Oleh: Muhammad Chirzin
Sahabat drg. Madi Saputra, penulis produktif, mengunggah tulisan di grup WA, “DETEKTIF DADAKAN” antara lain sebagai berikut.
Demam Investigasi, Kegaduhan Digital, dan Peluang Belajar Kolektif
Fenomena Aneh, Tapi Nyata
Isu seputar keaslian ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) semula tampak seperti percikan kecil dalam riuh-rendahnya dunia politik. Namun, percikan itu perlahan berubah menjadi kobaran api yang menyulut sesuatu yang lebih besar—fenomena sosial unik: masyarakat yang tiba-tiba bertransformasi menjadi “detektif dadakan.”
Di linimasa media sosial, di grup WhatsApp keluarga, bahkan di obrolan warung kopi, kita menyaksikan lahirnya semacam euforia kolektif untuk menyelidiki. Tiba-tiba saja, masyarakat—yang mungkin sebelumnya tak akrab dengan istilah legalisasi dokumen atau metadata digital—berubah jadi “ahli” dadakan. Muncul seolah-olah dari kekosongan, mereka menyelami dokumen PDF, memeriksa sidik jari, dan membedah foto lama dengan semangat layaknya tim forensik kriminal.
Fenomena ini bukan hanya soal rasa ingin tahu yang melonjak, tapi juga memperlihatkan betapa cepat dan mudahnya masyarakat terseret ke pusaran informasi—atau lebih tepatnya, disinformasi. Namun di balik hiruk-pikuk itu, ada satu hal yang tak boleh kita abaikan: semangat untuk memahami.
Awalnya adalah satu tuduhan. Namun seperti bola salju, isu ini terus membesar, melibatkan spekulasi dan “penyelidikan” dari berbagai penjuru. Masyarakat menyimak dan menanggapi, tak sedikit pula yang terjun langsung ke dalamnya.
Lihatlah betapa meriahnya lini masa:
Pemeriksaan metadata file PDF dijadikan “alat bukti” keaslian atau pemalsuan dokumen.
Tanda tangan dan cap jari dipelajari dan dibandingkan seperti penyidik profesional.
Prosedur akademik tahun 1980-an dibongkar untuk mencari celah naratif.
Bahkan tak jarang, teori konspirasi skala nasional muncul dalam bentuk utas panjang dan video dramatik.
Tentu, sebagian analisis itu ngawur, dipenuhi bias, bahkan menyesatkan. Namun mari akui satu hal: minat belajar publik sedang bangkit, walau masih dalam bentuk yang belum terarah.
Jokowi Secara Tak Langsung, Pemicu Semangat Belajar Baru
Ironis, memang. Tapi dari polemik yang membingungkan ini, lahir hal yang tak terduga: gelombang antusiasme belajar dadakan. Bukan dari ruang kelas, tapi dari ruang komentar dan forum daring.
Orang mulai membaca ulang Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Perdebatan soal otentikasi ijazah membawa pembahasan ke dunia hukum dan administrasi kampus.
Ada yang keliru, tentu. Ada yang tertipu, jelas. Tapi fakta bahwa semakin banyak orang terdorong mencari tahu, mengecek, dan mendiskusikan—itu pertanda bahwa daya kritis, meski belum matang, sedang tumbuh.
Dan tentu saja, muncul Efek Dunning-Kruger: semakin sedikit tahu, semakin yakin diri paling tahu.
Hasilnya? Narasi jadi bising. Dialog berubah jadi monolog saling serang. Informasi berharga tenggelam dalam lautan asumsi dan klaim palsu.
Fenomena “detektif dadakan” ini bisa menjadi langkah awal menuju masyarakat yang lebih cerdas dan berdaya. Tapi langkah ini harus dituntun. Tanpa itu, semangat yang baik bisa tersesat. Tapi dengan arah yang tepat, kita bisa menyaksikan lahirnya warga digital yang bukan hanya melek informasi, tapi juga terlatih bernalar.
Karena pada akhirnya, demokrasi tak hanya soal siapa yang bicara paling keras, tapi siapa yang paling mampu mencari kebenaran.
Tulisan drg. Madi Saputra tersebut di atas menjadi bukti nyata yang senyata-nyatanya, bahwa Jokowi benar-benar telah membuat gaduh di negeri ini, walaupun kegaduhan itu konon katanya cuma di media sosial.
Apakah kegaduhan yang diciptakan oleh Jokowi berdampak positif atau negatif terhadap kohesi sosial masyarakat Indonesia pada umumnya?
Jika dikatakan bahwa kegaduhan yang diciptakan Jokowi ini mengandung hikmah, masyarakat belajar melek litetasi, berapa besar manfaatnya jika dibandingkan dengan mudaratnya?
Ataukah seperti narasi “mashaibu qaumin ‘inda qaumin fawaidu – musibah yang menimpa suatu kaum menjadi berkah bagi kaum yang lain.”
Contoh, musibah gempa Jogja 2006. Ribuan orang meninggal dunia dan kehilangan rumah serta sanak saudara. Jutaan orang mengulurkan bantuan kepada para korban.
Muncul “PEDAGANG DADAKAN” yang menyediakan barang-barang apa saja, baik untuk renovasi bangunan ataupun barang-barang berupa bahan-bahan makanan.
Muncul kelompok-kelompok relawan yang tulus bekerja siang dan malam membantu para korban.
Sebagian relawan menyasar anak-anak dan para pelajar Sekolah Dasar, agar mereka terhibur dan tetap bisa belajar (dan bermain) walaupun gedung sekolah mereka telah rata dengan tanah.
Gempa bumi telah menjadi ladang amal.
Bagaimana dengan gempa ijazah Jokowi?
Konon, para buzzer mendapat job tambahan. Para relawan Jokower pun tidak ketinggalan.
Pak drg. Madi Saputra pun menulis opini, “DETEKTIF DADAKAN.” Saya menulis ini sebagai “RESPON DADAKAN”.
Selamat menjadi detektif dadakan atau menjadi pencerah dadakan.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (3): Membangun Stabilitas Politik dan Menghindarkan Indonesia dari Kekacauan Pasca 1965

Pertemuan “Rahasia” di PTIK (Bagian 2): Guncangan di Ruang Reformasi dan Bayang-Bayang Operasi Garis Dalam

Pertemuan “Rahasia” di PTIK (Bagian 1) : Walkout, Ketegangan, dan Polemik Komisi Reformasi Polri

Sikap Arogan Ketua Tim Reformasi Polri Justru Tak Hendak Mendengarkan Suara Rakyar

Sutoyo Abadi: Memusingkan

Tantangan Transformasi Prabowo

Kementerian PKP Tertinggi Prestasi Penyerapan Anggaran dari Seluruh Mitra Komisi V

Kejati Sumut Sita Rp150 Miliar dari Kasus Korupsi Penjualan Aset PTPN I: Babak Baru Pengungkapan Skandal Pertanahan 8.077 Hektare

Dipimpin Pramono Anung Jakarta Makin Aman dan Nyaman, Ketua Umum APKLI-P: Grand Opening WARKOBI Januari 2026 Diresmikan Gubernur DKI

Refly Harun Dan RRT Walkout saat Audiensi Dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri



No Responses