Oleh: Mohammad Damami Zain
Salah satu butir pernyataan sikap Forum Kebangsaan Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta pada 20 Mei 2025 di Gedung PDHI Sasonoworo ialah menyerukan kepada Pemerintahan Prabowo Subianto dan seluruh anak bangsa Indonesia untuk mewaspadai ancaman Komunis Gaya Baru (KGB).
Berbicara tentang tentang cara-cara orang-orang “komunis” (sekalipun ada yang tokohnya tampak seperti muslim beneran kalau dilihat dari tampilan lahiriah), mereka mendesiminasi (membibit diri), bangkit, menyusun diri, akhirnya berdiri dengan terang-terangan tanpa tedeng aling-aling mengaku sebagai “orang komunis” yang akhir-akhir ini hal tersebut mulai mencuat dibicarakan lagi kembali oleh para pengamat, para analis, dan sejarawan, maka kita lalu teringat berdasar “data sejarah objektif”, bahwa oknum-oknum komunis di Indonesia yang memang terkenal suka memakai “metode kamuflase”, sebagaimana ketika Henk Sneevliet (tokoh komunis berbangsa Belanda yang menginisiasi organisasi warga Hindia Belanda berkulit putih bernama Indische Sociaal-Demokratisch Vereeniging [IS-DV] yang kemudian melahirkan PKI secara kladestin oleh pendukung-pendukungnya).
Henk Sneevliet sadar betul, bahwa “membenih komunis” di negeri berbasis pertanian dan sama sekali bukan masyarakat industri, tidak bisa dengan cara-cara “revolusi”, apalagi dengan cara kekerasan (seperti di Rusia oleh Lenin-Stalin), melainkan harus dengan “metode evolusi-kamuflase-penyusupan sistemik”.
Zaman Sarikat Islam (Si) yang tokohnya begitu kuat, yakni HOS Tjokroaminoto saja “kebobolan” oleh Semaun, Darsono, Alimin, sehingga menjadi “Sarikat Islam Merah (SI Merah)” yang akhirnya menjadi terang-terangan menyatakan diri sebagai “PKI”. Kamuflase pada zaman pra-kemerdekaan berhasil. Hasilnya, setelah pada masa sekalipun paska-Proklamasi kekuatannya berkepung-keping, namun tampaknya berhasil diolah kembali oleh Musso (yang pro Rusia) dan akhirnya PKI merasa sudah “kompatibel” untuk memberontak ketika peristiwa “Madiun Affair” 1948 di bawah kepemimpinan Musso, Alimin, Syarifudin. Lagi-lagi cara “revolusi kekerasan setelah 1926” mengalami kegagalan pada 1948.
Mereka tidak jera sejarah.
Masih diulangi lagi. Dalam hitungan jari, beberapa tahun Aidit dkk. yang memakai “metode Cina yang relatif seperti ‘masyarakat pertanian seperti Indonesia'” untuk ambil-oper dan berhasil PKI menjadi “partai yg diperhitungkan” dalam pemilu I, pemilu untuk membentuk Badan Konstituante 1955-an. Di situ, PKI berhasil menjadi “faktor determinan” yang menggagalkan umat Islam mencapai angka 2/3 dari Badan Konstituante untuk membentuk negara “non-nasionalis-sekular”, tetapi dalam konstruksi yg agak berbeda.
Namun, kemenangan tersebut masih saja belum dirasakan cukup. Balik PKI “mendekati Sukarno yg punya gejala ototarianisme dalam kekuasaan” setelah mundurnya Moh. Hatta selaku Wakil Presiden. PKI memberlakukan lagi metode “evolusi-kamuflase-penyusupan sistemik” untuk ke sekian kalinya sambil menyingkirkan lawan-lawan politiknya lewat “tangan kekuasaan tersentral di tangan Sukarno”.
Akhirnya, karena barangkali kepercayaan diri berlebihan, “salah langkah” dibuat sendiri dengan mengubah “metode evolusi” menjadi “metode revolusi” yang berakhir dengan usaha coup d’etat tahun 1965 yang menghebohkan dan berdarah-darah itu.
Sekarang ini, gejala penerapan metode “evolusi-kamuflase-penyusupan sistemik” tampak-tampaknya sudah ingin di-declair-kan terang-terangan. “Menempel dulu” ke kuatan besar (kini partai, bukan sosok), kamuflase di sana-sini, menyusup di sekian sektor strategis, baik sistem, lembaga, SDM, bahkan “ideologi” yang dianggap lebih “lunak” dan relatif menarik untuk kalangan muda seperti “komunisme-revisionis-kapitalistik-sentralistik” seperti yang dijalankan pemerintah Republik Rakyat Cina di bawah Xin Phing sekarang ini (sebagai penjabaran pikiran revisionist Deng Xiaophing setelah surutnya Mao Tse Tung).
Orang mulai melirik “komunisme revisionis a la Cina” ini, apalagi telah berhasil menjadi super power baru dan berani menantang “Perang Dagang” dengan Amerika Serikat. Juga kemajuan ekonomi dan iptek di Cina yang diakui dunia sebagai “sesuatu” yg spektakuler.
Bagi umat Islam, yang “agamanya menekankan faktor Tuhan YME sebagai acuan” perlu amat-sangat memperhatikan perubahan orientasi berpikir dalam “berideologi” ini. Metode “revisi”, “kamuflase”, “susup-menyusup seperti gerakan spionase”, “tiarap dulu sebelum merasa kuat benar”, dan sebagainya, benar-benar perlu dipelajari secara cermat, apa dan bagaimana tingkah-laku dan model-model polahnya, serta gerak-gerik sampai pada tingkat detailnya, agar umat Islam tidak terperdaya, lengah —apalagi sampai “termakan arus”— yang sangat berbahaya dan mencelakai.
Ini pekerjaan para ulama, pemikir, intelektual, aktivis, para saudagar muslim, pelaku politik, pelaku pertahanan militer, para negisiator antar-bangsa dan sebagainya. Jangan lengah terhadap “data sejarah objektif” yang tak bakal terhapus dalam catatan pada “Zaman Komunikasi -Teknologis-Mondial” seperti sekarang ini.
Wallahu a’lam bish-shawab.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Sikap Arogan Ketua Tim Reformasi Polri Justru Tak Hendak Mendengarkan Suara Rakyar

Sutoyo Abadi: Memusingkan

Tantangan Transformasi Prabowo

Kementerian PKP Tertinggi Prestasi Penyerapan Anggaran dari Seluruh Mitra Komisi V

Kejati Sumut Sita Rp150 Miliar dari Kasus Korupsi Penjualan Aset PTPN I: Babak Baru Pengungkapan Skandal Pertanahan 8.077 Hektare

Dipimpin Pramono Anung Jakarta Makin Aman dan Nyaman, Ketua Umum APKLI-P: Grand Opening WARKOBI Januari 2026 Diresmikan Gubernur DKI

Refly Harun Dan RRT Walkout saat Audiensi Dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri

Subuh, Kolaborasi, Kepedulian, dan Keberkahan

Dukung Revisi PP 50/2022, Ketua Umum APKLI-P: Praktek Tax Planing PPH 0,5% UMKM Puluhan Tahun Dibiarkan

LPG, LNG, CNG dan Kompor Induksi, Solusi Emak Emak Swasembada Energi Di Dapur


No Responses