Oleh: Jilal Mardhani
‘When the great innovation appears, it will almost certainly be in muddled, incomplete and confusing form. To the discoverer himself it will be only half understood; to everybody else it will be a mystery. For any speculation which does not at first glance look crazy, there is no hope’ — Freeman Dyson
Ilustrasi merupakan cover buku Chris Dixon, “Read Write Own, Building the Next Era of the Internet” (2024).
* * *
Tinggal 10 hari lagi.
Indonesia bakal panen ‘gulma imajinasi’. Hal yang belakangan berkembang pesat dan liar. Terutama dalam sedekade belakangan. Bersamaan dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai Walikota Solo yang kemudian mengantarnya ke puncak kekuasaan.
Lalu, ‘gulma imajinasi’ yang tumbuh dan berkembang demikian cepat dan mudah itu, membuatnya lupa diri. Bahwa imajinasi yang ditegakkan bersama pengusung dan pendukung fanatiknya selama ini, hanyalah imajinasi.
Parahnya, dia yang tak lancar berbahasa Inggris maupun Cina itu, bukan hanya tak sadar. Tapi juga tak mengetahui — apalagi paham — tentang apa yang dimaksud imajinasi. Euforia laksana pecandu narkoba yang dirasakan, malah dibawa-sertakannya hingga istri dan anak-anak kandung dia sendiri. Membius dan mengajak mereka turut berpesta, hanyut, dan lupa diri. Persis — bahkan lebih parah — dari pendahulu yang pernah beruntung seperti dirinya. Mereka yang akhirnya dijungkalkan sendiri oleh publik yang semula histeris mengelu-elukan.
* * *
Gulma itu seperti eceng gondok yang meracuni danau atau genangan air yang dibendung. Tumbuh dan berkembang sangat cepat dan tak mudah dikendalikan.
Habitat ‘gulma imajinasi’ Jokowi adalah teknologi jaringan digital yang tumbuh dan berkembang demikian disruptif. Sebuah kebetulan zaman yang sesungguhnya tak pernah dia temukan bahkan bayangkan. Kemewahan itu sekonyong-konyong begitu saja menghampiri keberuntungan dia. Ketika menduduki kursi walikota saat Indonesia mulai frustasi menyaksikan perkembangan demokrasi pasca Reformasi 1998. Hal yang belakangan ini semakin diragukan banyak kalangan dia pahami. Bahwa dulu pernah ada pemimpin republik yang sangat berkuasa dan otoriter, tersungkur memalukan gara-gara asyik merayakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Seperti yang dilakoninya sekarang.
Gulma tetaplah gulma. Keindahan hamparan hijau eceng gondok yang terlihat dari kejauhan, tetap menyebalkan bagi mereka yang berdampingan langsung di bawah sana.
* * *
Sejumlah penggemar fanatik yang pernah mengelu-elukan dia akhirnya tersadar. Bahwa Jokowi tak sekedar merasakan euforia. Dia malah sangat menikmatinya hingga menjerumuskan anak-istri sendiri.
Tapi mereka lupa. Bahwa kemarin sesungguhnya turut berdosa karena sangat aktif menternakkan ‘gulma imajinasi’ yang akhirnya menyebabkan Jokowi lupa diri seperti sekarang. Hingga membuatnya bertingkah sangat membahayakan bagaikan pemabuk parah.
Peternakan imajinasi memang kenikmatan sekaligus kekayaan nyata hari ini. Setelah umat manusia melampaui sebuah lompatan besar. Pasca menemukan aplikasi digital dalam teknologi jaringan (network) yang sementara ini hanya dikuasai segelintir pemodal di dunia. Yakni Google dan Apple.
Penggemar fanatik Jokowi yang kecewa, justru ingin membangun peternakan baru. Sedemikian naif hingga mengira penghuni danau atau genangan-genangan air yang terbendung itu, begitu lugu, bodoh, dan tak berdaya.
Mereka keliru karena tak tahu. Bahwa ‘kecerdasan pengalaman’ diam-diam sedang berkembang pesat dan melesat. Ada ‘gulma imajinasi penantang’ yang justru diberdayakan, oleh kemewahan teknologi jaringan masa kini itu sendiri.
Anda percaya hasil jajak pendapat yang berseliweran itu?
Kasihan deh.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Negara Yang Terperosok Dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rakyat Setengah Mati, Kekuasaan Setengah Hati

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%

Novel “Imperium Tiga Samudra” (13) – Perang Senyap Mata Uang

Mencermati Komisi Reformasi Polri

Cinta, Kuasa, dan Kejatuhan: Kisah Gelap Yang Menyapu Ponorogo

Novel “Imperium Tiga Samudra” (12) – Meja Baru Asia



No Responses