Kisah Cinta Bung Karno Yang Jarang Diketahui Publik

Kisah Cinta Bung Karno Yang Jarang Diketahui Publik
Foto: Presiden pertama Indonesia Soekarno saat bertemu Presiden Prancis Jenderal de Gaulle Di Istana Elysée, di Paris, Prancis, pada 21 Juni 1963

JAKARTA – Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang pemimpin karismatik dan pejuang kemerdekaan, tetapi juga sebagai sosok yang romantis dan penuh pesona. Di balik kehidupannya yang penuh perjuangan, Bung Karno memiliki kisah cinta yang kompleks dan menarik, beberapa di antaranya jarang diketahui publik. Berikut adalah kisah-kisah cinta yang mengungkap sisi lain dari sang proklamator:

1. Kisah cinta Bung Karno dengan putri Tjokroaminoto

Kisah cinta Bung Karno dengan Oetari Tjokroaminoto putri sulung Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, adalah bagian menarik dari kehidupan awal presiden pertama Indonesia. Hubungan ini berawal dari persahabatan Bung Karno dengan keluarga Tjokroaminoto, yang juga menjadi titik awal perjalanan intelektual dan politiknya.

Siti Utari

Pertemuan di Rumah Tjokroaminoto

Saat masih remaja, Sukarno tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya. Tjokroaminoto, seorang tokoh penting dalam pergerakan nasional, menjadi guru dan panutan Sukarno dalam memahami nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan. Di rumah inilah Sukarno berkenalan dengan Oetari, yang kala itu masih sangat muda.

Pernikahan Awal untuk Kebersamaan

Pada tahun 1921, Sukarno menikahi Oetari saat usianya baru 20 tahun, sementara Oetari masih 16 tahun. Pernikahan ini lebih bersifat simbolis, karena Sukarno ingin membantu Oetari yang kehilangan ibunya dan memberikan kenyamanan di tengah masa sulit keluarganya. Sebagai suami istri, hubungan mereka lebih menyerupai kakak dan adik, tanpa adanya romansa mendalam.

Pernikahan yang Tidak Berjalan Lama

Meskipun resmi menikah, pernikahan Sukarno dan Oetari tidak bertahan lama. Setelah Sukarno melanjutkan pendidikan ke Bandung untuk menuntut ilmu di Technische Hoogeschool (sekarang ITB), ia bertemu dengan Inggit Garnasih, seorang wanita yang kelak menjadi pendamping hidupnya. Sukarno pun memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya dengan Oetari secara baik-baik.

Hubungan yang Tetap Baik

Meskipun berpisah, hubungan antara Sukarno dan keluarga Tjokroaminoto tetap terjalin dengan baik. Sukarno tetap menghormati HOS Tjokroaminoto sebagai gurunya, yang memberikan pengaruh besar dalam pembentukan pemikiran dan jiwa kepemimpinannya. Oetari sendiri menjalani kehidupan sederhana setelah perpisahan tersebut dan tidak banyak muncul dalam panggung sejarah besar Indonesia.

Makna Pernikahan bagi Sukarno

Pernikahan Sukarno dengan Oetari sering dianggap sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang masih mencari jati diri. Pada masa itu, Sukarno lebih fokus pada pendidikan dan perjuangan politik dibandingkan membangun kehidupan rumah tangga yang stabil. Meski demikian, pengalaman ini membentuk pandangannya tentang hubungan dan pernikahan di kemudian hari.

Kisah cinta Bung Karno dan Oetari mencerminkan dimensi pribadi seorang Sukarno di awal perjalanan hidupnya. Bagi Sukarno, pernikahan ini lebih merupakan ungkapan tanggung jawab moral kepada keluarga Tjokroaminoto, yang telah banyak membantunya. Hubungan ini juga menjadi salah satu bukti bahwa perjuangan nasionalisme Sukarno dimulai dari lingkup rumah, sebelum akhirnya berkembang menjadi perjuangan besar bagi kemerdekaan Indonesia.

2. Hubungan dengan Inggit Garnasih: Cinta yang Berakhir Demi Cita-Cita

Inggit Garnasih adalah sosok penting dalam perjalanan hidup Bung Karno, terutama saat masa-masa sulit di pengasingan. Sebagai istri kedua Bung Karno, Inggit mendampingi perjuangannya di tengah keterbatasan.

Inggit Garnasih

Fatmawati

Sukarno yang sedang terisolasi di Bengkulu merasa dekat dengan Fatmawati, seorang wanita muda yang cerdas dan memiliki semangat juang. Keduanya segera saling jatuh cinta. Meskipun perbedaan usia yang cukup jauh dan kondisi politik yang penuh tekanan, hubungan mereka berkembang pesat.

Pernikahan dan Kehidupan di Tengah Perjuangan

Pada tahun 1943, Bung Karno menikahi Fatmawati di sebuah acara yang sederhana namun penuh makna. Pernikahan ini terjadi di tengah masa-masa sulit, dengan penjajahan Jepang yang masih berlangsung, serta ketidakpastian akan masa depan negara. Meskipun hidup dalam situasi yang serba terbatas, Fatmawati selalu mendukung suaminya dalam perjuangannya.

Fatmawati memberikan dukungan moral yang besar kepada Bung Karno, terutama selama masa-masa pengasingan dan perjuangan politik yang penuh tantangan. Selama pernikahan mereka, Fatmawati tidak hanya berperan sebagai istri, tetapi juga sebagai teman sejati yang menemani Bung Karno melewati banyak momen kritis dalam hidupnya.

Melahirkan Soekarno-Hatta dan Simbol Kemerdekaan

Pada tahun 1946, Fatmawati melahirkan anak pertama mereka, Guntur Soekarno Hatta, yang kelak menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia. Selain itu, Fatmawati juga memiliki tiga anak lainnya, yaitu Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, dan Sukmawati Soekarnoputri.

Fatmawati dikenal sebagai sosok ibu yang penuh kasih dan pengorbanan. Ia sangat dekat dengan anak-anaknya dan menjadi simbol kekuatan di balik layar Bung Karno. Yang paling terkenal dari Fatmawati adalah peranannya dalam menjahit Bendera Merah Putih yang dikibarkan saat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Fatmawati menunjukkan dedikasi luar biasa kepada negara, bahkan dengan cara yang sangat pribadi dan penuh simbolisme.

Tantangan dalam Kehidupan Rumah Tangga

Namun, meskipun pernikahan mereka didasari oleh cinta yang besar, kehidupan rumah tangga Bung Karno dan Fatmawati tidak selalu mulus. Sebagai seorang pemimpin besar, Bung Karno tidak hanya terfokus pada keluarganya, tetapi juga pada perjuangan politik dan kemerdekaan negara. Hal ini menyebabkan ketegangan dalam hubungan mereka, apalagi setelah Bung Karno menjalin hubungan dengan beberapa wanita lainnya.

Fatmawati sendiri sering merasa kesepian dan tertekan dengan situasi ini, namun ia tetap setia mendampingi Bung Karno selama masa-masa sulit. Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka semakin renggang, terutama setelah Bung Karno menikahi wanita-wanita lain.

Namun, kisah itu semua berakhir pada tahun 1953. Ketika itu Fatmawati cemburu melihat Sukarno dengan dengan wanita bernama Hartini. Dia yang sedang hamil besar menahan-nahan rasa cemburunya karena hendak melahirkan. Pikirnya, barangkali pikiran Sukarno bisa berubah setelah melihat kelahiran bayi.

Namun, hal yang paling ditakuti Fatmawati akhirnya terjadi. Dua hari setelah melahirkan bayi laki-laki bernama Guruh, tepat pada 15 Januari 1953, Sukarno malah meminta restu Fatmawati untuk menikahi Hartini. Tangis Fatmawati pun pecah. Dia yang tak mau dipoligami lebih memilih keluar dari Istana meninggalkan Sukarno selama-lamanya.

“Kemudian Bung Karno berdiri dan berlalu dari dalam ruangan tempatku berbaring. Dapatkah saudaraku sekalian bayangkan dengan perasaan halus, kuatkah perasaan seorang istri untuk mendengarkan permintaan seorang suami seperti yang tersebut di atas jika ia tidak dibantu oleh Allah Yang Maha Penyayang untuk tetap tabah untuk mendengar permintaan serupa itu?,” tutur Fatmawati dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno (2016).

Sejak itu, Fatmawati hidup seorang diri di rumah yang berada di Jakarta Selatan. Sedangkan Sukarno menjalani hidup baru bersama Hartini. Meski begitu, status Fatmawati sebagai ibu negara bukan berarti hilang begitu saja. Sebab kenyataannya, mereka tidak bercerai, tetapi hanya berpisah demi anak-anaknya. Atas dasar inilah, Fatmawati masih ikut serta dalam kegiatan negara apabila acara tersebut tidak dihadiri Sukarno.

Dari pernikahan Sukarno-Fatmawati, lahir 5 orang anak, yakni Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh.

4. Hubungan dengan Haryati: Kisah Singkat yang Menggetarkan

Haryati dan Bung Karno

Haryati adalah seorang penari yang memikat hati Bung Karno dengan keanggunan dan kelembutannya. Bung Karno menikahi Haryati pada tahun 1963. Namun, pernikahan ini tidak berlangsung lama karena adanya ketidaksesuaian dan tekanan dari lingkaran istana.
Haryati akhirnya memilih untuk mundur dari kehidupan Bung Karno, meskipun ia selalu menghormati sang proklamator.

5. Rahasia Hubungan dengan Yurike Sanger

Yurike Singer

Yurike Sanger adalah seorang wanita muda yang pernah menjadi istri Bung Karno di masa-masa akhir kekuasaannya. Yurike dikenal sebagai sosok yang perhatian dan penuh kasih terhadap Bung Karno, terutama saat Bung Karno mulai kehilangan dukungan politik.
Namun, perbedaan usia yang jauh membuat hubungan mereka sulit dipertahankan di tengah tekanan publik dan politik.

6. Cinta yang Bersemi dengan Hartini

Hartini

Hartini adalah wanita asal Salatiga yang memiliki peran besar dalam kehidupan Bung Karno. Mereka menikah pada tahun 1952, saat Bung Karno sudah menjadi presiden. Hartini dikenal sebagai istri yang sabar dan setia, meski sering harus menghadapi sorotan publik dan kehidupan istana yang penuh dinamika.

7. Hubungan dengan Ratna Sari Dewi: Cinta di Luar Negeri


Ratna Sari Dewi, wanita berdarah Jepang yang bernama asli Naoko Nemoto, adalah salah satu istri Bung Karno yang paling dikenal dunia internasional. Bung Karno bertemu Dewi saat ia masih muda, dan terpikat oleh kecantikan serta kecerdasannya.
Mereka menikah pada tahun 1962, dan Dewi menjadi sosok yang mendampingi Bung Karno di berbagai acara internasional, membawa citra elegan sebagai ibu negara.

Bung Karno dikenal sebagai pria yang memandang kecantikan sebagai seni, dan ia sering terinspirasi oleh wanita-wanita dalam hidupnya.

Namun, Bung Karno selalu menekankan bahwa cintanya kepada wanita tidak pernah mengalihkan perhatian dari cinta utamanya: rakyat Indonesia.

Kisah cinta Bung Karno adalah bagian dari sisi humanis seorang pemimpin besar. Di balik gelar “Bapak Proklamator,” ia adalah seorang pria dengan hati yang penuh cinta, yang tidak hanya didedikasikan untuk wanita-wanita dalam hidupnya, tetapi juga untuk bangsa dan negaranya. Meskipun penuh dinamika, kisah-kisah ini menunjukkan kompleksitas pribadi Bung Karno yang tidak banyak diketahui publik, menjadikannya lebih dari sekadar figur sejarah—tetapi juga seorang manusia yang memiliki cinta, harapan, dan perjuangan.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K