hal yang bisa merusak keutuhan, baik keutuhan perdamaian maupun keutuhan NKRI,” kata Suadi.
“Itu kan seperti mengadudombakan antara Aceh dengan Sumatra Utara,” tambah bekas anggota Gerakan Aceh Merdeka tersebut.
Bahkan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK) menilai Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmen) yang menetapkan Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil masuk wilayah Sumatera Utara (Sumut) cacat formil. Sebab, kata JK, keempat pulau itu secara historis masuk wilayah Aceh jika merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1956 yang mengatur pemisahan Aceh dari Sumut.
Menurut JK, perlu ada rujukan historis terkait sengketa ini. Perbatasan wilayah sebenarnya sudah diatur dalam Perjanjian Helsinki yang disepakati Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005. Pak JK bahkan mengatakan bahwa status empat pulau itu merupakan harga diri rakyat Aceh.
Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dalam kasus ini juga harus “take into consideration” atau mempertimbangkan variabel sensitivitas rakyat Aceh yang mengalami pergolakan berdarah dalam waktu lama dikarenakan tidak puas dengan cara pemerintah pusat mengatur negara utamanya daerah Aceh. Variabel lain adalah sejarah kedua propinsi Sumut dan Aceh itu memiliki kontribusi yang besar dalam masa-masa perjuangan untuk merebut kemerdekaan dari penjajah.
Sejarah mencatat Sultan-sultan di Sumatera Utara, seperti Sultan Deli, Sultan Langkat, dan Sultan Serdang, dengan suka rela menyerahkan kedaulatan wilayah mereka kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah kemerdekaan Indonesia. Mereka menyatakan bergabung dengan NKRI dan mengakui kedaulatan pemerintah Indonesia atas wilayah mereka. Masyarakat Aceh pernah menyumbangkan emas untuk membantu pembelian pesawat pertama Indonesia. Pada Juni 1948, warga Aceh bergotong royong mengumpulkan harta benda mereka, termasuk emas, untuk mewujudkan keinginan pemerintah memiliki armada pesawat. Selain itu, Teuku Markam, seorang pengusaha asal Aceh, juga menyumbangkan 28 kg emas untuk lapisan puncak Monumen Nasional (Monas). Sumbangan emas ini merupakan bagian dari upaya Soekarno untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia.
Kalau persoalan yang sensitif status empat pulau ini tidak segera diselesaikan secara bijak oleh pemerintah pusat maka bermunculan pendapat negative yang berseliweran di sosial media antara lain menyebut empat pulau di wilayah perbatasan Aceh “dilepas” ke Sumut sebagai bentuk hadiah untuk keluarga Presiden ke-7, Joko Widodo. Isu tersebut beredar luas di media sosial menyiratkan bahwa keputusan administratif pengalihan wilayah empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara merupakan bentuk ‘hadiah’ ke keluarga Jokowi. Isu itu sudah dibantah oleh Gubernur Sumut Bobby Nasutioan yang tak lain adalah menantu mantan presiden Jokowi.
Kalau tidak ingin negara tercinta ini bubar maka bukan hanya diperlukan persatuan diantara anak bangsa, namun juga diperlukan kearifan para petinggi negara yang diberi amanat rakyat untuk mengelola negara ini secara arif dalam memutuskan suatu kebijakan.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Sikap Arogan Ketua Tim Reformasi Polri Justru Tak Hendak Mendengarkan Suara Rakyar

Sutoyo Abadi: Memusingkan

Tantangan Transformasi Prabowo

Kementerian PKP Tertinggi Prestasi Penyerapan Anggaran dari Seluruh Mitra Komisi V

Kejati Sumut Sita Rp150 Miliar dari Kasus Korupsi Penjualan Aset PTPN I: Babak Baru Pengungkapan Skandal Pertanahan 8.077 Hektare

Dipimpin Pramono Anung Jakarta Makin Aman dan Nyaman, Ketua Umum APKLI-P: Grand Opening WARKOBI Januari 2026 Diresmikan Gubernur DKI

Refly Harun Dan RRT Walkout saat Audiensi Dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri

Subuh, Kolaborasi, Kepedulian, dan Keberkahan

Dukung Revisi PP 50/2022, Ketua Umum APKLI-P: Praktek Tax Planing PPH 0,5% UMKM Puluhan Tahun Dibiarkan

LPG, LNG, CNG dan Kompor Induksi, Solusi Emak Emak Swasembada Energi Di Dapur


No Responses