Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 13)

Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 13)
Ilustrasi: Cindelaras dan ayam jagonya

Oleh: Budi Puryanto

Dua telik sandi itu menarik kekang kudanya dengan keras. Kuda berlari dengan kecepatan tinggi. Menuju rumah Ki Tumenggung.

Sudah lewat tengah malam. Namun Ki Tumenggung belum tidur. Menjelang pagi dia biasanya baru bisa tidur. Itupun hanya sebentar. Setelah matahari naik sepenggalah, dia sudah bangun, bersiap untuk menghadapi tugas-tugas kerajaan hari itu.

Dia pejabat kerajaan yang paling sibuk. Semua perintah dari raja dia yang kerjakan. Belum lagi ditambah perintah dari Permaisuri atau Pangeran Pati.

Ki Patih? Hanya tinggal sosoknya tanpa kekuasaan. Tapi dia tidak dilengserkan. Sebagai pejabat dia tetap diundang pada acara resmi. Tapi tidak dilibatkan lagi dalam pembahasan soal-soal strategis.

Semua pekerjaan pemerintahan yang menjadi tangggung-jawab Ki Patih, sekarang dilimpahkan kepada Ki Tumenggung. Dia diberi kekuasaan bisa memerintahkan semua nayaka dan prajurit, kapanpun mau. Dia juga diberi keleluasaan menggunakan anggaran kerajaan berapapun dia mau.

Kebijakan menaikkan pajak dan menambah jenis pajak baru dalam waktu kurang dari satu tahun ini sudah menampakkan hasil. Kas negara tidak kosong lagi.

Ditambah lagi setoran dari bebotoh adu jago juga lancar, bahkan terus meningkat. Ki Tumenggung sering dipuji oleh permasuri. Sebenarnya dia berharap permaisuri segera mengganti Ki Patih agar jabatannya resmi berpindah kepadanya. Tetapi permaisuri selalu punya alasan untuk menundanya. Meskipun alasan itu bagi Ki Tumenggung terasa janggal.

“Biarkan dia tetap duduk di kursinya, toh dia sudah tua. Sebentar lagi juga mati. Lagipula dengan tetap menjabat sebagai patih yang tanpa kekuasaan, geraknya tetap bisa kita awasi,” kata Permaisur suatu ketika.

“Bersabarlah Ki Tumenggung, tidak lama lagi kursi Ki Patih akan menjadi milikmu. Itu hanya pelengkap saja. Sekarang pun kekuasaanmu sudah seperti Ki Patih, malah melebihi. Semua orang tahu itu,” tambah permaisuri.

Ki Tumenggung tidak bisa membantah. Dia hanya bisa mengiyakan. Apalagi yang berbicara Permaisuri, yang kekuasaannya melebihi raja. Lagipula, dia memerlukan dukungan dari permaisuri untuk menduduki kursi Patih.

“Ada apa sebenanrnya Permaisuri tetap memperthankan Ki Patih yang sudah tua itu. Seperti ada yang ditutupi. Tidak sabar rasanya aku ingin dipanggil Kanjeng Patih,” bisiknya dalam hati.

Dua orang telik sandi memasuki ruangan Ki Tumengung, membuyarkan lamunannya.

“Yang kita tunggu akhirnya keluar Kanjeng Tumenggung. Cindelaras dengan dua temannya muncul di desa Gelagahwangi. Dia ditemani dua temannya. Yangs satu sudah saya kenal, namanya Aryadipa. Tetapi yang satu lagi saya belum tahu. Anaknya muda, ganteng, umurnya saya kira lebih muda dari Cindelaras,” kata telik sandi yang lebih tua.

Ki Tumenggung mendengarkan dengan serius laporan prajuritnya telik sandi itu.

“Namun ada keanehan sedikit dalam pertarungan adu jago itu. Seseorang tidak dikenal tiba-tiba bertaruh cukup besar menantang Cindelaras. Dalam pertaurngan itu, ayam jago Cindelaras tiba-tiba jatuh roboh, lemas hampir mati. Namun, diluar dugaan ayam jago itu bangkit lagi. Segar seperti sedia kala. Lawannya dikalahkan dengan satu pukulan dari kedua sayapnya. Roboh dan mati saat itu juga,” kata telik sandi itu.

“Ayam jago siapa yang berhasil merobohkan ayam Cindelaras,” tanya Ki Tuemunggung.

“Ayam saya Kanjeng Tumenggung. Tapi saya tidak yakin robohnya itu karena pukulan ayam saya. Karena saya mengamati benar jalannya pertarungan itu. Ayam Cindelaras jatuh sebelum ayam saya menendang,” jawab telik sandi yang lebih muda.

“Lalu menurutmu, ayam itu roboh karena apa.”

“Saya menduga orang yang bertauruh besar untuk ayam saya, dia menggunakan pukulan tenaga dalam dari jarak jauh. Karena saya perhatikan dari awal dia hanya diam bersedekap melipat kedua tangannya. Mengamati dengan seksama jalannya pertaurngan. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya.”

“Lalu bagaimana ayam itu bisa bangkit lagi, dengan kesegaran tubuh yang menurutmu bahkan lebih segar dari semula,.”

“Maaf Kanjeng Tumenggung. Itu yang saya tidak tahu jawabnya.”

“Mungkin usulmu yang dahulu bisa dipertimbangkan. Mencari orang berkekuatan ilmu tinggi. Seperti yang dilakukan orang tadi, tetapi harus lebih hati-hati. Jangan tiba-tiba jatuh roboh. Harus diatur, kekuatan itu disalurkan tepat saat ayam bertarung. Jadi robohnya seperti terkena pukulan lawannya,” kata Ki Tumenggung.

“Kalau perlu jangan satu orang tetapi beberapa orang berilmu menyerang sekaligus, biar mampus saat itu juga,” lanjut Ki Tumenggung.

“Lalu siapa orang yang kamu duga melakukan itu,” tanya Ki Tumenggung.

“Saya belum tahu, Kanjeng Tumenggung. Karena sebelum pertarungan usai, dia sudah kabur. Saya kira dia orang baru. Saya belum pernah bertemu dia diarena adu jago. Dia seorang bebotoh besar,” jawab telik sandi itu.

“Tapi dia bertaruh untuk ayam milikmu. Berarti dia bukan orang yang mendukung ayam Cindelaras. Dia seorang bebotoh besar. Coba kamu temukan dia,” perintah Ki Tumenggung.

“Aku terima laporanmu. Terus bekerja dan amati gerakan Cindelaras. Pada saatnya yang tepat kita kalahkan dia. Kita bunuh ayamnya, dengan cara kita,” tegas Ki Tumenggung.

Sesaat kemudian dua telik sandi itu mengundurkan diri.

Sementara itu ditempat lain, jauh disebelah barat dari Kerajaaan Daha, malam itu Ki Patih sedang berbicara dengan kawan lamanya, yang rumahnya dekat dengan Gunung Wilis. Gunung ini tidak terlalu tinggi bila dibandingkan dengan Gunung Arjuno.

Baca Juga:

Ki Pandan Alas, berkawan sejak muda dengan Ki Patih. Dia tokoh penganut keyakinan kuno di tanah Jawa ini, yang bernama Kapitayan. Penganut Kapitayan, menyembah Sang Hyang Taya. Taya berarti kosong, awang-uwung. Tak bisa digambarkan. Tak berwujud. Tan keno kinoyo ngopo. Tan keno kiniro. Yang memberi hidup. Tunggal. Beridiri sendiri. Tidak bergantung, tempat manusia bergantung.

Sang Hyang Taya disimbulkan lingkaran kosong. Tempah sembahyangnya di sanggar, bangunan berbentuk kotak, tengahnya tanpa tiang. Salah satu didindingnya berlubang. Mereka sembahyang menghadap lubang itu.

Ada juga yang melakukan sembahyang menghadap pintu gua, yang juga menjadi simbul lingkaran kosong. Keyakinan ini banyak dianut oleh warga yang tinggal di tanah Jawa saat itu.

Dalam sembahyang, mereka tidak membutuhkan sarana bahkan kurban manusia, seperti halnya keyakinan Tantrayana.

Sembahyang mereka sederhana. Berdiri dengan tangan diperut, yang disebut Tulajeb. Kemudian badan membungkuk mata melihat tanah, yang disebut Tungkul. Lalu mencium tanah, yang disebut Tondem. Terakhir, duduk kaki kiri sebagai landasan dan kaki kanan ditekuk, yan disebut Tulumpuk.

Mereka juga menjalankan Upawasa, tidak makan dari pagi hingga surup, atau menjelang malam. Mereka menyebutnya upawasa Hari Tujuh. Yaitu menjalankan upawasa pada hari Kedua, dan hari Kelima, yang nilainya seperti upawasa selama tujuh hari berturut-turut.

“Bagaimana keadaan warga disini, Ki Pandan Alas, apakah baik-baik saja. Kehidupan warga saya lihat baik. Guyub rukun. Tanaman juga tampak ijo royo-royo,” tanya Ki Patih.

“Begitulah Ki Patih, saya kira warga tak kurang suatu apapun. Saya harap  negeri Jenggala juga begitu,” jawab Ki Pandan Alas.

Ki Patih diam sebentar lalu menarik nafas agak berat.

“Saat ini negeri Jenggala berbeda bila dibanding keadaan disini. Panen padi kurang bagus. Air untuk tanaman tidak mencukupi. Kadang sudah dipanen, tiba-tiba dirusak tikus,” jawab Ki Patih.

“Akhir-akhir ini kehidupan masyarakat juga terganggu. Terjadi penculikan anak-anak kecil dan gadis-gadis muda,” jawab Ki Patih dengan perasaan berat.

“Mengapa bisa begitu, Ki Patih,” tanya Ki Pandan Alas.

“Itulah yang aku prihatinkan. Aku ingin meminta pendapatmu. Apakah hal ini ada kaitannya dengan pemujaan para pengamal ilmu untuk memperoleh kesaktian,” Ki Patih.

“Pada jaman dulu memang dikenal praktek pemujaan terhadap dewi Bethari Durga. Mereka sering disebut aliran Bhairawa Tantra. Praktek pemujaannya disebut Panca Makara. Mereka duduk melingkar di sebuah ksetra, makanan ditaruh ditengah berupa daging, ikan yang hidup, dan minuman arak. Laki perempuan duduk bercampur tanpa busana sambil makan sepuasnya, dilanjutkan dengan bersetubuh rame-rame diantara mereka. Setelah nafsu perut dan nafsu sahwat terpuaskan, dalam keadaan tanpa nafsu itulah mereka lalu bersemedi,” kata Ki Pandan Alas.

“Bahkan pada tingkat tertiggi, daging binatang diganti dengan daging manusia. Ikan air diganti dengan ikan suro yang hidup di laut, lalu arak diganti dengan darah manusia. Mereka meyakini, setelah menjalani pemujaan seperti itu mereka akan mendapatkan pencerahan hingga kesaktian yang tinggi,” lanjut Pandan Alas.

Baca Juga:

“Dahulu memang banyak pengamalnya. Bahkan raja-raja Jawa termasuk banyak yang mengamalkan pemujaan seperti itu. Ksetra di dusun Girah, di negeri Jenggala merupakan tempat pemujaan terbesar, terutama pada jaman hidupnya Nyi Calon Arang, seorang pendeta Bhairawa Tantra yang kesaktiannya luar biasa,” kata Ki Pandan Alas.

“Mungkinkah penculikan anak dan gadis di Jenggala terkait dengan praktek pemujaan seperti yang Ki Pandan Alas jelaskan itu,” kata Ki Patih menyela.

“Aku belum yakin Ki Patih. Karena setelah kematian Nyi Calon Arang, praktek pemujaan tersebut juga ikut sirna. Setidaknya di wilayah Jenggala dan Daha yang dahulunya wilayah Kerajaan Kahuripan. Murid-murid Nyi Calon Arang menyebar kemana-mana, hingga keluar wilayah Jawa. Mereka menyelamatkan diri,” jawab Ki Pandan Alas.

“Lagipula Ki Patih, pemujaan seperti itu, apalagi untuk tingkat yang sudah tinggi, membutuhkan keamanan dan perlindungan. Tadi saya katakan, karena dahulu pengamalnya banyak dari kalangan raja-raja, jadi kelompok aliran pemujaan itu menjadi aman. Karena raja yang melindungi,” lanjut Ki Pandas Alas.

“Jadi kalau boleh saya simpulkan, praktek pemujaan itu pasti ada yang melindungi dari orang-orang kuat di kerajaan,” tanya Ki Patih penasaran.

“Saya kira begitu. Karena tanpa ada pelindung dari orang kuat di kerajaan, mereka tidak akan leluasa menjalankan praktek pemujaan itu,” jawab Ki Pandan Alas.

“Apakah kurban manusia diambil dari anak-anak dan gadis-gadis cantik Ki Pandan Alas,” kejar Ki Patih.

“Dalam cerita-cerita yang saya saya dengar dan saya baca di lontar, kebanyakan kurban dari anak-anak. Karena dagingnya akan dimakan. Darahnya akan diminum. Kalau gadis apalagi gadis cantik, saya belum pernah mendapat cerita seperti itu,” jawab Ki Pandan Alas.

“Kalau dongeng raja atau pangeran yang kesukaannya berburu gadis-gadis cantik desa, bahkan diambil paksa, itu ada Ki Patih. Tapi itu hanya dongeng saja,” kata Ki Pandan Alas sambil tertawa kecil.

Jawaban Ki Pandan Alas membuka kabut gelap yang ada di pikiran Ki Patih. Dia seperti mendapatkan gambaran jelas, apa yang sedang terjadi di negeri Jenggala saat ini.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K

2 Responses

  1. ไม้เทียมNovember 27, 2024 at 9:49 pm

    … [Trackback]

    […] Find More here to that Topic: zonasatunews.com/terkini/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-13/ […]

  2. Sevink MolenDecember 4, 2024 at 9:41 am

    … [Trackback]

    […] Information to that Topic: zonasatunews.com/terkini/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-13/ […]

Leave a Reply