Jejak Dua Kaum Penanti di Tanah Hijrah Nabi

Jejak Dua Kaum Penanti di Tanah Hijrah Nabi
Ilustrasi: Mereka Menanti Sang Nabi, Tapi Menolak Saat Ia Tiba

๐Ž๐ฅ๐ž๐ก: ๐€๐ ๐ฎ๐ฌ ๐Œ ๐Œ๐š๐ค๐ฌ๐ฎ๐ฆ

Dalam reportase perjalanan haji sebelumnya, saya telah mengisahkan momen hijrah Rasulullah ๏ทบ ke Yastribโ€”kota yang kelak dikenal sebagai Madinahโ€”dan sambutan hangat penduduknya dengan lantunan Thalaโ€˜al Badru โ€˜Alayna. Kini, saya ingin mengajak Anda menyelami fase berikutnya: bagaimana Nabi membangun peradaban, merajut ukhuwah, dan menjalin hubungan sosial dengan masyarakat Madinah yang plural. Di kota ini telah lebih dahulu hidup komunitas Yahudi dan Nasrani. Siapakah mereka? Bagaimana bisa mereka sampai di Madinah sebelum Nabi? Dalam reportase ini, saya akan memaparkan jejak sejarah masuknya dua agama tersebut dan motivasi mereka tinggal di tanah harapan itu.

๐‰๐ž๐ฃ๐š๐ค ๐˜๐š๐ก๐ฎ๐๐ข ๐๐š๐ง ๐๐š๐ฌ๐ซ๐š๐ง๐ข ๐๐ข ๐‰๐š๐ณ๐ข๐ซ๐š๐ก ๐€๐ซ๐š๐› ๐’๐ž๐›๐ž๐ฅ๐ฎ๐ฆ ๐’๐š๐ง๐  ๐๐ž๐ง๐ฎ๐ญ๐ฎ๐ฉ ๐๐š๐ซ๐š ๐๐š๐›๐ข

Kadang sejarah tak datang sebagai gelegar besar, tapi menyusup pelan seperti embun dini hari. Ia mengetuk kesadaran kita perlahan, membawa pesan: bahwa takdir Allah berjalan dalam jalur yang panjang, rumit, dan kadang tak terpahami oleh mata yang hanya memandang permukaan. Demikian pula kisah iniโ€”tentang bagaimana agama-agama langit terlebih dahulu menapak tanah gersang Jazirah Arab ratusan tahun sebelum kelahiran manusia agung: Muhammad ๏ทบ.

๐Ÿ. ๐˜๐š๐ฆ๐š๐ง ๐๐š๐ง ๐“๐š๐›๐›๐š๐ง ๐€๐ฌโ€™๐š๐: ๐Š๐ž๐ญ๐ข๐ค๐š ๐‘๐š๐ฃ๐š ๐“๐ฎ๐ง๐๐ฎ๐ค ๐ค๐ž๐ฉ๐š๐๐š ๐–๐š๐ก๐ฒ๐ฎ

Di selatan jazirah itu, negeri Yaman berdiri megah. Dulu, orang menyembah api dan patung. Namun Allahโ€”yang selalu mengatur jalan kebenaranโ€”menggerakkan hati seorang raja bernama Tabban Asโ€™ad. Ia datang ke Yatsrib (Madinah) dengan murka karena anaknya terbunuh, namun pulang ke Yaman sebagai seorang Yahudi yang takluk pada cahaya Taurat.

Sebab di Yatsrib, ia bertemu dua orang pendeta Yahudi yang mengabarkan nubuat akan datangnya Nabi terakhir. โ€œIni adalah negeri hijrah Sang Nabi Terakhir,โ€ kata mereka. Kalimat itu, yang awalnya mungkin terdengar seperti dongeng di telinga Tabban, perlahan menggugah fitrah yang ada dalam jiwanya.

Subhanallah, dari kejadian yang seolah remeh dan pribadi, berbeloklah sejarah sebuah negeri. Tabban Asโ€™ad membawa dua pendeta itu ke Yaman. Negeri api pun menjadi negeri kitab. Dari api yang menyala di kuil-kuil, berpindah mereka kepada api keimanan yang menerangi kalbu.

Tidakkah kita merenung? Bahwa adakalanya dakwah tak datang dari para ustadz, tetapi dari perjalanan dan kejadian yang tampaknya duniawi, namun diselubungi kehendak Ilahi?

๐Ÿ. ๐๐š๐ฃ๐ซ๐š๐ง ๐๐š๐ง ๐…๐ข๐ง๐ฒ๐จ๐ง: ๐Š๐ž๐ญ๐ข๐ค๐š ๐‚๐š๐ก๐š๐ฒ๐š ๐Œ๐ž๐ง๐ฒ๐š๐ฆ๐›๐š๐ซ ๐๐š๐ซ๐ข ๐‹๐š๐ง๐ ๐ข๐ญ

Di sisi lain, dari utara Syam, datanglah seorang Nasrani tulus bernama Finyon, yang membawa Injil dan niat suci ke Yaman. Tapi jalan hidupnya berliku. Ia ditawan, dijual, dan akhirnya menetap di Najran, bukan sebagai daโ€™i, tapi sebagai budak.

Namun siapa sangka, dari dalam rumah majikannya yang menyembah pohon tua, Finyon memancarkan cahaya. Ia menantang: โ€œJika pohon itu benar Tuhanmu, biarlah tetap kokoh. Jika tidak, biar Tuhanku menghancurkannya.โ€ Dan petir pun menyambar, pohon itu hancur. Najran pun bersujudโ€”bukan pada petir, tetapi pada Tuhan yang mengirimkannya.

Demikianlah, wahai saudarakuโ€ฆ sejarah sering kali berubah hanya karena satu keberanian berkata benar di tengah keheningan dusta. Allah tak pernah menyia-nyiakan hamba yang sabar dan jujur.

๐Ÿ‘. ๐‹๐š๐ฅ๐ฎ ๐Œ๐ž๐ซ๐ž๐ค๐š ๐Œ๐ž๐ง๐จ๐ฅ๐š๐ค ๐Œ๐ฎ๐ก๐š๐ฆ๐ฆ๐š๐ ๏ทบ

Namun di sinilah ironi besar sejarah itu terjadi. Yahudi yang telah menanti, justru menolak. Nasrani yang telah menyebut namanya dalam Injil, justru berpaling. Sebab Muhammad ๏ทบ lahir bukan dari Bani Israil, bukan dari darah nabi merekaโ€”tapi dari bangsa yang mereka remehkan: Quraisy.

Inilah yang Allah tegur dalam firman-Nya:

โ€œApakah kalian beriman kepada sebagian isi kitab, dan mengingkari sebagian yang lain?โ€

(QS. Al-Baqarah: 85)

Sejarah mencatat, kesombongan menutup pintu hidayah. Sebagaimana Iblis menolak sujud bukan karena tak percaya, tapi karena merasa lebih mulia. Yahudi dan Nasrani, dalam sejarahnya, jatuh dalam kesalahan yang sama: memilah-milah wahyu, menimbang kebenaran dengan ego, bukan iman.

๐Ÿ’. ๐Œ๐ž๐ง๐ ๐š๐ฉ๐š ๐Š๐ข๐ญ๐š ๐‡๐š๐ซ๐ฎ๐ฌ ๐“๐š๐ก๐ฎ ๐ˆ๐ง๐ข?

Mungkin ada yang bertanya: mengapa sejarah ini penting? Apa artinya bagi kita hari ini?

Jawabannya: karena Islam tak datang di ruang hampa. Islam hadir sebagai penyempurna risalah-risalah yang telah lebih dahulu hadir. Dan Nabi Muhammad ๏ทบ bukan datang tiba-tiba, tetapi sebagai puncak dari arus sejarah panjang, yang disiapkan bahkan sejak ribuan tahun sebelumnya.

Kalau dulu Yahudi dan Nasrani tahu, tapi menolak. Maka kita hari ini pun bisa mengulang kesalahan yang sama: tahu kebenaran, namun menolaknya karena hawa nafsu atau kesombongan intelektual.

๐Ÿ“. ๐๐ž๐ง๐ฎ๐ญ๐ฎ๐ฉ: ๐’๐ž๐›๐ฎ๐š๐ก ๐“๐š๐Ÿ๐š๐ค๐ฎ๐ซ ๐’๐ž๐ฃ๐š๐ซ๐š๐ก

Dalam semua kisah ini, kita melihat: yang memeluk agama bukan hanya rakyat jelata, tapi juga raja. Yang mendustakan risalah bukan hanya awam, tapi juga ulama. Maka, iman bukan soal status atau nasab, tapi soal tunduk kepada kebenaran.

Seperti kata Buya Hamka:

“Iman bukan sekadar pengakuan di mulut, tapi kepatuhan dalam segala keadaan, bahkan ketika pahit terasa lebih pekat dari madu.”

Semoga kisah ini bukan hanya menjadi pengetahuan yang lewat di kepala, tapi membangkitkan renungan dalam dada. Bahwa jalan menuju Allah memang panjang, namun siapa yang sabar melaluinya, akan sampai pada cahaya yang abadi.

Demikianlah kondisi Yastrib, atau Madinah, ratusan tahun sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ๏ทบ. Dua kaumโ€”Yahudi dan Nasraniโ€”telah lebih dahulu menetap di kota ini dengan satu harapan: menanti datangnya Nabi terakhir yang dijanjikan dalam kitab suci mereka, yang akan berhijrah ke kota ini. Namun ketika cahaya nubuwah benar-benar hadir dalam diri Muhammad ๏ทบ, harapan itu berubah menjadi penolakan. Sebab, ternyata beliau berasal dari Bani Ismail, bukan dari Bani Ishaq sebagaimana yang mereka harapkan.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K