Bicara Dihadapan Cermin: Refleksi Maknawi

Bicara Dihadapan Cermin: Refleksi Maknawi
Ilustrasi

Oleh: Agus Wahid
Penulis: analis politik

Beberapa hari lalu, beredar di tiktok. “Ada agenda besar di balik isu ijazah palsu dan pemakzulan”, ujar Jokowi di media sosial itu. Arah pernyataannya, menggiring opini untuk meyakinkan publik tentang adanya kekuatan pihak tertentu yang berusaha “mengubur” Jokowi dan keluarganya, terutama Gibran Rakabuming Raka yang kini sedang menjabat sebagai Wakil Presiden.

Pernyataan Jokowi langsung mengingat kalimat seorang sahabat semasa kuliah pada sekitar 1981. “Pernyataan seorang politisi haruslah dibaca sebaliknya”, ujarnya. Maka, pernyataan Jokowi layak kita analisa secara reflektif dengan berpijak pada faktualitas tindakannya selama sepuluh tahun lalu, bahkan sampai detik-detik terakhir ini.

Mencoba mengingat kembali kalimat seorang sahabat, maka ketika melihat dan mendengarkan pernyataan Jokowi itu, haruslah kita baca, siapa sesungguhnya yang memiliki agenda besar di balik isu ijazah palsu dan pemakzulan itu? Dengan metode pemahaman yang terbalik itu, kita akan menemukan siapa aktor sesungguhnya, sekaligus agenda yang sedang dan akan terus dibangun.

Jika kita cermati isu ijazah palsu, siapa sesungguhnya yang menolak ijazah ditunjukkan ke ranah publik? Fakta bicara, jutaan orang menuntut Jokowi untuk memperlihatkan ijazahnya, tapi tak pernah digubris. Bahkan, segenap aktivis yang ahli di bidang forensik digital yang menguji foto copy ijazah yang diklaim asli bukan hanya diabaikan, tapi malah dikriminalisasi.

Uniknya, ketika Jokowi melaporkan kasusnya ke Bareskrim – POLRI, pun keberadaan ijazahnya tak diperlihatkan. Sampai-sampai, janji dirinya yang akan memperlihatkan ijazahnya di pengadilan, pun tidak diperlihatkan juga di arena pengadilan.

Tindakan Jokowi yang ogah memperlihatkan ijazahnya – dalam “teori” melihat cermin – sesungguhnya Jokowi itulah yang memiliki agenda besar. Dalam perspektif ekonomi periklanan, Jokowi sengaja membangun impresi sebuah nama dan sosoknya sebagai brand yang selalu menempel dalam otak masyarakat. Lebih dari itu – dengan meminjam pemikiran sosio-psikologi – impresi yang dibangun adalah menempatkan diri Jokowi sebagai korban (playing the victim). Dengan memahami kultur Jawa, Jokowi mendesain agar dirinya mendapatkan simpati publik secara luas. Timbul rasa mesakno diuyek-uyek terus (muncul rasa kasihan karena dihinakan terus).

Catatan analitik tersebut menunjukkan Jokowi itulah yang sejatinya punya agenda besar. Agar, keberadaan dirinya dalam jagad raya politik masih tetap eksis atau diperhitungkan. Eksistensi ini diperlukan sejalan periode 2029 – 2034, Jokowi berpotensi bisa maju lagi dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres).

Sikap itu jelaslah terlalu ambisius, bahkan ilusi. Sebab, proses politik 2014 dan 2019 tidaklah sama dengan 2029. Bagaimana pun, proses administrasi pilpres 2029 akan sangat ketat untuk menguji validitas keaslian dokumen sebagai prasyarat calon presiden (capres). KPU dan atau rakyat akan bergerak vulgar jika Jokowi maju lagi dalam pilpres mendatang. Para elitis dari komponen rivalnya pun tak akan membiarkan laju Jokowi itu.

Sebuah variabel yang layak dilontarkan labih jauh, apakah agenda Jokowi yang tersimpan itu semata-mata untuk diri pribadinya? No. Kita bisa membaca. Dalam radius pendek, kita bisa melihat kepentingan menyelamatkan keluarganya (anak dan menantunya) yang masih berkiprah dari panggung kekuasaan. Tapi dan hal inilah yang wajib dicermati, dalam radius jauh, kita tak bisa menutup mata grand design how to colonize Indonesia under Chinese power?

Variabel kolonialisasi itu layak kita ketengahkan sejalan dengan kerjasama sepemahaman Jokowi – Xi Jinping telah tertoreh sejak awal Wie Yo Koh itu naik tahta pada 2014. Kesepakatan itu terbaca jelas pada agenda toll laut untuk mempercepat arus transportasi kepentingan China di tanah air ini. Karena agenda itu pula, maka terdapat 118 daerah reklamasi sebagai megaproyek migrasi sekitar 200 juta penduduk China ke Indonesia.

Data bicara, kesepakatan itu – sampai Jokowi berakhir kekuasaannya – baru sebagian yang tereraliasi. Baru memigrasikan ribuan tenaga kerja asing (TKA) China ke sejumlah kawasan industri yang penuh pengawalan secara hukum dan keamanan. Harus kita catat, para TKI China sejatinya paramiliter.

Karena dianggap gagal, maka itulah sebabnya, Gibran dimajukan, dengan cara apapun, meski menabrak rambu-rambu hukum yang sangat vulgar. Kita tahu, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023, tanpa proses persidangan lazimnya sebuah perkara. Begitu didaftarkan judicial review, Anwar Usman selaku Ketua MK langsung memutuskannya. Wow…

Jokowi berharap, proses politik Gibran sampai berhasil duduk sebagai Wakil Presiden akan memperlancar agenda politiknya yang siap menggadaikan bahkan “menjual lepas” kedaulatan NKRI ini ke tangan China. Dinamika yang kini menampak jelas dalam berbagai gelombang reaksi rakyat menunjukkan kegalauan Jokowi. Bukan hanya kegagalan nyata saldo kekuasaan yang terus ditagih bohirnya (China dalam negeri dan asing), tapi juga menghadapi gelombang anti Gibran.

Tampaknya, hal itulah yang membuatnya stress berat. Penilaian tak berdasar? Hanya menuduh? Menurut catatan medik, stress berat bisa mengakibatkan reaksi pada kulit: menjadi tidak normal. Dan itulah yang kita saksikan. Saat ini Jokowi sedang menghadapi penyakit kronis. Sulit disembuhkan sepanjang beban spikologis itu terus menderanya. Boleh jadi, akan bernasib seperti Mustafa Kemal Attaruk, pemimpin sekularis Turki dulu.

Lalu, bagaimana dengan persoalan pemakzulan Gibran sebagaimana yang disampaikan Jokowi di media sosial itu? Apakah pemakzulan juga merupakan agenda pihak tertentu? Sekali lagi, ucapan Jokowi dalam upaya menggiring opini dengan cara mengalihkan argumentasi rasionalnya. Jokowi terus berusaha mencari argumen bahwa pamakzulan itu menistakan anaknya.

Kembali ke pemikiran teoritik “bicara di hadapan cermin”, Jokowi berusaha mengabaikan persoalan substansinya. Makanya, harus dibaca sebalinya, atau yang tersirat. Dalam hal ini Jokowi bukan hanya mengabaikan proses politik kontetasi yang merusak tatanan hukum tata negara, tapi juga mengabaikan kualitas diri Gibran yang jauh di bawah kapasitas. Bukan hanya masalah pendidikannya yang juga tidak jelas, tapi kemampuan berfikirnya juga di bawah standar. Perjalanan politiknya – saat menjadi Walikota Solo – juga karbitan. Penuh drama dan rekayasa (simsalabim).

Satu hal yang dibaikan secara apriori, Indonesia yang demikian besar dan penuh tantangan, bagaimana mungkin dihandle oleh seorang bocah yang jauh di bawah kapasitas itu? Apakah jutaan anak negeri taka da yang brilian? Ketika kita saksikan gelombang pemakzulan yang meluas, dari anasir purnawirawan, elemen mahasiswa dan rakyat, mengapa hal itu dilihat sebagai kebencian atau belum bisa move on atas kekalahannya dalam kontestasi pilpres?

Penilaian miris tersebut jelaslah mengabaikan atau tak mau melihat jatidiri Gibran yang – secara faktual – memang jauh di bawah standar sebagai pemimpin nasional. Perlu kita garis-bawahi, gelombang anti Gibran dalam bentuk upaya pemakzukan adalah refleksi kecintaan terhadap Tanah Air ini. Secara futuristik, mereka sadar akan ketersungkuran negeri ini jika Gibran memimpin. Futurisme ini juga dilandasi pemahaman yang kuat terhadap konstitusi kita: jika Presiden wafat di perjalanan, atau berhalagan tetap, maka sang Wakil Presiden itu naik, menggantikannya (Pasal 8 Ayat 1 UUD 1945).

Itulah kegalauan yang meluas. Jadi, gelombang pemakzulan sejatinya merupakan kesadaran sekaligus wujud nasionalisme yang kuat. Itulah sebabnya, pemakzulan terhadap Gibran adalah keharusan. Demi masa depan bangsa dan negara ini.

Akhirnya, kembali pada pernyataan Jokowi tentang ada agenda besar terhadap kasus ijazah palsu dan pemakzulan, kita wajib membacanya dari sisi sebaliknya. At least, sesuatu yang tersembunya. Implisit. Tersirat. Inilah refleksi maknawi yang perlu kita pahami. Untuk menyadarkan diri kita. Demi keselamatan kepentingan nasional. Jadi, Bukan kebencian personal.

Bandung, 16 Juli 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K