Sufmi Dasco, Senopati Politik Prabwo Subianto(54): Revisi UU TNI untuk “Memperkuat Internal Tanpa Menggoyang Supremasi Sipil”

Sufmi Dasco, Senopati Politik Prabwo Subianto(54): Revisi UU TNI untuk “Memperkuat Internal Tanpa Menggoyang Supremasi Sipil”
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (kemeja putih) saat ditemui di Polda Metro Jaya, Jumat (23/8/2024). ANTARA

Oleh: Budi Purtyanto

Pemimpin redaksi

 

Isu revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali menjadi sorotan publik setelah gelombang penolakan bermunculan di media sosial dan ruang-ruang diskusi publik. Berbagai pihak menyuarakan kekhawatiran atas potensi bangkitnya kembali dwifungsi ABRI dan pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi sipil.

Namun, klarifikasi resmi dari pimpinan DPR RI, khususnya Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Korpolkam), Sufmi Dasco Ahmad, menyajikan sudut pandang yang berbeda: revisi ini bukan untuk memperluas peran TNI ke wilayah sipil, melainkan justru untuk memperkuat kerangka internal TNI agar selaras dengan dinamika pertahanan modern dan kebutuhan negara.

Klarifikasi Resmi DPR: Hanya Tiga Pasal yang Diubah

Dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta (Senin, 17 Maret 2025), Dasco menekankan bahwa sebagian besar narasi penolakan yang berkembang di publik tidak sesuai dengan substansi revisi yang sebenarnya.

“Penolakan-penolakan yang saya lihat di media sosial, itu substansi dan pasal-pasal yang ada sangat banyak yang tidak sesuai dengan yang dibahas,” ujar Dasco dengan nada tegas.

Ia menambahkan, hanya tiga pasal yang mengalami perubahan, yaitu pasal yang menyangkut:

Kedudukan TNI di bawah Presiden, dengan penegasan kembali fungsi koordinasi strategis dengan Kementerian Pertahanan;

Penempatan prajurit aktif di luar institusi militer, terbatas hanya untuk 15 lembaga negara yang telah diatur, tanpa perlu melepas status keanggotaan TNI;

Usia pensiun, yang dinaikkan agar selaras dengan tantangan dan pengalaman personel senior dalam organisasi.

“Pasal-pasal ini, kalau dilihat, hanya untuk penguatan internal ke dalam. Dan memasukkan yang sudah ada ke dalam UU,” jelas Dasco.

Menjawab Isu Dwifungsi TNI: Supremasi Sipil Tetap Dijaga

Isu paling sensitif dalam revisi ini tentu adalah kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi—peran ganda militer di ranah sipil dan militer yang telah lama ditinggalkan sejak era reformasi. Dasco dengan lugas menjawab bahwa tak satu pun dari pasal-pasal yang diubah membuka peluang tersebut.

“Kami di DPR akan menjaga supremasi sipil dan lain-lain,” tegas politisi Partai Gerindra ini.

Dengan pernyataan ini, Dasco mencoba memulihkan kepercayaan publik terhadap DPR dalam merumuskan kebijakan pertahanan yang seimbang: cukup kuat untuk menjawab tantangan strategis, namun tidak melanggar prinsip demokrasi.

Transparansi dan Keterbukaan, Kunci Meredam Misinformasi

Konferensi pers ini juga menjadi momen penting untuk merespons berkembangnya berbagai versi draf revisi UU TNI di media sosial yang tidak resmi. Menurut Dasco, draf yang beredar luas tersebut sangat berbeda dari yang sebenarnya dibahas oleh Komisi I DPR RI. Oleh karena itu, keterbukaan informasi dan komunikasi aktif dari parlemen menjadi krusial untuk mencegah disinformasi semakin liar di masyarakat.

Titik Tengah Antara Reformasi dan Realitas Pertahanan

Melalui pendekatan minimalis (hanya tiga pasal) namun strategis, revisi UU TNI ini tampaknya berusaha mencari jalan tengah: mengakomodasi dinamika kebutuhan pertahanan negara di tengah ancaman global yang makin kompleks, sambil tetap menjaga nilai-nilai demokrasi hasil perjuangan reformasi.

Revisi ini bukan untuk mengubah watak sipil negara, melainkan untuk merapikan dan menyesuaikan perangkat hukum dengan praktik yang telah lama berjalan, seperti penempatan personel TNI dalam lembaga seperti SAR, BNN, atau BIN, yang selama ini sudah terjadi namun belum diatur secara legal formal.

Revisi UU TNI memang bukan tanpa kontroversi. Namun, seperti yang ditegaskan oleh Dasco dan pimpinan DPR lainnya, pendekatan yang diambil bersifat terbatas, normatif, dan administratif. Masyarakat perlu terus mengawal prosesnya secara kritis, namun juga perlu memastikan bahwa penolakan bersandar pada substansi yang benar—bukan pada persepsi yang terdistorsi.

Di era keterbukaan informasi, keterlibatan aktif masyarakat sipil, pengawasan pers, dan transparansi dari parlemen harus berjalan seiring—demi membangun demokrasi yang tangguh dan pertahanan yang kuat.

EDITOR:REYNA

Last Day Views: 26,55 K