Oleh: Radhar Tribaskoro
Di dalam politik luar negeri, arah sering kali lebih penting daripada tujuan. Dua tokoh besar dalam tradisi Nahdlatul Ulama—Abdurrahman Wahid dan Yahya Cholil Staquf—pernah membuka pintu hubungan dengan Israel. Namun meskipun gerakannya tampak serupa, orientasi politik yang menjadi landasan keduanya sangat berbeda. Perbedaan itu tidak hanya bersifat teknis, tetapi menyentuh akar etis, geopolitik, dan konsepsi moral tentang apa yang dimaksud “perdamaian”.
Adhie M. Massardi, juru bicara Gus Dur semasa menjadi presiden, memberikan keterangan penting: Gus Dur membangun hubungan dengan Israel melalui Shimon Peres, tokoh sentral Partai Buruh Israel—perumus dan pendukung utama two-state solution atau solusi dua negara. Sebaliknya, Yahya Staquf menjalin kedekatan dengan Benjamin Netanyahu, tokoh Likud yang menjadi simbol pendekatan hawkish: keras, teritorial, ekspansionis, dan secara substantif mempersulit jika bukan meniadakan kemungkinan negara Palestina yang berdaulat.
Bagi publik yang belum terbiasa membaca peta politik Israel, perbedaan keduanya mungkin tampak kabur. Bagaimanapun, keduanya “berhubungan dengan Israel”. Padahal, bagi siapapun yang memahami konflik Israel–Palestina, arah politik Peres dan Netanyahu adalah dua kutub yang saling bertentangan. Shimon Peres adalah simbol Merpati—the Dove—yang percaya perdamaian hanya mungkin jika Palestina memiliki negara merdeka. Sementara Netanyahu, walau secara retoris tidak menolak “solusi dua negara”, menetapkan syarat-syarat yang menjadikannya mustahil: Yerusalem harus sepenuhnya berada di bawah Israel; Israel berhak melakukan intervensi militer dan kepolisian di wilayah Palestina; dan entitas Palestina tidak boleh memiliki kontrol penuh atas perbatasan, ruang udara, maupun keamanan dalam negeri. Dengan syarat seperti itu, “negara Palestina” tidak lebih dari bantustan—tanpa kedaulatan, tanpa martabat.
Dari sinilah garis pembeda itu dimulai. Gus Dur berdialog dengan seorang arsitek perdamaian, Yahya berdialog dengan seorang arsitek pendudukan permanen.
Pertanyaan yang muncul adalah sederhana tetapi penting: Apakah “berhubungan dengan Israel” itu sama saja? Jawabnya tegas: tidak.
Gus Dur, Peres, dan Jalur Merpati
Gus Dur memahami bahwa salah satu simpul konflik Palestina–Israel adalah absennya komunikasi politik. Bagi Gus Dur, membuka dialog—meski dengan Israel—bukan pengkhianatan, melainkan cara mengangkat isu Palestina ke forum yang lebih luas melalui jalur yang lebih halus. Gus Dur juga memosisikan dirinya bukan sebagai aktor negara, melainkan pemimpin moral dunia Islam yang dikenal moderat. Dengan Shimon Peres, Gus Dur melihat peluang: Peres memang salah satu sedikit politisi Zionis yang mengakui hak bangsa Palestina untuk memiliki negara merdeka, yang memperjuangkan Perjanjian Oslo (Oslo Accord) secara konsisten, dan yang sejak masa Yitzhak Rabin memandang perdamaian sebagai jalan menuju keamanan Israel.
Pendekatan ini sangat selaras dengan prinsip Gus Dur, bahwa kedamaian adalah jalan panjang yang dibangun melalui saling pengakuan, bukan melalui dominasi.
Gagasan dua negara memang mengalami stagnasi setelah pembunuhan Rabin, bangkitnya faksi kanan, dan menguatnya kelompok ultranationalist-settlers. Tetapi pada masa Gus Dur, dialog dengan Peres adalah simbol harapan, bukan penyerahan. Gus Dur percaya bahwa nilai kemanusiaan lebih tinggi daripada manuver kekuasaan.
Di bawah permukaan, pilihan Gus Dur untuk menggandeng “Merpati” adalah bagian dari strategi moral-politik: Indonesia sebagai negara muslim terbesar harus mendorong pihak yang menginginkan perdamaian, bukan yang menghalanginya.
Yahya Staquf, Netanyahu, dan Politik Sayap Elang
Di sisi lain, langkah Yahya Staquf menjalin hubungan dengan Netanyahu mengirimkan sinyal berbeda. Netanyahu adalah representasi sayap “Elang”—the Hawks—yang selama dua dekade terakhir mendorong agresi, pendudukan, dan pembatasan hak-hak Palestina. Netanyahu tidak pernah benar-benar menolak solusi dua negara, tetapi ia menyusunnya dengan logika bait and switch: menampakkan persetujuan secara diplomatik sambil merusaknya secara struktural.
Persyaratan yang diajukannya membuat entitas Palestina mustahil menjadi negara berdaulat. Jerusalem harus utuh di bawah Israel. Iran harus dinetralisir. Hamas harus dilumpuhkan total. Palestina harus demiliterisasi sepenuhnya. Israel berhak memasuki kapan saja wilayah Palestina. Dan permukiman harus tetap dipertahankan.
Dalam kerangka seperti itu, “perdamaian” berarti penundukan total Palestina.
Maka ketika Yahya Staquf mendekat ke Netanyahu, ia sebenarnya mendekat kepada sebuah arus pemikiran yang secara global dipandang sebagai penghambat perdamaian. Bagi banyak kalangan, langkah ini tidak hanya politis tetapi juga normatif: ia berdampak pada posisi moral NU, organisasi Islam terbesar di dunia, yang selama puluhan tahun dikenal teguh menyuarakan solidaritas bagi Palestina.
Yang kemudian terjadi adalah implikasi simbolik: Yahya Staquf terlihat sebagai tokoh Islam yang bersedia terhubung dengan pemimpin politik yang dianggap bertanggung jawab atas pendudukan, perluasan permukiman, hingga kekerasan ekstrem di Gaza.
Karena itulah, perbedaan pendekatan Gus Dur dan Yahya bukan sekadar perbedaan tokoh, tetapi perbedaan kutub pemikiran dalam politik Israel.
Peter Berkowitz: Ideolog Liberal yang Membela Netanyahu
Kontroversi Yahya Staquf meningkat ketika Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menghadirkan Peter Berkowitz dalam forum pelatihan kader tertinggi. Kehadiran Berkowitz tidak netral secara politik. Ia adalah salah satu akademisi konservatif-liberal dari AS yang secara terbuka membela kebijakan Netanyahu, terutama dengan argumen-argumen berikut:
1. Bahwa Israel adalah satu-satunya negara liberal di Timur Tengah.
Dalam logika Berkowitz, Israel memiliki prinsip rule of law, kebebasan individu, kebebasan pers, dan sistem politik yang stabil. Di sekelilingnya, negara-negara Arab dianggap belum memenuhi standar itu sehingga Israel perlu mempertahankan superioritas militernya.
2. Bahwa tindakan Israel di Gaza adalah bagian dari “hak membela diri” liberal.
Berkowitz menulis bahwa negara liberal punya kewajiban moral untuk mempertahankan warganya “dengan segala cara”, termasuk serangan besar terhadap wilayah musuh jika dianggap mengancam.
3. Bahwa solusi dua negara tidak realistis sebelum Palestina “bertransformasi menjadi masyarakat liberal”.
Ini secara tidak langsung menjadi pembenaran terhadap pendekatan Netanyahu yang menunda, mengulur, dan pada praktiknya membunuh realisasi negara Palestina.
4. Bahwa kritik internasional terhadap Israel adalah bias moral anti-liberal.
Berkowitz secara berkala menyatakan bahwa dunia “tidak memahami dilematis moral negara demokrasi yang dikelilingi ancaman”.
Pandangan seperti ini memang akademis, tetapi bukan tanpa bias ideologis. Ia menampilkan Israel sebagai pusat moral liberalisme dan Palestina sebagai “ketidaksiapan”. Inilah argumen klasik yang digunakan kelompok Elang untuk mempertahankan politik pendudukan.
Apakah pandangan Berkowitz ini sejalan dengan pandangan Aswaja? Saya tidak ingin menjawab pertanyaan itu karena pengetahuan saya terbatas dalam hal itu. Tetapi jelas bahwa ia berada dalam orbit pemikiran politik yang bukan sekadar “sekutu Israel”, tetapi sekutu Netanyahu.
Mengapa Kehadiran Berkowitz Menjadi Kontroversi?
Sebagai pengamat politik, seseorang dapat memiliki keterbukaan terhadap berbagai pandangan internasional. Namun mengundang tokoh yang secara eksplisit mendukung pendekatan paling militeristik Israel—apalagi ketika Gaza sedang mengalami pembantaian masif—jelas tidak sensitif terhadap aspirasi publik Indonesia, baik Muslim maupun non-Muslim, yang secara mayoritas mendukung perjuangan Palestina.
Di banyak negara, tokoh seperti Berkowitz tidak akan diundang ke pelatihan kader organisasi keagamaan terbesar. Jika mau mendengar pandangannya, publik dapat membacanya dengan mudah di media internasional. Tetapi memberikan panggung kehormatan justru melampaui batas kewajaran diplomasi kultural.
Karena itu, kontroversi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab politik Yahya Staquf. Bukan karena ia berdialog dengan Israel—Gus Dur pun pernah melakukannya—tetapi karena ia memilih jalur Elang, jalur Netanyahu, dan kini jalur ideolog yang mengaburkan wajah kekerasan dengan istilah “liberalisme”.
Penutup: Menimbang Dua Jalan, Menimbang Dua Moralitas
Gus Dur dan Yahya sama-sama membuka pintu ke Israel. Tetapi pintu yang mereka buka tidak menuju ruang yang sama. Gus Dur memasuki ruang yang dihuni harapan perdamaian. Yahya memasuki ruang yang dipenuhi retorika kekuatan. Gus Dur berbicara dengan Peres, Yahya berbicara dengan Netanyahu. Satu berada di sayap Merpati, satu berada di sayap Elang.
Di dunia yang sedang menyaksikan tragedi Gaza, perbedaan itu bukan soal teori. Ia adalah soal keberpihakan moral.
Dan publik berhak mengetahui bahwa dua langkah yang tampak serupa jelas tidak lahir dari arah yang sama.
Jika Gus Dur berjalan menuju perdamaian, kita belum tahu ke arah mana Yahya sedang melangkah. Yang kita tahu hanyalah ia memilih untuk berbicara dengan mereka yang mempersulit lahirnya Palestina—bukan yang memperjuangkannya.
Cimahi, 23 November 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Faizal Assegaf: Saya usulkan mediasi agar gugurkan status tersangka Roy cs

Lapoan PBB: Jakarta, ibu kota terpadat di dunia dengan 42 juta penduduk

Delegasi konferensi perubahan iklim PBB mencapai kesepakatan di menit-menit terakhir, tetapi hasilnya masih jauh dari harapan.

Swasembada Energi Presiden Prabowo Bagi Emak Emak Berdaulat Di Dapur

Desak Kejagung dan Polri Tangkap Importir Thrifting dan Pejabat Terlibat, Ketua Umum APKLI-P: Gurita Puluhan Tahun Laksana Kanker Stadium IV

Maklumat Yogyakarta: Menolak Munculnya Gagasan Amandemen ke 5 UUD NRI 1945

Perlawanan Secara Terbuka

Gus Yahya Melawan, Tolak Mundur Dari Jabatan Ketua PBNU

Ewuh Ing Pambudi, Boyo Keduman Melik, Sengsoro Wekasanipun

Kombes Pol Dofir: Anak Rentan Alami ‘Stunting Ideologi’, Densus 88 Ajak Semua Pihak Cegah Paparan Paham Radikal



No Responses