Oleh: Budi Puryanto
Pemimpin Redaksi
Pengibaran bendera hitam khas One Piece dengan tengkorak mengenakan topi jerami (dalam sebuah demonstrasi atau aksi publik baru-baru ini menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan, termasuk dari Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad. Politisi Partai Gerindra itu menyampaikan keberatannya dengan tegas, menyebut bahwa simbol-simbol seperti bendera tengkorak berpotensi memecah belah bangsa, bukan menyatukan.
Bendera tengkorak bertopi jerami tersebut kini banyak dikibarkan di berbagai lokasi seperti tiang rumah, kendaraan, dan truk menjelang HUT RI ke‑80.
Pengibaran bendera tengkorak itu berpotensi memecah belah bangsa dan bahkan ada indikasi upaya sistematis dari intelijen. Mengingat simbol ini bisa dianggap intimidatif dan memancing ketegangan.
“Simbol tengkorak itu bukanlah ekspresi aspirasi yang sehat dalam negara demokrasi. Justru itu bisa menyulut ketegangan, menciptakan rasa takut, dan mengadu domba sesama anak bangsa,” ujar Dasco dalam keterangan persnya di Kompleks Parlemen, Senayan, awal pekan ini.
Makna Simbol dan Potensi Konflik
Bendera tengkorak secara historis sering dikaitkan dengan simbol perlawanan, kekerasan, atau bahkan teror. Dalam konteks budaya populer, ia mungkin diasosiasikan dengan bajak laut atau kelompok pemberontak. Namun dalam konteks demonstrasi politik di Indonesia, penggunaan simbol semacam itu bisa dimaknai sebagai bentuk ancaman simbolik terhadap negara dan masyarakat.
Menurut Dasco, demokrasi Indonesia telah memberikan ruang luas untuk berekspresi, menyampaikan kritik, bahkan protes terhadap pemerintah. Namun ruang tersebut harus digunakan secara bertanggung jawab dan tidak menimbulkan kegaduhan yang bisa menyulut konflik horizontal.
“Kalau simbol-simbol seperti itu terus dibiarkan, bukan tidak mungkin ke depan kita menghadapi bentrokan antarkelompok karena salah paham atau provokasi,” tambahnya.
Menjaga Ruang Demokrasi Tetap Sehat
Penolakan Dasco bukan berarti anti terhadap aksi protes. Ia justru mengingatkan agar masyarakat lebih cermat dalam memilih bentuk dan simbol ekspresi. Aksi menyampaikan pendapat di muka umum diatur dan dilindungi oleh undang-undang, tetapi tetap harus berada dalam koridor hukum dan norma sosial.
“Kalau kritik disampaikan lewat diskusi terbuka, lewat tulisan, atau bahkan lewat satire yang cerdas, itu sehat. Tapi kalau mulai pakai simbol kekerasan seperti tengkorak, itu bukan lagi kritik, tapi intimidasi,” tegas Dasco.
Pernyataan ini sekaligus menjadi pengingat bahwa kebebasan berekspresi tidak bisa digunakan sebagai dalih untuk menebar rasa takut atau mengancam keharmonisan sosial. Indonesia yang plural, dengan ratusan etnis dan agama, sangat rentan terhadap gesekan yang dipicu oleh simbol-simbol provokatif.
Respons Masyarakat dan Pengamat
Sejumlah tokoh masyarakat dan pengamat politik menilai pernyataan Dasco cukup tepat di tengah meningkatnya tensi politik menjelang pemilu atau agenda nasional lain. Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik dan Demokrasi (Pusdem) Prof. Widya Pranata menyebut bahwa simbol dalam aksi publik bukan hal sepele.
“Simbol itu bicara lebih keras daripada kata-kata. Sekali orang melihat tengkorak, apa yang muncul di benak? Kekerasan. Ketakutan. Ketegangan. Itu yang harus dicegah,” ujarnya dalam diskusi daring yang digelar Selasa lalu.
Sebagian masyarakat sipil juga mulai bersuara agar ruang publik tetap steril dari simbol yang memancing konflik. Apalagi jika digunakan oleh kelompok-kelompok yang mengklaim mewakili aspirasi rakyat tapi tidak punya basis yang jelas.
Jalan Tengah: Aspirasi tanpa Provokasi
Dasco mengajak seluruh elemen bangsa untuk tidak terjebak dalam simbolisme ekstrem yang justru mengaburkan substansi perjuangan. Ia juga mengimbau aparat keamanan untuk bersikap bijak, tegas namun tidak represif, terhadap segala bentuk penyimpangan dalam demonstrasi.
“Apa pun yang diperjuangkan, apakah itu soal keadilan sosial, ekonomi, atau reformasi politik, jangan sampai kehilangan wajah bangsa yang ramah, damai, dan santun. Itu karakter kita,” pungkasnya.
Di tengah tahun politik yang semakin hangat, pernyataan Dasco menjadi pengingat penting bagi semua pihak—baik penguasa maupun oposisi—untuk mengedepankan etika dan kesantunan dalam menyampaikan aspirasi. Demokrasi yang sehat bukan hanya soal bebas bicara, tetapi juga soal bertanggung jawab atas setiap simbol, kata, dan tindakan yang kita tunjukkan di ruang publik.
EDITOR: REYNA
Baca juga artikel terkait:
Sufmi Dasco, Senopati Politik Prabowo Subianto (69): Dasco Pastikan RUU PPRT Tak Ada Hambatan
Related Posts

Negara Yang Terperosok Dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rakyat Setengah Mati, Kekuasaan Setengah Hati

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%

Novel “Imperium Tiga Samudra” (13) – Perang Senyap Mata Uang

Mencermati Komisi Reformasi Polri

Cinta, Kuasa, dan Kejatuhan: Kisah Gelap Yang Menyapu Ponorogo

Novel “Imperium Tiga Samudra” (12) – Meja Baru Asia



Sufmi Dasco, Senopati Politik Prabowo Subianto (72): Makna Politik Pertemuan Dasco dengan Megawati, Puan, dan Prananda - Berita TerbaruAugust 8, 2025 at 11:10 am
[…] Sufmi Dasco, Senopati Politik Prabowo Subianto (71): Pengibaran Bendera Tengkorak Bisa Pecah Belah B… […]