Oleh: M. Isa Ansori
Kebudayaan adalah fondasi peradaban. Ia bukan sekadar ornamen pembangunan, melainkan jantung nilai yang menentukan arah sebuah kota. Bagi Surabaya—kota pelabuhan, pusat ekonomi Jawa Timur, dan simbol kepahlawanan nasional—kebudayaan harus menjadi orientasi, bukan pelengkap. Melalui kebudayaan, kota bukan hanya menjadi maju, tetapi juga beradab dan berkarakter.
Pelaksanaan Dialog Kebudayaan oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Kepemudaan, dan Olahraga Kota Surabaya pada 18 November 2025 merupakan momentum strategis untuk meneguhkan komitmen tersebut. Dialog adalah mekanisme paling sehat untuk mempertemukan pelaku seni, akademisi, komunitas kreatif, birokrasi, dan masyarakat. Sejarah berbagai kota dunia menunjukkan bahwa kebijakan kebudayaan tidak lahir dari ruang tertutup, melainkan dari ruang musyawarah yang memungkinkan gagasan berkembang secara terbuka. Surabaya perlu bergerak ke arah itu: menghidupkan ekosistem budaya yang kolaboratif dan berkelanjutan.
Dasar hukum nasional telah memberikan payung yang jelas. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menetapkan empat agenda utama negara, yaitu melindungi, mengembangkan, memanfaatkan, dan membina objek pemajuan kebudayaan yang mencakup 10 kategori, antara lain tradisi lisan, adat istiadat, manuskrip, seni, bahasa, dan pengetahuan tradisional. UU ini juga menegaskan kewajiban penyusunan Strategi Kebudayaan, yang menjadi arah dan prioritas pembangunan di tingkat pusat maupun daerah. Dengan demikian, penyelenggaraan dialog ini bukan hanya kegiatan kultural, tetapi bagian dari upaya memenuhi mandat konstitusional untuk menjamin keberlanjutan identitas bangsa di tengah perubahan zaman.
Namun dialog tanpa data akan menghasilkan wacana tanpa pijakan. Secara nasional, pemerintah telah memiliki Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) yang memotret tujuh dimensi penting: pendidikan, nilai budaya, bahasa, ekspresi seni, literasi, kesejahteraan pelaku budaya, serta pelestarian warisan budaya. Sayangnya, hingga kini IPK belum tersedia pada level kota, termasuk Surabaya. Ketiadaan indikator terukur membuat arah kebijakan budaya tingkat kota berisiko tidak presisi, sulit dievaluasi, dan rawan subjektivitas.
Meski demikian, Pemerintah Kota Surabaya melalui Satu Data Surabaya telah mengembangkan Indeks Budaya Lokal yang mengukur tingkat pemahaman masyarakat terhadap seni dan cagar budaya serta kepedulian terhadap nilai kebangsaan. Meski belum selengkap IPK nasional, indikator ini adalah langkah awal penting. Ia menegaskan bahwa Surabaya mulai membangun sistem pengukuran budaya yang menempatkan warga sebagai subjek kebudayaan, bukan sekadar penonton.
Komitmen terhadap pelestarian warisan budaya juga terlihat dalam dokumen perencanaan daerah yang menargetkan peningkatan perlindungan benda, situs, dan kawasan cagar budaya. Tetapi tantangan yang dihadapi tidak berhenti pada konservasi fisik. Bangunan dan situs bersejarah harus dihidupkan sebagai ruang sosial—tempat seni dipentaskan, tempat warga berdialog, dan tempat generasi muda menghayati sejarah kotanya. Cagar budaya tidak boleh menjadi monumen bisu; ia harus menjadi ruang hidup bagi kebudayaan.
Ekosistem kesenian Surabaya menunjukkan dinamika yang menggembirakan. Data sektoral pemerintah kota memperlihatkan peningkatan jumlah festival seni, pertunjukan budaya, dan ruang kreatif publik. Pariwisata budaya juga bertumbuh signifikan. Tahun 2023, Surabaya mencatat lebih dari tujuh juta wisatawan domestik, menandakan tingginya daya tarik budaya kota. Energi kreatif ini perlu dirangkai dalam sistem yang terarah; tanpa koordinasi, ia hanya menjadi geliat individual yang tidak membentuk kekuatan kolektif.
Dalam konteks ini, Dialog Kebudayaan menjadi sangat relevan. Ia harus menjadi wahana konsolidasi, bukan sekadar forum seremonial. Dialog harus menghasilkan rumusan kebijakan, rekomendasi strategis, dan komitmen lintas sektor. Surabaya sebagai kota besar dengan keberagaman komunitas seni membutuhkan ruang koordinasi yang mempersatukan energi kreatif tersebut ke dalam visi kebudayaan jangka panjang.
Setidaknya ada empat langkah strategis yang perlu ditempuh.
Pertama, Surabaya perlu menyusun IPK Kota Surabaya bekerja sama dengan perguruan tinggi, lembaga riset, dan Kementerian Kebudayaan. Tanpa data yang solid, kebijakan akan selalu bersifat spekulatif.
Kedua, Dialog Kebudayaan perlu dilembagakan sebagai forum rutin yang menghasilkan rencana aksi, bukan hanya wacana tahunan. Pertemuan berkala akan memperkuat ekosistem budaya dan memastikan kesinambungan program.
Ketiga, penguatan ekonomi budaya harus diprioritaskan. Kota perlu menyediakan skema pendanaan, insentif bagi pelaku seni, kemudahan perizinan ruang pertunjukan, dan dukungan bagi komunitas kreatif. Surabaya harus menjadi produsen karya budaya, bukan hanya pasar.
Keempat, koneksi kebudayaan dengan dunia pendidikan harus diperkuat. Anak-anak Surabaya harus tumbuh dengan kesadaran sejarah kotanya, keragaman seni, dan nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendiri bangsa. Literasi budaya adalah kunci menciptakan generasi yang kuat secara identitas.
Dengan demikian, pembangunan fisik memang memperindah kota, tetapi kebudayaanlah yang memuliakannya. Surabaya bukan sedang mencari identitas baru; kota ini sedang menjemput kembali jati dirinya yang sejak awal berkarakter berani, terbuka, kreatif, dan humanis.
Dengan dialog yang inklusif, kebijakan berbasis data, dan dukungan ekonomi budaya yang konkret, Surabaya dapat menjemput peradabannya—menjadi kota maju yang tetap berjiwa, kota yang membangun manusia sekaligus menjaga memori dan imajinasinya.
Surabaya, 16 November 2025
Tentang Penulis :
M. Isa Ansori adalah Kolumnis dan Dosen Psikologi Komunikasi, Fokus pada Transaksional analysis, Pengurus Lembaga Perlindungan Anak ( LPA ) Jatim, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya dan Wakil Ketua ICMI Jawa Timur, Aktif menulis tentang essay politik, sosial, pendidikan dan budaya diberbagai media cetak dan online
EDITOR: REYNA
Related Posts

Kuliah Lapang Mahasiswa S3 Sekolah Pasca Sarjana UB: Integrasi Teori dan Praktik untuk Solusi Lingkungan Berkelanjutan

Fakus Perjuangan Kita – Selamatkan Indonesia Dari Kehancurannya

Panja DPR Ambil Alih Komando Reformasi Penegak Hukum

Menyingkap Serangan Balik Mafia Migas dan Tambang

Tandem Pernyataan Sikap FPP-TNI Dan Forum Kebangsaan DIY

Nilai-Nilai Al-Quran Dalam Pancasila

Ummat Islam Makin Terpuruk Secara Politik

Kedaulatan Kompor – Martabat Negara: Orkestrasi Bauran Energi Dapur Rakyat: LPG, DME, Jargas & CNGR

Mengapa OTT Kepala Daerah Tak Pernah Usai?

Sedikit Catatan Pasca Pemeriksaan di Polda Metro Jaya (PMJ) Kemarin



No Responses