Dipenjara Karena Menyelamatkan Perusahaan, Rhenald Kasali: Vonis ini mengirim pesan buruk kepada profesional BUMN

Dipenjara Karena Menyelamatkan Perusahaan, Rhenald Kasali: Vonis ini mengirim pesan buruk kepada profesional BUMN
Rhenald Kasali, Guru Besar UI

Rhenald Kasali Heran dan Sedih Melihat Mantan Dirut ASDP Dipenjara

JAKARTA — Putusan majelis hakim yang memvonis mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, Ira Puspadewi, dengan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara memicu reaksi kuat dari kalangan akademisi dan praktisi. Salah satu suara paling menonjol adalah Rhenald Kasali, Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia, yang menyatakan keheranan sekaligus kesedihan atas putusan itu — terutama karena menurutnya bukti persidangan adanya aliran keuntungan pribadi kepada Ira tidak ada dan keputusan bisnis yang diambil menyangkut upaya menyelamatkan perusahaan.

Sebuah keputusan bisnis yang berakhir di ruang pidana

Kasus ini berakar pada proses akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh ASDP pada periode 2019–2022, yang menurut jaksa menimbulkan kerugian negara. Namun Rhenald Kasali menyoroti bahwa dalam banyak pemberitaan dan wawancaranya ia menilai tidak ada indikasi Ira “memperkaya diri sendiri” — melainkan keputusan yang menurutnya lebih pas dimaknai terobosan atau aksi korporasi/manajerial. Pernyataan serupa muncul dalam beberapa liputan media yang mengutip Kasali, yang mengkhawatirkan dampak putusan terhadap iklim profesionalisme di BUMN.

“Kita sedang menyaksikan sesuatu yang mudah membuat profesional-peraih prestasi berpikir dua kali sebelum melakukan terobosan,” kata Rhenald Kasali, yang khawatir putusan ini menjadi “noktah” yang menakutkan bagi para pemimpin BUMN yang ingin melakukan transformasi. Pendapat itu berulang pada sejumlah wawancara dan kutipan media yang menyoroti efek gentar (chilling effect) terhadap keberanian pengambil keputusan di badan usaha milik negara.

PT ASDP (Persero) mengoperasikan ratusan kapal feri.

Antara penegakan hukum dan ruang keputusan bisnis

Majelis hakim memutuskan Ira bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam putusan mayoritas, sementara salah satu hakim (dissenting opinion) berpendapat bahwa keputusan ini seharusnya dikategorikan sebagai keputusan bisnis dan pantas dibebaskan. Perbedaan pendapat tersebut semakin menguatkan legitimasi kekhawatiran publik: kapan sebuah keputusan akuisisi yang dianggap merugikan (meskipun faktanya memberikan keuntungan) dianggap sebagai kelalaian bisnis — dan kapan itu melanggar hukum pidana korupsi? ﹘ sebuah garis batas yang dalam praktiknya sering sulit ditarik.

Rhenald menekankan bahwa jika setiap keputusan korporasi yang berisiko dapat berujung pada tuntutan pidana tanpa bukti keuntungan pribadi yang jelas, maka kita mematikan keberanian untuk inovasi dan restrukturisasi penting di BUMN. Dalam sejumlah kutipan, ia menyerukan agar penegakan hukum tetap adil tetapi juga mempertimbangkan konteks bisnis dan niat profesional yang bekerja untuk menyelamatkan perusahaan.

Konteks ASDP: dari “mati suri” menjadi perusahaan sehat

Catatan putusan dan peliputan media juga mengingatkan peran Ira selama memimpin ASDP: menggerakkan perusahaan yang sempat tertatih menjadi entitas yang lebih sehat dan meraih keuntungan — sekaligus menjaga pelayanan angkutan laut yang vital bagi daerah Terdepan, Tertinggal, dan Terluar (3T).

BUMN seperti ASDP menjalankan fungsi layanan publik dengan dimensi sosial dan logistik yang besar; keputusan strategis yang diambil manajemen seringkali mempertimbangkan seluruh dimensi ini, bukan sekadar rasio keuntungan jangka pendek. Pernyataan publik dari berbagai pihak menyebutkan keberhasilan operasional ASDP pada masa kepemimpinan Ira sebagai latar yang membuat vonis ini terasa tragis bagi sebagian kalangan.

Kapal Ferry yang dioperasikan ASDP menjangkau daerah 3 T (Terluar, Terdepan, Tertinggal)

Reaksi publik dan potensi efek jangka panjang

Respons terhadap putusan terbagi: aparat penegak (KPK) menyambut putusan sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi, sementara praktisi dan akademisi — termasuk Rhenald Kasali — memperingatkan risiko hilangnya kepercayaan profesional terhadap peran manajerial di BUMN.

Jika terlalu banyak keputusan bisnis yang dibawa ke ranah pidana tanpa pembuktian motif keuntungan pribadi, Rhenald berargumen, calon pemimpin berkualitas mungkin enggan menerima posisi yang menuntut mengambil risiko demi transformasi.

Keseimbangan hukum dan pengambilan keputusan

Kasus Ira Puspadewi, menurut Rhenald Kasali, dengan tegas menggarisbawahi kebutuhan keseimbangan antara penegakan hukum dan pemahaman terhadap dinamika keputusan bisnis di BUMN. Penegakan hukum anti-korupsi tetap penting — namun demikian, menurut Kasali, penting pula agar proses peradilan dan penilaian publik membedakan antara korupsi yang jelas dan kegagalan atau risiko keputusan bisnis yang bukan bertujuan memperkaya diri sendiri. Jika tidak, negara berisiko kehilangan pemimpin yang berani mengubah BUMN menjadi lebih baik.

Aksi Korporasi Bukanlah Kejahatan

Kasus Ira bukan hanya soal satu orang. Ini adalah alarm keras bagi tatakelola BUMN.

Apakah direksi harus bermain aman, tidak berani mengeksekusi aksi korporasi, dan membiarkan BUMN jalan di tempat?

Atau justru kita perlu melindungi para profesional yang bekerja dengan integritas, mengambil risiko demi menyelamatkan perusahaan?

Rhenald Kasali memberi peringatan tajam: “Jika aksi korporasi dihukum, kita akan kehilangan para pemimpin terbaik. BUMN tidak akan pernah berubah.”

Karena menurut Rhenald, vonis ini sedang mengirim pesan buruk kepada seluruh profesional yang bekerja membenahi BUMN:

“Berhenti berinovasi. Jangan ambil risiko. Jangan menyelamatkan perusahaan, kalau ingin hidup tenang.”

Inilah era baru, katanya,  Direksi diminta berlari cepat, tetapi sekaligus dipasung oleh ancaman kriminalisasi setiap kali mengambil keputusan yang tidak populer secara birokratis.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K