Oleh: Budi Puryanto
Ketika perang Balkan meledak pada awal 1990-an dan dunia menyaksikan genosida di Bosnia–Herzegovina, Indonesia berada jauh secara geografis, tetapi tidak secara moral. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia mengambil posisi yang jarang diambil oleh negara Asia Tenggara: menjadi salah satu pembela paling vokal bagi rakyat Muslim Bosnia, baik di forum internasional maupun melalui dukungan militer yang nyata.
Sebagai Ketua Negara Non Blok, kedatangan Soeharto ke wilayah Bosnia yang sedang konflik terbuka, merupakan kisah heroik tersendiri. Banyak pihak yang melarang, mengkhawatirkan keselamatannya, melihat Serbia adalah negara yang kejam dan sadis. Keselamatan Soeharto menjadi taruhan. Namun apa yang dilakukan Soeharto?
Sungguh mencengangkan sekaligus membanggakan. Soeharto datang ke Bosnia, diatas mobil terbuka menyapa dan melambaikan tangan ke rakyat Bosnia, pakai jas hitam berkopiah hitam tanpa rompi anti peluru. Ngeri, bahkan ajudannya Syafrie Syamsudin yang sekarang Menteri Pertahanan memakai rompi anti peluru. Soeharto tidak. Seolah dia ingin mengatakan bahwa Bosnia aman-aman saja. Dan nyatanya dia aman. Serbia terbungkam mulutnya. Tidak berkutik sama sekali. Tidak berbuat apa-apa, dan membiarkan Soeharto melakukan konvoi terbuka tanpa gangguan..
Serbia benar-benar kaget. Kok ada pemimpin yang berani melintas daerah konflik, konflik terbuka ya, karena sat itu operasi genoside Serbia terhadap Bosnia masih gencar-gencarnya. Serbia seperti terkena sihir Soeharto.Tentara Serbia hanya melihat saja tanpa bisa berbuat apapun. Dunia gempar. Seperti adegan film saja, padahal itu nyata, dan Soeharto adalah aktor utamanya.
Kisah heroik ini perlu dituliskan tersendiri, karena banyak hal menarik.Kita coba melihat perspektif lain tentang peran Soeharto dalam perang Balkan ini.
1.Soeharto Melihat Bosnia sebagai Tragedi Kemanusiaan, Bukan Sekadar Konflik Etnis
Berbagai catatan diplomatik dari era itu menunjukkan bahwa Soeharto menganggap apa yang terjadi di Bosnia sebagai “pembantaian tak dapat diterima oleh nurani manusia.” Pandangan ini selaras dengan banyak pemimpin dunia Muslim waktu itu, tetapi Indonesia memiliki posisi yang lebih unik: negara demokrasi-Pancasila yang moderat, bukan negara Timur Tengah atau negara blok tertentu.
Sejarawan internasional seperti Robert Hefner menilai, posisi Indonesia pada isu Bosnia mencerminkan “aktivisme moral” yang jarang muncul dalam kebijakan luar negeri Orde Baru yang biasanya pragmatis dan berhati-hati.
2. Dukungan Politik dan Diplomatik dalam Skala Tinggi
Indonesia memimpin dorongan keras di Organisasi Konferensi Islam (OKI/OIC), dengan Soeharto menjadi salah satu motor utama agar Bosnia mendapat: Resolusi khusus tentang genosida, bantuan kemanusiaan kolektif negara anggota, dan dukungan bagi pembentukan negara Bosnia–Herzegovina merdeka
Sikap Indonesia di PBB disebut oleh banyak diplomat sebagai salah satu yang paling tegas dalam mengecam Serbia.
3. Indonesia Mengirim Senjata dan Peluru: Bantuan Senyap namun Nyata
Walaupun tidak diumumkan secara luas di dalam negeri, berbagai laporan internasional dan kesaksian pejabat era itu menyebut bahwa Indonesia mengirim sejumlah senjata, amunisi, dan perlengkapan pertahanan ke Bosnia saat embargo membuat negara itu tidak bisa membeli senjata secara legal.
Bantuan itu dilakukan dengan saluran diplomatik khusus (intelijen yang dijalankan oleh Soeripto dengan sangat baik, rapi, dan tak terdeteksi Serbia) —praktik yang wajar pada masa konflik.
Bagi Soeharto, ini bukan sekadar geopolitik, tetapi solidaritas moral terhadap sesama Muslim yang terancam punah.
4. Gerakan Kemanusiaan Besar-besaran dari Indonesia
Selain dukungan militer, Indonesia juga mengirim: Bantuan kemanusiaan melalui Palang Merah dan lembaga Islam, Relawan medis, dan Dukungan dana melalui OKI
Organisasi-organisasi Islam di Indonesia—dari NU, Muhammadiyah, hingga lembaga zakat—ikut mengalirkan bantuan. Pemerintah memfasilitasi, tetapi membiarkan bantuan masyarakat berjalan tanpa hambatan.
5. Posisi Indonesia: Antara Aktivisme Moral dan Kepemimpinan Dunia Muslim
Soeharto, yang dikenal berhati-hati dalam urusan luar negeri, justru menonjol dalam isu Bosnia.
Para analis seperti Azyumardi Azra pernah menyinggung bahwa sikap keras Indonesia terhadap Serbia mencerminkan bagaimana Soeharto melihat tragedi Bosnia bukan hanya sebagai konflik internasional, tetapi sebagai pembelaan terhadap martabat manusia yang diinjak-injak.
Di mata dunia Islam, langkah ini menjadikan Indonesia salah satu pemimpin moral yang paling dihormati.
6. Citra Soeharto sebagai Pelindung Dunia Islam Moderat
Seri-seri sebelumnya menekankan keberhasilan domestik dan stabilitas politik. Namun dalam isu Bosnia, Soeharto tampil sebagai pemimpin yang bergerak karena nilai, bukan hanya kepentingan.
Bahkan sejumlah pengamat non-Muslim mengakui bahwa Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang: Konsisten menyuarakan isu Bosnia di forum global. Berani memobilisasi OKI. Dan, memberi dukungan militer pada saat paling kritis.
Sikap ini memperkuat posisi Indonesia sebagai negara Muslim moderat terbesar di dunia dan mempertebal reputasi Soeharto sebagai figur yang tidak hanya berorientasi pada stabilitas dalam negeri, tetapi juga kepedulian antarbangsa.
BERSAMBUNG
EDITOR: RFEYNA
BACA JUGA:
Related Posts

Airlangga Pribadi: Prabowo Sedang Hadapi Tirani Jokowi, Pilih Elit Atau Pilih Rakyat

Bencana Sumatera dan Kegagalan Tata Kelola Kawasan

Novel “Imperium Tiga Samudra” (22) – Dokumen Rahasia TNI AL Tentang Palung Wallace

Kekayaan Keragaman Hayati Tercabut Dari Bumi Sumatra

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (12): Modernisasi Militer, Stabilitas Keamanan, dan Ekspansi Pertahanan Indonesia

Novel “Imperium Tiga Samudra” (21) – Auto Cloce, Pintu Yang Tidak Boleh Dibuka Lagi

Banjir Bandang Sumatera: Pembantaian Massif (Saatnya Rakyat Menjadi “Algojo”)

Novel “Imperium Tiga Samudra” (20) – “Palung Wallace”, Energi Yang Tak Seharusnya Bangkit

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (11): Pengakuan Dunia, Diplomasi Damai, dan Kiprah Internasional Indonesia di Era Soeharto”

Monumen


No Responses