Oleh: Dr. K.H. Hasyim Muzadi
(Mantan Ketua PBNU)
Setelah sekian tahun, bangsa ini mengembara entah ke mana, kini segalanya menjadi amat gelap. Jalan-jalan kebenaran yang dulu pernah tertanam kuat dalam diri, menjelma ibarat sketsa patah-patah yang teramat sulit untuk ditafsirkan apalagi dimengerti. Tuntunan agama menjadi kabur, ajaran adat berubah menjelma kepingan kaca yang susah disambung kembali. Untuk pulang, kembali ke Rumah Bunda Pertiwi, tampaknya sulit dilakukan. Untuk kembali ke hadirat Allah, sungguh akan jauh lebih rumit. Hanya kasih sayang dan hidayah Allah yang dapat mengembalikan ini semua.
Setelah berjalan sungguh jauh, jauh dari nilai-nilai kebenaran, kini saatnya sebagai sebuah entitas bangsa berusaha sekuat daya yang tersisa, mengumpulkan serpihan-serpihan kesadaran ilahiyah secara bersama untuk “mudik” ke kampung halaman. Tidak ada jalan paling elegan untuk ditempuh kecuali dengan “taubat”, apalagi kita dikenal sebagai bangsa yang religius dan amat menjunjung tinggi nilai-nilai religiusitas.
Taubat berasal dari kosakata Bahasa Arab, yang antara lain berarti kembali. Kembali dari suatu perbuatan yang dicela oleh syara’, dicerca oleh adat, ditentang oleh hukum, dan dikecam oleh konstitusi untuk menuju kepada perbuatan terpuji. Baginda Rasulullah Muhammad menyebutkan, “Menyesali kesalahan, merupakan suatu bentuk taubat.” Dalam lingkungan dunia eskatologi Islam, taubat adalah tingkat pertama di antara sederetan tingkat kondisi ruhaniyah atau sufi dalam menuju Allah.
Sufi Al-Junaid berkata: “Taubat mempunyai tiga makna. Pertama, menyesali kesalahan. Kedua, berketepatan hati untuk tidak kembali pada apa yang telah dilarang Allah SWT. Ketiga, menyelesaikan dan membela orang teraniaya.” Sementara Dzun Nun Al-Mishriy berpendapat, “Taubat di kalangan awam adalah meninggalkan dosa, sedangkan taubat di kalangan khawash adalah bertaubat dari kealpaan.”
Dari rangkaian dasar pijakan menuju Allah ini, sudahkah kita menyiapkan diri untuk bertaubat agar Allah mengembalikan hidayatNya kepada kita? Kalau jawabannya belum, maka kita harus mengakui secara jujur dan ikhlas bahwa moral sebagai fondasi kehidupan berbangsa kita rusak parah. Proses recovery atas semua krisis yang kita ciptakan sendiri, harus dimulai dari kesadaran tertinggi bahwa kita sudah sangat jauh mengembara dari perintah Allah, sudah terlalu jauh mengembara dengan nafsu, dan yang pasti bahwa kita secara terencana melupakan janji abadi kita dengan Allah sebagai Penguasa Tunggal atas alam semesta.
Jangan pernah membayangkan bahwa tuntunan Allah cuma shalat. PerintahNya meliputi seluruh alam kosmos ini, dunia dan akhirat. Ia antara lain terbentuk dalam ajakan kepada iman, seruan kepada shalat, bersifat jujur, bertindak bijak, berikhtiar mencari yang halal, bersikap kesatria, dan semuanya. Baik yang sifatnya teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Baik yang bersifat primordial maupun nasional. Sebagai komunitas agama, bangsa kita sudah terlalu jauh menyimpang, terlalu sering mengkhianati perjanjian dengan Allah, terlampau banyak orang-orang yang kita zalimi, teramat besar jumlah saudara kita menjadi miskin karena kesewenang-wenangan kita.
Yang menjadi soal, benarkah kita menyadari bahwa kita telah menyimpang, benarkah kita mengaku bahwa kita bersalah, sadarkan kita bahwa ini semua terjadi karena “tangan-tangan” kita yang berdarah-darah?. Kalau pertanyaan-pertanyaan ini jawabannya negatif, maka kita sungguh berada jauh dari kualifikasi sebagai hamba yang hendak bertaubat. Taubat pada dasarnya adalah pengakuan diri secara jujur.
Dalam soal ini, kesadaran pribadi sangatlah tidak memadai untuk dijadikan starting-point, karena kita hidup sebagai sebuah bangsa. Mari bersama-sama, meski pelan, mendekati garis yang sebenarnya, sambil jangan pernah lupa untuk meneguhkan persatuan. Kita tidak bisa lagi saling caci, saling umpat, dan saling sanggah karena semuanya harus jujur mengakui bersalah. Sebuah kesalahan kolektif yang terencana.
Nah, baru kita bicara tentang mau apa? Kita inventarisasi semuanya, semua kebejatan yang kita lakukan. Kita akui kesalahan secara bersama-sama sambil mencoba menghidupkan moral pendidikan bangsa yang mengalami kehancuran secara sempurna. Bertekad membentuk karakter, membangun manajemen sosial, serta bagaimana mengeksploitasi kekayaan alam. Baru kita bisa bangkit kembali.
Tampaknya, kalau tetap dengan manajemen konvensional seperti sekarang, bangsa ini harus bersabar dan berlapang dada untuk sekali lagi mengakui bahwa kita masih membutuhkan seorang pemimpin berkualifikasi “primus interparis” yang berdaya ledak kuat untuk berani melakukan terobosan yang holistik. Tugasnya hanya satu; menggerakkan rakyatnya karena manusia-manusia politik masa kini yang dipunyai bangsa kita, hidupnya sebatas dalam lembaran-lembaran buku. Lantas, kalau ini gambaran sesungguhnya, bagaimana lahan yang tidur dengan umat yang tidur? Bagaimana pengangguran yang 27 juta di atas lahan yang menganggur?.
Kalau ajakan ini dapat sambutan, maka selanjutnya secara bersama-sama, kita cari unsur-unsur mainstream bangsa ini yang bisa dikoleksi untuk dijadikan kekuatan baru sebagai penyangga negara. Kekuatan agama dan lintas agama, kekuatan nasionalis dalam arti visi dan misi yang mencakup morality, nationality, dan sovereignty. Serpihan-serpihan kekuatan yang tersisa disatukan untuk diikat menjadi satu kekuatan sapu jagat.
Sebab, kalau sudah menyangkut masalah moral, Islam punya sebuah ketentuan, “Tidak ada manusia yang bisa memberesi hati orang, kecuali dengan izin Allah.” Sehingga kita hanya berbuat satu hal (taubat), sambil memohon kepada Dzat Yang Memberikan hidayah untuk menyalakan kembali pelita hati kita, sebuah sinar yang akan membuka kegelapan hati dari tumpukan dosa dan dari rangkaian sifat tercela.
Untuk menemukan jalan pulang dari pengembaraan tanpa tujuan, sangatlah diperlukan pelita, sekecil apapun cahayanya, karena jalan-jalan yang telah kita lewati sebelumnya telah menjadi gelap. Al-Qur’an menyebut kehidupan yang gelap dengan istilah: “ma’îsyatan dlonka”. Kita hidup dalam jiwa sempit di tengah alam yang luas, kita hidup sesak dalam ruangan yang lebar, kita gelisah dalam negeri yang damai, kita khawatir dalam kekayaan yang menumpuk, dan di Indonesia ini hanya ada dua orang yang tenang sementara yang lainnya susah.
Pertama, orang yang benar-benar dekat dengan Allah; dan kedua, orang-orang yang sama sekali tidak tahu urusan.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Negara Yang Terperosok Dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rakyat Setengah Mati, Kekuasaan Setengah Hati

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%

Novel “Imperium Tiga Samudra” (13) – Perang Senyap Mata Uang

Mencermati Komisi Reformasi Polri

Cinta, Kuasa, dan Kejatuhan: Kisah Gelap Yang Menyapu Ponorogo

Novel “Imperium Tiga Samudra” (12) – Meja Baru Asia



read my postsOctober 26, 2024 at 12:11 am
… [Trackback]
[…] Find More to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/hasyim-muzadi-duhai-bangsaku-pulanglah/ […]
cz 75 kadet for saleOctober 29, 2024 at 3:08 am
… [Trackback]
[…] Find More Info here to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/hasyim-muzadi-duhai-bangsaku-pulanglah/ […]
mkx gummies 200mg priceDecember 18, 2024 at 3:24 am
… [Trackback]
[…] Info on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/hasyim-muzadi-duhai-bangsaku-pulanglah/ […]
คลินิกปลูกผม นครสวรรค์December 27, 2024 at 3:38 pm
… [Trackback]
[…] Info on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/hasyim-muzadi-duhai-bangsaku-pulanglah/ […]
get moreFebruary 3, 2025 at 12:58 am
… [Trackback]
[…] Find More Information here on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/hasyim-muzadi-duhai-bangsaku-pulanglah/ […]