Kejati Sumut Sita Rp150 Miliar dari Kasus Korupsi Penjualan Aset PTPN I: Babak Baru Pengungkapan Skandal Pertanahan 8.077 Hektare

Kejati Sumut Sita Rp150 Miliar dari Kasus Korupsi Penjualan Aset PTPN I: Babak Baru Pengungkapan Skandal Pertanahan 8.077 Hektare
Penampakan Uang Rp150 Miliar Hasil Sitaan

MEDAN – Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) kembali membuat gebrakan besar dalam penanganan kasus korupsi pertanahan. Dalam penyidikan lanjutan dugaan tindak pidana korupsi penjualan aset PT Perkebunan Nusantara I (PTPN I), penyidik menyita uang senilai Rp150 miliar sebagai bagian dari upaya memulihkan kerugian negara. Penyitaan masif ini menandai salah satu langkah terpenting dalam pengungkapan skandal alih fungsi lahan 8.077 hektare yang telah bertahun-tahun membebani negara.

Uang Rp150 miliar tersebut berasal dari PT Deli Megapolitan Kawasan Residensial (DMKR) yang diklaim sebagai pengembalian kerugian keuangan negara. Pengembalian ini menunjukkan pengakuan adanya kerugian negara akibat manipulasi dalam proyek kerja sama operasional (KSO) antara PT Nusa Dua Propertindo (NDP) dan PT Ciputra Land, yang diduga menjadi pintu masuk penjualan aset perkebunan secara tidak sah.

Kejati Sumut menegaskan bahwa penyitaan ini bukan sekadar upaya penindakan, melainkan bagian dari strategi besar pemulihan aset negara. Langkah ini memperlihatkan komitmen serius untuk menutup celah yang selama ini dimanfaatkan jejaring korupsi dalam sektor pertanahan di Sumatera Utara. “Penyitaan dilakukan sebagai bentuk kesungguhan kami memulihkan keuangan negara,” demikian pernyataan resmi yang disampaikan kepada media.

Pengungkapan perkara ini mengarah pada deretan nama yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Di antaranya IS, Direktur PT Nusa Dua Propertindo yang diduga menjadi motor penggerak KSO bermasalah tersebut. Selain itu, dua pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga dijerat: ASK, mantan Kepala Kanwil BPN Sumut, serta ARL, mantan Kepala Kantor BPN Deli Serdang. Keterlibatan pejabat pertanahan menegaskan pola umum korupsi lahan: kolaborasi antara pihak swasta dan oknum pemilik otoritas administratif.

Kejati Sumut masih menghitung potensi kerugian negara secara final, namun skala lahan—lebih dari 8.000 hektare—membuat banyak pihak menduga nilai kerugian bisa melebihi angka penyitaan awal. Penyidik pun membuka peluang adanya tersangka baru, mengingat kuatnya indikasi bahwa skema penjualan aset ini dilakukan secara berlapis dan terorganisir.

Menariknya, Kejati Sumut menyatakan bahwa langkah penyitaan dilakukan dengan tetap mempertimbangkan hak-hak konsumen yang beritikad baik. Hal ini penting karena sebagian aset yang dipersoalkan telah bertransformasi menjadi kawasan permukiman. Pendekatan ini menunjukkan upaya Kejati untuk tegas terhadap pelaku korupsi, tetapi tetap melindungi masyarakat umum yang dirugikan oleh tindakan korporasi dan pejabat nakal.

Kasus yang kembali mencuat ini membuka kembali peringatan tentang buruknya governance di BUMN perkebunan, terutama dalam pemanfaatan aset negara yang nilainya sangat besar. Penjualan atau alih fungsi aset PTPN kerap berada dalam ruang kelabu yang memadukan kepentingan bisnis, politik lokal, bahkan spekulasi tanah.

Penyitaan Rp150 miliar menjadi titik balik penting, namun publik masih menantikan apakah penegakan hukum akan menembus aktor-aktor di tingkat lebih tinggi. Dengan luas lahan, struktur perusahaan, dan keterlibatan pejabat publik, kasus ini berpotensi menjadi salah satu skandal pertanahan terbesar di Sumatera Utara.

Dalam perkembangan ini, Kejati Sumut menunjukkan bahwa negara sedang menutup kebocoran lama yang terlalu lama dibiarkan. Kini, semua mata tertuju pada babak penyidikan berikutnya—apakah penyitaan ini awal dari pembersihan menyeluruh, atau hanya sebagian kecil dari cerita korupsi yang lebih luas.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K