“Gawean” Wakil Presiden di Bidang Otonomi Khusus Papua  

“Gawean” Wakil Presiden di Bidang Otonomi Khusus Papua   
Raja Ampat Papua

Oleh: Djohermansyah Djohan

Deputi Politik Seswapres (2005-2010), Dirjen Otda Kemendagri (2010-2014),

Presiden i-OTDA

 

Dalam mengurus otonomi daerah, khususnya otonomi khusus Papua, perkara Wakil Presiden (Wapres) berkantor di Papua atau di Jakarta sebenarnya bukan isu. Beberapa waktu lalu orang ramai memperbincangkan, apakah dalam rangka percepatan pembangunan Papua Wapres Gibran Rakabuming Raka (GRR) selaku Ketua Badan Pengarah harus berkantor di Papua? Timbul polemik. Tiga orang menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, dan Menko Hukum & HAM Yusril Izha Mahendra bergegas memberikan klarifikasi.

Intinya, Wapres Gibran sebagai RI 2 (the Second  Man) tetap harus berkantor di Jakarta, dan bila ada “gawean” terkait Papua, seizin presiden, dia dapat berkunjung dan menginap di Papua sesuai keperluan. Adapun yang berkantor permanen di sana adalah pejabat sekretariat Badan Pengarah Papua. Lalu, apa sebetulnya yang menjadi isu yang perlu ditangani Wapres GRR dalam posisinya ex-officio selaku Ketua Badan Pengarah Papua (BPP)?

Konstruksi Tugas Wapres

Dalam konstitusi kita yang menganut sistem presidensial dengan model plural eksekutif di mana presiden dan wapres dipilih secara langsung berpasangan (one-ticket), wapres bertugas membantu presiden. Tidak disebutkan secara eksplisit bidang tugas apa sajakah yang perlu dibantunya. Sehingga, walaupun mereka sama-sama “berkeringat” dalam kontestasi pemilu presiden, namun apa yang menjadi tugas wapres sepenuhnya terserah kepada presiden.

Bila presiden menilai wapres paham ekonomi, atau jago resolusi konflik, atau pandai mengurus keuangan syariah, ditugaskanlah dia mengurusnya.  Repotnya, bila presiden tak memberi tugas apapun kepada wapres, semua kerjaan diborongnya sendiri. Maka, menganggurlah sang wapres. Paling yang bisa dilakukannya adalah banyak berdoa agar ia diberi kerja.

Selain itu, diamanahkan juga dalam UUD 1945, jika  presiden berhalangan sementara seperti bertugas ke luar negeri, maupun berhalangan tetap karena wafat, wapreslah yang akan menggantikannya. Di sini dia dijuluki sebagai “ban serep”. Kehadirannya tak lain tak bukan adalah untuk mengisi jabatan presiden agar tak terjadi kekosongan kekuasaan negara (vacuum of power). Bagi wapres yang tak memegang bidang  tugas tertentu, biasanya posisi menjadi Plt Presiden selalu ditunggu-tunggu, karena ia bisa menunjukkan keberadaannya dalam  pemerintahan. Pada era pemerintahan digital sekarang peran sebagai Plt itupun nyaris hilang. Presiden ternyata tetap bisa langsung memimpin rapat penting by zoom dari luar negeri sekalipun ia telah menerbitkan Keppres Plt Presiden kepada Wapres.

Itulah sebabnya guna menghindari wapres jangan hanya sekedar menjadi “ban serep”, dan tak memiliki “gawean”, pembuat UU berimprovisasi untuk memandatkan tugas tertentu yang pelik, rumit dan kompleks lintas K/L dan pemda, sehingga memerlukan  otoritas yang kuat selevel lembaga wapres dalam menanganinya, seperti dalam bidang otonomi daerah, otonomi khusus, dan bahkan terkait reformasi birokrasi.

Hal itu terinspirasi dari model pembagian tugas “by law” kepada wakil kepala daerah bila tak diberi tugas oleh kepala daerahnya gara-gara pecah kongsi. Secara eksplisit diatur dalam UU Pemda No 23 Tahun 2014, yaitu antara lain wakil kepala daerah mempunyai tugas membantu kepala daerah mengoordinasikan kegiatan perangkat daerah, menindaklanjuti temuan hasil pengawasan, monev program perangkat daerah, dan memberi saran kepada kepala daerah.

Dalam bidang otonomi daerah wapres dimandatkan dalam Pasal 396 UU Pemda tersebut untuk menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dengan tugas membantu presiden menangani rancangan kebijakan terkait pemekaran dan penggabungan daerah, dana perimbangan keuangan, dana otsus, dan perselisihan antara daerah dengan K/L. Menteri Dalam Negeri sebagai sekretaris dewan ditugaskan memimpin sekretariatnya.

Sementara dalam bidang otonomi khusus untuk tanah Papua wapres sesuai Pasal 68 A  UU Otsus Papua No 2 Tahun 2021 dimandatkan untuk menjadi Ketua Badan Khusus dengan tugas sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi implementasi otsus dan percepatan pembangunan di wilayah Papua.

Wapres juga berpotensi untuk ditunjuk oleh presiden sebagai Ketua Dewan Kawasan Aglomerasi (DKA) sesuai UU Daerah Khusus Jakarta No 2 Tahun 2024. Mengingat sifat tugas DKA ini yang pelik dalam menyinkronkan pembangunan Jakarta dengan daerah otonom sekitarnya (bodetabek-bonjur), juga dengan K/L, dan bahkan komunitas internasional, otoritas lembaga wapreslah yang paling pas, bukan menteri sektoral. Karena qua jabatan, ia boss para menteri dan pembina kepala daerah.

Begitulah konstruksi tugas wapres secara normatif dibidang otonomi yang eksisting saat ini dan dapat menjadi payung hukum untuk membuat bergeraknya kantor wapres yang memiliki 400 orang pegawai itu. Idealnya, pembagian tugas wapres seperti itu dicantumkan dalam UU Kepresidenan yang sayangnya belum kita miliki.

Wapres “Sepi Ing Gawe”

Terkait percepatan pembangunan dan pelaksanaan Otsus Papua awal mulanya, adalah Wapres Boediono yang ditugaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lewat Perpres No 66 Tahun 2011 menjadi Ketua Pengarah Unit Percepatan Pembangunan  Provinsi Papua  dan Provinsi Papua Barat (UP4B).

Pembentukan unit ini adalah prakarsa Presiden SBY, tak ada amanah dalam UU Otsus Papua No 21 Tahun 2011 juncto No 35 Tahun 2008. Mungkin beliau terinspirasi oleh keberhasilan wapresnya pada periode pertama 2004-2009 Jusuf Kalla dalam mewujudkan perdamaian di Aceh.

Wapres Boediono dengan sigap menyiapkan perencanaan dan penganggaran terpadu semua kegiatan K/L yang beroperasi di wilayah Papua dengan kegiatan pemda dibantu Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri. Beliau memimpin langsung rapat-rapat, sehingga menteri-menteri tak bisa ngeyel” mempertahankan egoisme sektoralnya. Bahkan, untuk percepatan pembangunan fisik, On Top diminta kepada presiden agar mengucurkan dana direktif presiden.

Di lapangan, Pak Boed dibantu Letjen Bambang Dharmono selaku Kepala UP4B dan wakilnya Eduard Fonataba (eks Bupati Sarmi) yang  berkantor di Jayapura melakukan monev dan pengawasan untuk memastikan kegiatan fisik dan non-fisik berjalan dengan baik. Hasilnya terbangunnya jalan untuk memutus isolasi antar daerah dengan ongkos lebih murah karena bekerja sama dengan Zeni TNI-AD, dipugarnya situs Masinam, diberikannya beasiswa OAP bersekolah ke luar Papua, difasilitasi pengusaha OAP berbisnis, dan dibukanya dialog atau komunikasi konstruktif untuk resolusi konflik.

Ketika Presiden Joko Widodo terpilih tahun 2014,  urusan Papua ditanganinya sendiri, tidak diserahkannya kepada Wapres Jusuf Kalla. Lembaga UP4B pun ditiadakan. Beliau mengurus Papua langsung dengan menugaskan menteri-menterinya (29 K/L), membuat food estate di Merauke, membangun pasar Mama Papua, dan jalan Papua “High ways”.

Pada pertengahan periode kedua, Presiden Joko Widodo atas dasar amanat UU Otsus Papua No 2 Tahun 2021 membentuk badan khusus yang diberi nama Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP). Wapres Ma’ruf Amin ditunjuk menjadi ketuanya dibantu oleh sekretariat yang berkantor di Jayapura. Sekretariat ini dipimpin oleh seorang pejabat eselon II.

Tidak heran bila dalam dua tahun lebih kerja badan ini tak ada “legacy” yang bisa diandalkan, kecuali rapat-rapat dan jejak kunjungan Wapres Ma’ruf Amin berkali-kali ke Papua. Kini sudah hampir 10 bulan pemerintahan Presiden Prabowo berjalan, tapi Keppres penugasan Wapres GRR sebagai Ketua Badan Pengarah Papua belum juga turun. Sehingga, kantor wapres  masih sepi kerjaan. Walaupun wapres mengaku sudah mengurus Papua dengan menugaskan staf setwapres mengirim laptop untuk pelajar di sana.

Ditunggu Gebrakan Wapres

Mengamati perkembangan BP3OKP dibanding UP4B, tampak model UP4B dengan struktur kepala unit percepatan pembangunan bertugas di Papua lebih “delivered” ketimbang struktur kepala sekretariat. Karena itu, sebaiknya jabatan kepala sekretariat diubah menjadi kepala unit percepatan pembangunan.

Mencermati kondisi pemerintahan provinsi induk pasca pemekaran empat provinsi tahun 2022 lalu, dikhawatirkan “anak lahir tapi mama mati”. Provinsi Papua yang melahirkan tiga provinsi yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan, merosot jauh PAD dan DBH nya karena penerimaannya dari pajak, retribusi, dan SDA diambil oleh provinsi-provinsi baru tersebut.

Hal yang sama terjadi pula dengan Provinsi Papua Barat yang melahirkan Provinsi Papua Barat Daya. Salah satu jalan keluarnya adalah dengan membangun kesepakatan bagi hasil SDA secara adil yang difasilitasi wapres antara provinsi penghasil dengan provinsi tetangganya. Lewat cara itu provinsi induk bisa terbantu membiayai operasional pemerintahannya.

Dengan mekarnya tanah papua dari satu menjadi enam provinsi, berpotensi terjadinya ketidaksinkronan perencanaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan utamanya terkait data dasar (basic data), pengelolaan dana otsus, perlindungan masyarakat adat dan lingkungan hidup, penguatan pendidikan dan kesehatan serta pemberdayaan ekonomi lokal. Wapres dapat mencegahnya dengan mendorong pembentukan badan kolaborasi lintas provinsi di Tanah Papua.

Terakhir, guna mengupayakan papua damai dan menguatkan integrasi, wapres sebaiknya aktif menjalin komunikasi konstruktif dengan seluruh elemen masyarakat papua. Dalam konteks ini pada akhir pekan tak ada salahnya ia berkantor di Papua.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K