Oleh: Radhar Tribaskoro
Reformasi kepolisian kini dihadapkan pada sebuah pemandangan yang menarik sekaligus menggelisahkan: ada dua tim yang dibentuk. Kapolri menunjuk tim internalnya, Presiden membentuk tim eksternal yang dipimpin Menkopolhukam Djamari Chaniago dengan dukungan Jenderal Ahmad Dhofiri. Pertanyaannya segera mengemuka: apakah langkah Kapolri itu tidak kontra-produktif? Atau justru sebuah pelengkap?
Di mata publik, pembentukan dua tim itu menyerupai dua cermin yang berhadapan. Yang satu memantulkan bayangan ke dalam, ke tubuh kepolisian sendiri. Yang lain menatap ke luar, kepada tata negara, kepada hubungan Polri dengan kekuasaan sipil dan dengan masyarakat. Kedua cermin itu bisa saling menambah cahaya, tapi bisa pula membuat bayangan-bayangan berlipat ganda, membingungkan siapa yang sedang dibenahi.
Alasan masyarakat menuntut reformasi polisi sesungguhnya sederhana: karena polisi telah terlalu lama dipakai sebagai alat. Ia dipanggil untuk mengkriminalisasi lawan politik. Ia dimobilisasi dalam momen-momen elektoral untuk memengaruhi jalannya kompetisi. Yang seharusnya menjadi penjaga hukum, berubah menjadi instrumen kekuasaan.
Inilah bayangan lama yang menghantui. Dan karena itulah, tim internal sekeras apa pun kerjanya tetap akan terbatas. Bagaimana mungkin sebuah institusi mereformasi dirinya sendiri dari kecenderungan melayani politik, sementara tekanan politik itu datang justru dari atasannya, dari lingkaran kekuasaan yang lebih tinggi? Bagaimana mungkin sebuah tim internal mengakui bahwa masalah sesungguhnya adalah keberpihakan kepolisian kepada mereka yang sedang berkuasa?
Reformasi kepolisian bukan sekadar urusan teknis. Ia menyentuh jantung persoalan legitimasi negara. Polisi, bersama tentara, adalah wajah yang sehari-hari dilihat rakyat dari apa yang disebut “negara.” Ketika wajah itu menampilkan kekerasan, manipulasi hukum, dan intervensi dalam politik, yang runtuh bukan hanya kepercayaan pada Polri, melainkan kepercayaan pada negara itu sendiri.
Itulah sebabnya publik memandang penting kehadiran tim eksternal. Di bawah Presiden, tim ini lebih pantas menerima mandat penuh. Sebab masalahnya bukan lagi soal SOP, bukan lagi soal pendidikan disiplin, melainkan soal rule of the game: bagaimana posisi Polri dalam demokrasi? bagaimana mekanisme pengawasan eksternal? bagaimana menjamin polisi tidak lagi digunakan untuk melayani kepentingan elektoral?
Namun ini tidak berarti tim internal tak berguna. Ia tetap penting, tapi sebagai pendukung. Ia bisa mengaudit SOP, menyisir jalur komando, menemukan celah di dalam sistem pelatihan, atau mengidentifikasi kultur kekerasan yang diwariskan. Semua itu berharga. Tapi mandat utama untuk menyelesaikan problem politisasi Polri seharusnya ada pada tim eksternal.
Idealnya, ada alur kerja yang rapi: tim internal mengumpulkan data, menyerahkan laporan teknis, sedangkan tim eksternal menafsirkan data itu, menambahkan perspektif konstitusional, dan merumuskan kebijakan makro. Dengan begitu, publik melihat sinergi, bukan dualisme.
Apakah salah satu tim harus mengalah? Ya, dalam arti mengalahkan ego kelembagaan. Tim internal Polri sebaiknya menempatkan diri sebagai sub-team, bukan rival. Mereka yang “mengalah,” tapi bukan berarti kalah. Justru dengan mengalah, tim internal bisa membuktikan bahwa Polri sungguh ingin berubah, bukan sekadar menjaga gengsi institusi.
Sementara tim eksternal, yang bekerja di bawah mandat Presiden, perlu menunjukkan independensi. Ia harus membuka ruang bagi masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga-lembaga pengawas. Jika tidak, ia akan kehilangan kepercayaan publik yang sudah terlanjur curiga.
Pada akhirnya, reformasi kepolisian tak bisa dipandang sebagai agenda birokratis semata. Ia adalah agenda politik—politik dalam arti bagaimana kekuasaan dipakai, dikontrol, dan dipertanggungjawabkan. Karena itu, menempatkan mandat utama pada tim eksternal bukan sekadar pilihan teknis, melainkan pilihan politik.
Pilihan itu berarti Presiden mengakui bahwa Polri tak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Bahwa perlu ada check and balance. Bahwa kekuasaan kepolisian harus kembali berada di bawah kontrol sipil yang sehat, bukan di bawah bisikan kepentingan politik jangka pendek.
Jika dua tim ini bisa bekerja dengan benar—satu memberi data teknis, satu merumuskan desain politik—maka ada harapan bayangan lama bisa dipudarkan. Tapi jika keduanya berjalan sendiri-sendiri, yang lahir justru kebingungan baru. Publik akan bertanya: siapa yang sesungguhnya memegang kendali? Presiden atau Kapolri? Negara atau institusi?
Reformasi kepolisian hanya akan berhasil bila ia jujur mengakui: masalah utama adalah politisasi. Dan untuk menghadapinya, Polri tidak bisa berdiri sendirian. Ia harus membuka diri, mengalah, dan membiarkan mandat penuh berada di tangan yang lebih tinggi—mandat yang bersandar pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan kekuasaan.
Jakarta, 23 September 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts
Spiritualitas Dalam Pembangunan Bangsa
GSW : Monumen Kegagalan Lain Setelah IKN?
Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (21): Membongkar Jejaring Internasional Riza Chalid
KPK Terkesan Mengulur Waktu Dalam Menetapkan Tersangka
Daniel M Rosid: Resetting NKRI
Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (20): Mafia Migas di Parlemen: “Ketok Palu” Anggaran dan Bagi-Bagi Proyek Energi
Api Diujung Agustus (Seri 8) – Malam di Pelabuhan
Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (19): Lobi Politik di Balik Blok Migas: Dari Meja Menteri hingga Ruang Istana
The End Game: System Reset?
Pemuda dan Mahasiswa Penjaga Moralitas Bangsa
No Responses