Dua Anggota ASEAN Berperang

Dua Anggota ASEAN Berperang

Oleh; Ahmad Cholis Hamzah

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau lebih dikenal sebagai ASEAN adalah organisasi geopolitik dan ekonomi untuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara, yang didirikan di Bangkok, Thailand pada tanggal 8 Agustus 1967 berdasarkan Deklarasi ASEAN oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Sejak berdirinya, kawasan ASEAN yang meliputi wilayah daratan seluas 4,46 juta km², dan memiliki populasi yang mendekati angka 600 juta jiwa – dikenal sebagai kawasan yang damai memiliki potensi ekonomi yang besar yang menjadikannya sebagai salah satu entitas ekonomi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Inggris dll.

Sekarang dunia menyaksikan, di kawasan yang dikenal damai ini pada saat artikel ini saya tulis sudah dilaporkan sekitar 38.000 warga sipil di Kamboja dan 140.000 warga Thailand melarikan diri mencari tempat aman karena peperangan yang melibatkan kedua negara anggota ASEAN ini atas masalah perbatasan.

Wilayah perbatasan kedua negara itu secara historis telah beralih bolak-balik antara berbagai kerajaan Khmer dan Thailand. Sejak tahun 1860-an, Prancis mulai membangun kehadiran di wilayah tersebut, awalnya di Kamboja dan Vietnam modern, dan kemudian Laos, dengan koloni Indocina Prancis didirikan pada tahun 1887. Pada tahun 1867, perjanjian Prancis-Thailand menegaskan kepemilikan Thailand atas wilayah Battambang dan Angkor (Nakhou Siemrap). Pada tahun 1896, Inggris (berbasis di Burma) dan Prancis sepakat untuk meninggalkan Siam (nama Thailand saat itu) sebagai negara penyangga antara koloni masing-masing. Namun Prancis terus berkembang dengan mengorbankan Siam, mencaplok Kamboja utara pada tahun 1904 dan kemudian Battambang, Sisophon dan Siem Reap pada tahun 1907, sambil menyerahkan Trat ke Siam.

Kamboja memperoleh kemerdekaan pada tahun 1953, dan sejak itu kedua negara memiliki hubungan yang retak-retak. Sengketa perbatasan Kamboja-Thailand muncul pada akhir 1950-an atas kepemilikan Kuil Preah Vihear, yang terletak berdekatan dengan perbatasan di Pegunungan Dângrêk. Pada tahun 1962 kasus ini dirujuk ke Mahkamah Internasional, yang memutuskan mendukung Kamboja, namun Thailand menyatakan keberatan atas hasilnya

Kamboja mengklaim telah menguasai wilayah di sekitar Ta Moan dan Ta Krabei, bersama dengan enam situs lain yang diperebutkan, setelah mengusir mundur pasukan Thailand segera setelah bentrokan pecah pada hari Kamis tanggal 24 Juli 2025.
Kuil-kuil, seperti banyak daerah di sepanjang perbatasan lebih dari 800 km (500 mil) yang dimiliki kedua tetangga Asia Tenggara ini, telah lama menjadi titik nyala karena klaim teritorial yang disengketakan.

Pada Sabtu sore tanggal 26 Juli 2025 dilaporkan lebih dari 30 orang, yang sebagian besar adalah warga sipil, telah dikonfirmasi tewas di kedua sisi perbatasan.
Thailand menarik kembali duta besarnya dan mengusir utusan Kamboja. Phnom Penh kemudian menarik diplomatnya sebagai tanggapan, dan kedua belah pihak menurunkan hubungan diplomatik.

Saya melihat running text berita TV nasional yang menyatakan bahwa Indonesia mengamati dengan seksama perkembangan konflik perbatasan Thailand dan Kamboja. Nampaknya mengamati saja tidak cukup, karena sebagai salah satu pendiri ASEAN Indonesia memiliki tanggung jawab – harus mengambil sikap yang jelas misalnya sebagai mediator. Memang sejak lama sikap Indonesia dalam menghadapi konflik antar negara anggota ASEAN adalah mengedepankan prinsip-prinsip ASEAN, seperti non-intervensi, penyelesaian damai, dan musyawarah untuk mufakat. Indonesia aktif berperan sebagai mediator dan fasilitator untuk de-eskalasi konflik dan mencari solusi damai, seperti yang terlihat dalam penyelesaian konflik Thailand-Kamboja dan masalah di Myanmar.

Indonesia sendiri memilki persoalan sengketa perbatasan dengan salah satu negara pendiri ASEAN yaitu Malaysia. Namun isu sengketa ini bisa diredam dengan baik sejak pemerintahan Presiden Suharto – karena kedua negara pendiri ASEAN ini menggunakan cara-cara yang dikenal di dunia yakni “the Asian Way” – cara penyelesaian sengketa dengan damai melalui musyawarah bukan melalui penyelesaian militer.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K