JAKARTA – Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menggelar diskusi publik terkait dengan revisi Undang-Undang Penyiaran di Hall Dewan Pers pada Rabu (15/5). Diskusi publik bertemakan “Menyoal Revisi Undang-Undang Penyaiaran yang Berpotensi Mengancam Kebebasan Pers” menghadirkan beberapa narasumber. Di antaranya Yadi Hendriana (Dewan Pers), Dave Laksono (Komisi I DPR RI), Herik Kurniawan (Ketua Umum IJTI), Hendry Ch.Bangun (Ketua Umum PWI), Imam Wahyudi (Dewan Pertimbangan IJTI/Jurnalis Senior), Bayu Wardana (Sekjen AJI) dan Wina Armada (Praktisi/Jurnalis Senior).
Ketua Umum Dewan Pers, Ninik Rahayu, dalam sambutannya menyebut dua alasan yang menjadi pijakan Dewan Pers beserta segenap konstituen yang ada di dalamnya untuk bersikap menolak terhadap revisi UU Penyiaran yang saat ini sedang digodok di Badan Legislasi DPR RI.
“Pertama, dari sisi proses penyusunan undang-undang. Dalam konteks proses penyusunan undang-undang atau politik hukumnya, RUU ini tidak memasukkan UU Nomor 40/1999 tentang Pers di dalam konsiderannya.”ujarnya.
Kemudian, Ninik menjelaskan akibat yang akan ditimbulkan dari hal itu yakni pers di tanah air menjadi produk pers yang tidak merdeka, tidak profesional, tidak independen, dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik berkualitas.
Padahal, tambahnya, kebutuhan akan informasi yang disampaikan oleh pers bukanlah semata kebutuhan para jurnalis, bukan pula kebutuhan dari korporasi pers. Melainkan menjadi kebutuhan dan hak konstitusional dari warga negara. Di sisi lain, Ninik juga menyebutkan tidak dilibatkannya Dewan Pers dalam proses penyusunan RUU Penyiaran ini. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi No.91/PUU-XVIII/2020 tersirat dengan jelas bahwa penyusunan sebuah regulasi baru haruslah melibatkan partisipasi publik.
“Kedua, dari sisi substansi RUU Penyiaran ini. Ada beberapa pasal yang memerlukan perhatian serius dari para insan pers di tanah air,”tuturnya.
Di antaranya pada Pasal 50 B ayat 2 huruf C terkait dengan larangan produk-produk jurnalisme invetigasi serta pasal 42 ayat 2 terkait dengan penyelesaian sengketa produk jurnalistik yang akan dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Produk-produk siaran invetigatif akan dilarang serta penyelesaian sengketa produk pers akan dilakukan secara hukum dan lewat pengadilan yang tentunya akan berujung pada pembredelan dan penyensoran. Karenanya ini harus dikawal. Harus ditolak,”tutupnya (shofa).
EDITOR: REYNA
Related Posts

Ide Prof. Jimly Asshiddiqie Akan Melakukan Amandemen ke 5 UUD NRI 1945 Dapat Orderan Darimana Lagi

Rismon Dan Tifauzia Cabut Surat Kuasa Ahmad Khozinudin dkk

Tidak Terbukti Ada Unsur Korupsi, Hakim Ketua Sunoto: Eks Dirut ASDP Seharusnya Divonis Lepas

Putusan Tidak Adil Untuk Ira ASDP, Ahmadie Thaha: Hakim Logika Dengkul

Ira Harus Bebas Demi Hukum: Suara Ferry Irwandi yang Mengguncang Logika Penegakan Korupsi

Komisi Reformasi Polri Dan Bayang-Bayang Listyo Syndrome

Thrifting: Fenomena Baru Yang Kini Jadi Sorotan DPR dan Menteri Keuangan

Sri Radjasa: Reformasi Polri Setengah hati, Sekadar Perbaikan Kosmetik

Modus Ala Jokowi

Trump: “Bukan Masalah Pertanyaanmu, Tapi Sikapmu, Kamu Adalah Wartawan Yang Parah”


No Responses