Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Saya waktu kecil dulu di tahun 1950 an di Surabaya sering melihat – bahkan ikut mengejar maling sandal yang dikejar warga kampung, dan ketika tertangkap maling ini di “masa” – kata orang Surabaya – atau digebuki ramai-ramai. Masyarakat juga sering membaca dan melihat berita warga menggebuki pemalak mobil atau truk atau anak sekolah, warga geram terhadap mereka yang melakukan tindak pidana itu. Saking geramnya masyarakat terhadap para pelaku yang melanggar hukum itu sampai-sampai ada yang usul pelaku itu diikat di pohon, lalu warga ramai-ramai menyayati tubuh maling itu lalu di “kecruti” atau dilumuri air jeruk biar kesakitan, biarkapok, begitu kata mereka.
Kisah masa kecil saya itu sekarang menjadi terbalik karena ada pelaku, karena pelaku kejahatan itu tidak dihukum – bukan satu orang tapi berjamaah yaitu 93 orang pegawai lembaga yang bertugas memberantas korupsi di negeri ini yaitu KPK, melakukan tindakan pemalakan atau pungli terhadap para tahanan KPK. Tindakan melawan hukum yang memalukan itu dilakukansejak tahun 2022. Berdasar data Dewan Pengawas KPK, setidaknya uang senilai Rp4 miliarberhasil diraup oleh puluhan pegawai tersebut hanya dalam kurun waktu tiga bulan saja, pada periode Desember 2021-Maret 2022.
Yang mengejutkan dari kasus pungli di KPK ini adalah sebanyak 78 orang anehnya bukannya diberi sanksi tegas dengan jerat pidana, mereka cuma dihukum melakukan permintaan maaf secara terbuka. Para pegawai yang bersalah itu berbaris di Aula Gedung Merah Putih KPK, kemudian membacakan permintaan maaf, mengakui telah melanggar etik, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan pidana itu. Sangat aneh. Jangankan penegak hukum yang digaji rakyatuntuk memberantas kejahatan korupsi, siswa sekolah yang kedapatan mencuri saja bisa dikeluarkan dari sekolah karena termasuk melakukan tindak kriminal. Padahal, pungli jelas-jelas juga merupakan tindak kriminal. Tindakan itu termasuk pelanggaran hukum yang diatur dalam KUHP.
Pelaksanaan hukuman tersebut dilakukan di aula Gedung Penunjang Merah Putih KPK pada Senin, (26/2/2024). Para pegawai yang bersalah berbaris dengan memakai kemeja putih dan celana hitam. Mereka kemudian menyatakan permintaan maaf, mengakui telah melanggar etikdan berjanji tidak akan mengulanginya.
Saya sendiri yang awam dalam soal hukum merasa aneh dengan hukuman permintaan maaf itu padahal para pemalak itu jelas-jelas melakukan tindakan melawan hukum di lokasi gedung KPK, ada saksi-saksi, ada barang bukti, ada CCTV, pendeknya bukti pemalakan itu “ceto welo-welo” atau jelas gamblang. Tapi kenapa dengan bukti lengkap itu mereka tidak diadili, dihukum dan dipecat dari lembaganya – tapi hanya dimaafkan
Kejadian yang merusak integritas lembaga anti rasuah KPK ini membuat malu negeri ini, sampai-sampai ada judul editorial di koran Media Indonesia singkatan KPK dirubah menjadi “Komisi Pemaaf Korupsi”.
Rakyat saat ini sudah lama hilang kepercayaannya kepada lembaga-lembaga hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim, Pengadilan, Mahkamah Konstitusi, Lembaga Pemasyarakatan dan sekarang mereka juga tidak percaya pada integritas KPK karena lembaga ini yang seharusnya menjadi garda terdepan memberantas korupsi tapi pegawainya malah melakukan tindakan korupsi berupa pungli itu.
Saya membayangkan, jika warga kampung saya di Surabaya yang saya singgung di awal tulisan ini menjadi pemimpin bangsa ini, maka masing-masing 78 pegawai KPK yang terbukti melakukan tindak kejahatan pidana itu niscaya akan diikat di 78 pohon di alon-alon kota, lalusetiap orang yang melintas “menyileti” atau mengiris tubuh mereka, lalu di “kecruti” atau dilumuri air jeruk biar terasa perih dan kesakitan.
Itu sih hanya khayalan saya.
EDITOR: REYNA
Artikel sama dimuat di Optika.id
Related Posts

Negara Yang Terperosok Dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rakyat Setengah Mati, Kekuasaan Setengah Hati

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%

Novel “Imperium Tiga Samudra” (13) – Perang Senyap Mata Uang

Mencermati Komisi Reformasi Polri

Cinta, Kuasa, dan Kejatuhan: Kisah Gelap Yang Menyapu Ponorogo

Novel “Imperium Tiga Samudra” (12) – Meja Baru Asia



No Responses