Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Kondisi yang memprihatinkan terjadi di negara kita ini dalam hal begitu banyaknya warga yang terlibat praktek judi online yang marak. Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK, terdapat 2,37 juta orang di Indonesia yang terlibat dalam judi online, dengan perputaran uang mencapai Rp327 triliun pada akhir tahun 2023. Sebanyak 80% dari mereka adalah kelompok ekonomi menengah ke bawah. Jumlah 2,3 juta orang itu hampir sama dengan jumlah seluruh penduduk kota Surabaya Jawa Timur atau Medan di Sumatra Utara.
Baru baru ini berbagai media nasional mengabarkan berita yang cukup mencengangkan yang dari PPATK itu. Lembaga ini menemukan adanya penerima bantuan sosial yang dipakai untuk judi online (judol). Jumlahnya tak main-main, yakni mencapai Rp1 triliun untuk penyaluran bansos tahun 2024. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkap sebanyak 571.410 orang yang Nomor Induk Kependudukan (NIK) terdaftar sebagai penerima bansos aktif bermain judol.
Temuan PPATK ini didapatkan usai mencocokan nomor rekening antara penerima bansos dengan para pemain judol. Dari jumlah tersebut, ada indikasi temuan bahwa NIK yang tercantum juga terlibat dalam tindak pidana korupsi hingga tindak pidana terorisme.
“Kita baru satu bank. Kita cocokan NIK-nya ternyata memang ada NIK penerima bansos yang juga pemain judol. NIK bansos kita terima dari Pak Mensos kita cocokan dengan NIK terkait judol, korupsi, dan lembaga pembiayaan terorisme,” kata Ivan, baru-baru ini. PPATK memastikan rekening tersebut diblokir.
Dari laman Universitas Gajah Mada kita bisa melihat pendapat Sosiolog Andreas Budi Widyanta dimana dia menilai fenomena judi online yang menyasar para penerima bantuan Bansos, tak bisa semena-mena mereka untuk disalahkan. Sebab, ia menyebut para penerima bansos justru merupakan korban dari spiral kekerasan negara. “Ini bukan soal moralitas individu semata, tapi soal absennya negara dalam memberi perlindungan dan literasi digital pada warganya,” ujarnya di Kampus UGM, kamis (10/7)
Ia menjelaskan, fenomena keterlibatan warga miskin dalam judi online harus dilihat sebagai bagian dari dua persoalan besar: ketidaktepatan data bansos dan ketidaksiapan masyarakat digital. Menurutnya, data penerima bansos kerap kali tidak akurat dan digunakan sebagai alat politik, terutama menjelang pemilu. Sementara di sisi lain, banyak warga yang tidak memiliki literasi digital yang memadai, sehingga mudah terjebak dalam aplikasi judi online. “Penerima bansos hanyalah bagian kecil dari warga yang terjerat judi online. Ini fenomena masyarakat digital yang tidak pernah disiapkan secara literasi. Negara absen memberi penyadaran,” katanya.
Data yang menghebohkan dari PPATK itu baru berasal dari satu bank saja, kita belum tahu berapa jumlah penerima bansos yang bermain judi online itu dari bank-bank lain.
Persoalan ini memang sepatutnya mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Sikap Arogan Ketua Tim Reformasi Polri Justru Tak Hendak Mendengarkan Suara Rakyar

Sutoyo Abadi: Memusingkan

Tantangan Transformasi Prabowo

Kementerian PKP Tertinggi Prestasi Penyerapan Anggaran dari Seluruh Mitra Komisi V

Kejati Sumut Sita Rp150 Miliar dari Kasus Korupsi Penjualan Aset PTPN I: Babak Baru Pengungkapan Skandal Pertanahan 8.077 Hektare

Dipimpin Pramono Anung Jakarta Makin Aman dan Nyaman, Ketua Umum APKLI-P: Grand Opening WARKOBI Januari 2026 Diresmikan Gubernur DKI

Refly Harun Dan RRT Walkout saat Audiensi Dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri

Subuh, Kolaborasi, Kepedulian, dan Keberkahan

Dukung Revisi PP 50/2022, Ketua Umum APKLI-P: Praktek Tax Planing PPH 0,5% UMKM Puluhan Tahun Dibiarkan

LPG, LNG, CNG dan Kompor Induksi, Solusi Emak Emak Swasembada Energi Di Dapur


No Responses