Mengupas Intrik di Balik Pertemuan Prabowo–Jokowi, Titipan Jaksa Agung, dan Arah Politik Kekuasaan
JAKARTA – Dalam episode terbaru Podcast Madilog produksi Forum Keadilan TV, mantan perwira intelijen negara Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra memaparkan analisis tajam terkait dinamika politik nasional pasca pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) pada 4 Oktober 2025.
Percakapan yang dipandu jurnalis senior Darmawan Sepriyossa itu membuka kotak pandora isu besar: dugaan bahwa Jokowi sedang berusaha mempertahankan kendali politik––khususnya atas Partai Golkar, mesin politik yang dalam beberapa bulan terakhir menjadi arena perebutan pengaruh paling panas.
Kejaksaan Bergerak, Jokowi Gelisah
Menurut Sri Radjasa, akar kegelisahan Jokowi bermula dari langkah agresif Kejaksaan Agung dalam membongkar kasus-kasus besar yang diduga melibatkan jejaring ekonomi-politik era kekuasaannya.
Serangkaian penyidikan yang menjerat tokoh-tokoh dekat lingkaran mantan presiden itu dinilai sebagai sinyal bahwa pemerintahan Prabowo ingin merapikan jejaring kepentingan yang selama ini dianggap terlalu kuat, terlalu berlapis, dan terlalu kebal.
Sri Radjasa membaca perubahan atmosfer politik ini secara tajam. Baginya, “ketegasan Kejaksaan” bukan hanya soal pemberantasan korupsi, melainkan pergeseran poros kekuasaan yang dapat memutus dominasi politik peninggalan Jokowi.
Di titik inilah, menurutnya, muncul kegelisahan: apakah jejaring lama akan tercerabut, ataukah dapat bertahan dengan menanamkan kembali orang-orang ke posisi strategis?
Salah satu posisi itu, kata Sri Radjasa, adalah Jaksa Agung.
Nama Titipan untuk Jaksa Agung
Dalam wawancara, Sri Radjasa mengungkap sebuah klaim yang memantik kontroversi: bahwa dalam pertemuan 4 Oktober tersebut, Jokowi diduga menitipkan satu nama kepada Prabowo untuk mengisi kursi Jaksa Agung.
Langkah ini, menurutnya, bukan sekadar urusan personal. Kursi Jaksa Agung adalah kunci. Dengan memegang kendali atas lembaga penegakan hukum, arah penyidikan dapat dikawal, dikunci, atau diperlambat.
Meski tidak membeberkan nama tersebut secara gamblang, Sri Radjasa menegaskan bahwa titipan itu menunjukkan betapa pentingnya bagi Jokowi untuk menjaga ruang pengaruh, khususnya ketika Kejaksaan mulai menyentuh simpul-simpul ekonomi-politik yang terkait dengan masa pemerintahannya.
Prabowo Tak Merespons seperti yang Diinginkan
Yang menarik, menurut Sri Radjasa, Prabowo tak menanggapi titipan itu dengan cara yang diharapkan Jokowi.
Presiden Prabowo dinilai memiliki kalkulasinya sendiri, terutama dalam mempertahankan kemandirian penegakan hukum dan mencegah intervensi politik yang dapat mengganggu stabilitas pemerintahannya yang baru.
Sri Radjasa menyebut bahwa respons dingin Prabowo itu bisa terbaca sebagai sinyal: pemerintahan baru tidak ingin berjalan dengan “bayang-bayang lama”.
Bagi Sri Radjasa, sikap Prabowo justru menunjukkan komitmen untuk tidak membiarkan institusi negara dijadikan alat menjaga kepentingan politik tertentu.
Goyangnya Golkar: Ambisi Besar yang Tak Kunjung Padam
Dalam percakapan itu, Sri Radjasa juga menautkan kegelisahan Jokowi dengan dinamika Partai Golkar.
Golkar, menurutnya, adalah simbol dan mesin kekuasaan yang amat strategis––berisi kekuatan jaringan daerah, pengusaha, dan kader birokrasi. Memiliki Golkar berarti memiliki infrastruktur politik yang siap tempur.
Sri Radjasa menduga, rangkaian manuver Jokowi belakangan––termasuk masuknya orang-orang dekatnya ke lingkar elite Golkar––menunjukkan bahwa mantan presiden itu ingin tetap memiliki pegangan kuat atas partai tersebut.
“Hasrat menguasai Golkar itu nyata,” begitu kira-kira atmosfer analisis Sri Radjasa. Ia membaca bahwa kendali atas Golkar akan menjadi bekal bagi Jokowi untuk mempertahankan daya tawar dan pengaruh politik jangka panjang, bahkan setelah tidak lagi duduk di pucuk kekuasaan.
Pertarungan Pengaruh: Masa Lalu vs Masa Kini
Wawancara tersebut pada dasarnya memotret momen krusial dalam politik Indonesia: pertarungan pengaruh antara jejaring kekuasaan lama dan arah kepemimpinan baru.
Sri Radjasa menyajikan analisanya sebagai potret dari apa yang ia lihat sebagai dinamika laten: Jokowi ingin mempertahankan pengaruh. Prabowo membangun kemandiriannya sendiri.
Institusi negara – Kejaksaan – dan Partai Golkar menjadi medan tarik-menarik.
Meski sebagian besar disampaikan dalam bentuk analisis, bukan bukti hukum, pembacaan Sri Radjasa memberi perspektif penting tentang bagaimana politik kekuasaan bekerja di balik layar.
Podcast ini bukan sekadar diskusi, melainkan penyelaman ke ruang-ruang gelap politik kekuasaan: bagaimana mantan presiden menjaga sisa kekuatannya, bagaimana presiden baru membatasi intervensi, dan bagaimana institusi negara menjadi medan konflik kepentingan.
Seperti disampaikan Sri Radjasa, pertarungan ini bukan soal individu semata––tetapi soal siapa yang mengendalikan lembaga negara, arah penegakan hukum, dan masa depan politik Indonesia.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Jokowi, Oh Jokowi

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (2): Menumpas PKI dan Menghindarkan Indonesia dari Negara Komunis

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Rusia mengatakan resolusi PBB tentang Gaza bertentangan dengan keputusan internasional tentang Negara Palestina

Fondasi Hubungan Antara Manusia dalam Perspektif Islam

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%

Ijazah Ada–Tidak Ada: Realisme Magis di Republik Arsip yang Menguap

Habib Umar Alhamid: Pernak Pernik Permasalahan Setahun Pemerintahan Prabowo

SKK Migas-HCML Kembali Gelar Festival Pesisir, Bupati Sumenep: Momentum Tepat Gairahkan Ekonomi dan Pariwisata



No Responses