Oleh: Budi Puryanto
Pemimpin Redaksi
Dalam peta perjalanan bangsa menuju kemandirian ekonomi, ada satu kata kunci yang terus bergema dari ruang-ruang kementerian hingga pabrik-pabrik di kawasan industri strategis: hilirisasi. Namun kali ini, bukan hilirisasi biasa. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengusung konsep yang lebih segar, lebih futuristik, dan—yang paling penting—lebih berkelanjutan: Hilirisasi Hijau.
Konsep ini bukan sekadar frasa tren. Di baliknya ada sebuah visi berani: menjadikan Indonesia bukan hanya pengolah sumber daya alam, tetapi produsen global produk bernilai tambah yang sekaligus memenuhi standar lingkungan internasional. Visi yang, jika berhasil, bukan hanya akan mengangkat posisi Indonesia di panggung ekspor dunia, tetapi juga menciptakan era baru industri yang tidak lagi menukar kekayaan alam dengan kerusakan lingkungan.
Bukan Sekadar Investasi, Tapi Transformasi
Dalam konferensi pers pada 10 Juni 2025, Bahlil menyampaikan dengan tegas: “Kita tidak lagi ingin menjadi eksportir tanah dan batu. Kita ingin jadi produsen kelas dunia, tapi dengan cara yang benar. Ramah lingkungan. Ramah masa depan.”
Pernyataan itu bukan basa-basi. Pemerintah telah menyusun peta jalan untuk menyaring seluruh izin baru tambang dan smelter. Tidak cukup hanya punya modal besar. Tidak cukup sekadar menjanjikan lapangan kerja. Kini, perusahaan juga wajib menunjukkan:
Studi kelayakan (Feasibility Study/FS) yang solid. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang detail dan valid. Rencana praktik tambang berkelanjutan pasca-eksploitasi.
Langkah ini menjadi semacam “karantina ideologi industri”—menyaring mana yang benar-benar visioner dan mana yang sekadar mengejar cuan jangka pendek.
Dari “Kutukan Sumber Daya” Menuju “Berkah Hijau”
Sudah terlalu lama Indonesia terjebak dalam apa yang disebut banyak ekonom sebagai resource curse—negara kaya sumber daya, tapi miskin nilai tambah. Batu bara, nikel, timah, bahkan bauksit, diekspor dalam bentuk mentah, hanya untuk dibeli kembali dalam bentuk produk mahal dari luar negeri.
Bahlil menyadari ironi ini. Itulah sebabnya, hilirisasi hijau dirancang bukan hanya sebagai strategi industri, tapi paradigma baru dalam pembangunan nasional.
“Hilirisasi bukan sekadar membangun smelter,” tegasnya. “Tapi memastikan bahwa seluruh rantai produksi memberi manfaat bagi lingkungan dan rakyat sekitar. Kita ingin tambang hadir sebagai berkah, bukan kutukan.”
Ekspor Masa Depan: Bersertifikat Hijau
Pasar global hari ini sudah berubah. Negara-negara maju kini lebih selektif dalam menerima produk impor. Bukan hanya soal harga dan kualitas, tetapi juga jejak karbon, etika produksi, dan keberlanjutan ekosistem.
Uni Eropa, misalnya, menerapkan kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang mewajibkan negara pengimpor menunjukkan bukti rendahnya emisi karbon dari proses produksi. Tanpa ini, produk akan dikenakan pajak tambahan.
Menyadari hal itu, hilirisasi hijau menjadi jawaban strategis. Indonesia tak lagi bersaing sebagai produsen murah, tapi sebagai produsen hijau dan bermartabat. Produk-produk hasil smelter berbasis energi baru-terbarukan, misalnya, akan mendapatkan kepercayaan lebih besar dari pasar global—mulai dari bahan baku baterai EV (electric vehicle) hingga baja rendah emisi.
Revolusi dari Hulu ke Hilir
Implementasi hilirisasi hijau melibatkan transformasi dari hulu ke hilir:
Di hulu, tambang-tambang diwajibkan menanamkan teknologi rendah emisi, sistem daur ulang air, dan reklamasi pasca-tambang.
Di hilir, kawasan industri dikembangkan dengan prinsip circular economy, integrasi energi terbarukan, serta pengelolaan limbah yang ramah lingkungan.
Bahlil juga menegaskan pentingnya inovasi lokal. Anak-anak muda Indonesia, startup teknologi, dan kampus-kampus teknik kini dilibatkan dalam mendesain solusi hijau: dari filter udara berbasis mikroalga hingga sistem sensor tanah untuk deteksi dini pencemaran tambang.
Bahlil dan Diplomasi Hijau
Menariknya, hilirisasi hijau tidak hanya berhenti di dalam negeri. Bahlil juga membawa misi ini ke forum-forum internasional. Dalam kunjungannya ke Abu Dhabi dan Brasil, ia menandatangani nota kesepahaman soal teknologi bioenergi dan kerja sama rendah karbon.
“Kalau dunia bicara net-zero emission, kita jawab dengan produk yang zero excuse,” kata Bahlil saat forum energi transisi di Davos, awal tahun ini.
Dengan gaya diplomasi khasnya yang lugas namun strategis, Bahlil mengajak investor global untuk bergabung dalam “poros hijau Indonesia”—suatu ekosistem investasi yang menjanjikan profit, sekaligus menjaga planet.
Menuju Babak Baru Ekonomi Hijau
Hilirisasi hijau mungkin belum sempurna. Tantangan ada di depan mata: infrastruktur, kesiapan SDM, hingga pengawasan pelaksanaan. Namun, satu hal pasti: arah Indonesia telah bergeser. Tidak lagi menjadi sekadar “ladang tambang”, tapi laboratorium hijau masa depan.
Jika dilakukan dengan konsisten, konsep ini akan menjadi warisan penting. Indonesia tak lagi menjual masa depannya, melainkan mencetak masa depan untuk dijual—ramah lingkungan, bernilai tinggi, dan membanggakan.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%

Novel “Imperium Tiga Samudra” (13) – Perang Senyap Mata Uang

Mencermati Komisi Reformasi Polri

Cinta, Kuasa, dan Kejatuhan: Kisah Gelap Yang Menyapu Ponorogo

Novel “Imperium Tiga Samudra” (12) – Meja Baru Asia

Panja DPR Ambil Alih Komando Reformasi Penegak Hukum

Kedaulatan Kompor – Martabat Negara: Orkestrasi Bauran Energi Dapur Rakyat: LPG, DME, Jargas & CNGR



No Responses