Oleh: Kholid Harras
Dosen Universitas Pendidikan Indonesia
Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa
Syahdan, pada masa keemasan peradaban Islam, para penulis dan ilmuwan hidup dalam kemuliaan yang nyata. Khalifah Al-Ma’mun pendiri Bayt al-Hikmah di Baghdad misalnya, dikenal sebagai seorang pemimpin yang sangat memuliakan para ilmuwan dan penulis.
Dengan uang negara Khalifah membayar para penerjemah dan ilmuwan dengan emas seberat karya yang mereka hasilkan.
Di mata Al-Ma’mun, buku bukan hanya dianggap sekadar produk intelektual, tapi juga aset negara. Ilmu adalah sumber kuasa, dan para penulis kaum cendekia adalah penggeraknya.
Hari ini, di Indonesia yang konon ingin menjadi bangsa berdaulat berbasis pengetahuan, para dosen penulis, para peneliti juga para sastrawanya justru hidup dalam sunyi yang getir. Para dosen dan akademisi, yang setiap tahun dituntut mempublikasikan karya ilmiah dalam jurnal bereputasi misalnya, negara abai terhadap ongkos dan perjuangan di baliknya.
Mereka seolah tutup mata, bahwa untuk bisa menulis dan karyanya bisa dimuat pada jurnal bereputasi Q1 misalnya, mereka harus membayar Article Processing Charge (APC) yang bisa mencapai Rp20 juta hingga Rp30 juta, seperti dicatat dalam laporan Elsevier dan Springer Nature tahun 2024. Dan biaya sebesar itu belum termasuk biaya riset, penerjemahan, dan revisi berulang dari reviewer anonim yang kadang lebih galak dari dosen penguji skripsi.
Tentu tidak semua dosen bernasib malang. Bagi sebagian dosen yang juga sebagai pejabat kampus atau guru besar yang punya akses ke hibah penelitian dan dana institusional, mungkin perjuanganya lebih mudah dalam hal biaya.
Tapi bagi mayoritas dosen biasa—yang tanpa jabatan struktural, belum guru besar, bahkan masih berstatus honorer—publikasi ilmiah sering kali harus dibiayai dari potongan gaji. Bukan untuk liburan, bukan untuk jajan anak, tapi untuk memenuhi target kinerja institusi.
Menurut BRIN (2023), hanya sekitar 18% dosen di Indonesia yang rutin memperoleh hibah penelitian nasional, sedangkan 82% lainnya harus menanggung sendiri atau berburu hibah kompetitif yang prosesnya panjang dan rumit. Di sisi lain, laporan dari Kemendikbudristek tahun 2024 menunjukkan bahwa kontribusi publikasi ilmiah Indonesia memang meningkat, tetapi sebagian besar berasal dari institusi yang sama—kampus besar dengan akses dana yang lebih baik.
Bandingkan dengan Malaysia. Di negeri jiran tersebut, penulis bukan hanya dikenali, tetapi juga dimuliakan. Sejak 1974, pemerintah Malaysia menganugerahkan gelar “Sasterawan Negara” kepada tokoh-tokoh sastra yang dinilai telah memberikan kontribusi luar biasa terhadap perkembangan bahasa dan kebudayaan.
Gelar tersebut bukan sekadar simbolis—ia datang bersama tunjuangan tetap seumur hidup, rumah dinas, dana penerbitan, serta akses penuh ke fasilitas negara untuk mendukung karya-karya mereka. Mereka diundang sebagai tamu negara, dihormati dalam sidang parlemen, dan dijadikan panutan dalam pendidikan nasional.
Dalam konteks publikasi akademik, Malaysia lebih ramah terhadap peneliti. Melalui lembaga Ministry of Higher Education (MoHE) dan Malaysian Research Assessment (MyRA), pemerintah menyediakan berbagai skema pendanaan dan program afirmatif untuk dosen-dosen muda yang ingin meneliti dan menulis, termasuk dana publikasi penuh bagi jurnal bereputasi. Negara hadir bukan sebagai penonton, tetapi sebagai sponsor kemajuan pengetahuan.
Di Indonesia? Hari Buku Nasional 17 Mei lalu bahkan berlalu tanpa kebijakan konkret. Harga buku terus naik. Rata-rata kini di atas Rp90.000 menurut Ikapi (2024). Sedangkan pajak atas buku tetap diberlakukan. Ditjen pajak masih menganggap bisnis buku sebagai salah satu sumber cuan negara, laiknya bisnis pariwisata. Di sisi lain, tanpa malu dan risih negara tetap fasih berbicara soal “SDM unggul”, “transformasi digital”, dan “ekonomi berbasis pengetahuan.”
Para dosen penulis buku ilmiah jika bermimpi ingin karya-karya terpublikasi, resiko ditanggung sendiri. Harus mencetak dan memasarkan sendiri karyanya dengan biaya sendiri (self publishing). Selanjutnya melaporkannya dalam sistem BKD yang lebih akrab dengan spreadsheet daripada isi naskahnya.
Bagi sebagian para penggerak pengetahuan: penulis, sastrawan, dosen peneliti, meskipun ditinggalkan dalam senyap, tidak ada subsidi penerbitan, tidak ada insentif karya ilmiah mandiri, dan tidak ada kebijakan distribusi buku akademik dan buku sastra berbasis negara, tetap setia berkarya sebagai bagian dari panggilan jiwa.
Mereka adalah segolongan orang yang masih percaya, bahwa satu paragraf dalam jurnal ilmiah atau satu sebuah puisi yang penuh makna mungkin lebih tahan lama daripada sepuluh tahun masa jabatan seseorang. Mereka juga masih percaya bahwa bangsa ini hanya bisa maju lewat pemikiran, dan bukan karena keriuhan berbagai proyek mercusuar.
Kini saatnya bertanya: kapan negara akan serius mencintai ilmu, dan bukan hanya pencitraan ilmu? Kapan para penulis, dosen peneliti dan para sastrawan akan diakui sebagai pekerja strategis dalam pembangunan? Kalau Malaysia bisa menciptakan Sasterawan Negara, kenapa Indonesia tidak bisa memiliki yang juga sama serta Ilmuwan Bangsa yang mendapatkan penghormatan dan dukungan yang setara?
Jika bangsa ini benar-benar ingin besar, memanglah tidak boleh hanya focus pada membangun gedung-gedung tinggi dan bandara mewah. Bangun pula peradaban melalui karya tulis, dan muliakan para penulisnya. Karena sungguh, sejarah sebuah bangsa tidak ditulis oleh baliho politik atau video kampanye, tetapi oleh ide-ide jernih yang lahir dari meja kerja para pemikir yang sering kali bekerja dalam diam. Dan mereka—para dosen, penulis, peneliti, sastrawan tanpa gelar mewah atau jabatan—mereka adalah lilin-lilin kecil yang terus menyala. Menolak padam, meski angin zaman terus mencoba meniup mereka ke dalam lupa.**
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Negeri yang Abai pada Penulis dan Sastrawan”
EDITOR: REYNA
Related Posts

Sikap Arogan Ketua Tim Reformasi Polri Justru Tak Hendak Mendengarkan Suara Rakyar

Sutoyo Abadi: Memusingkan

Tantangan Transformasi Prabowo

Kementerian PKP Tertinggi Prestasi Penyerapan Anggaran dari Seluruh Mitra Komisi V

Kejati Sumut Sita Rp150 Miliar dari Kasus Korupsi Penjualan Aset PTPN I: Babak Baru Pengungkapan Skandal Pertanahan 8.077 Hektare

Dipimpin Pramono Anung Jakarta Makin Aman dan Nyaman, Ketua Umum APKLI-P: Grand Opening WARKOBI Januari 2026 Diresmikan Gubernur DKI

Refly Harun Dan RRT Walkout saat Audiensi Dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri

Subuh, Kolaborasi, Kepedulian, dan Keberkahan

Dukung Revisi PP 50/2022, Ketua Umum APKLI-P: Praktek Tax Planing PPH 0,5% UMKM Puluhan Tahun Dibiarkan

LPG, LNG, CNG dan Kompor Induksi, Solusi Emak Emak Swasembada Energi Di Dapur


No Responses