Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi, Wakil Ketua ICMI Jatim
Bergulirnya isu pemakzulan wapres Gibran Rakabuming yang dilakukan oleh para purnawirawan TNI dan Polri, mendapatkan angin segar dari kalangan ulama dan tokoh masyarakat yang baru saja mengadakan pertemuan di Surabaya, 5 Juli 2025. Pemakzulan itu dilandasi oleh kecemasan akan semakin rusaknya Ibu Pertiwi, karena pengalaman rezim ayah Gibran, Jokowi yang memporak porandakan tatanan demokrasi dan pelanggaran undang undang demi ambisi politiknya dan oligarki. Gibran dianggap sebagai produk haram konstitusi hingga menduduki kursi wapres.
Tanggal 5 Juli 1959 tercatat sebagai salah satu momentum konstitusional paling penting dalam sejarah Republik Indonesia. Melalui sebuah keputusan tegas, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk membubarkan Konstituante yang gagal menyusun UUD baru dan menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Langkah itu bukan tindakan otoriter, tetapi sebuah penyelamatan konstitusional terhadap arah negara yang mulai menyimpang dari cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sebelumnya, Indonesia telah memasuki fase yang penuh ketegangan konstitusional. Republik Indonesia Serikat (RIS) yang lahir dari hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, telah menggantikan bentuk negara kesatuan yang disepakati sejak Proklamasi. Setelahnya, berlaku pula UUD Sementara 1950, yang berwatak liberal dan parlementer. Sistem ini melahirkan ketidakstabilan politik yang akut. Pemerintahan jatuh bangun, partai-partai saling berebut kekuasaan, dan bangsa kehilangan arah ideologisnya.
Melalui Dekrit 5 Juli 1959, Presiden Soekarno memulihkan arah negara dengan mengembalikan dasar konstitusional sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa. Dekrit tersebut adalah koreksi konstitusional terhadap praktik bernegara yang melenceng dari nilai-nilai Pancasila dan semangat Proklamasi.
Namun, sejarah seperti berulang. Pasca reformasi 1998, dilakukan empat kali amandemen terhadap UUD 1945 yang berpuncak pada tahun 2002. Meskipun niat awalnya adalah memperkuat demokrasi dan mengatasi kekuasaan yang terpusat, amandemen ini justru melahirkan liberalisasi politik dan ekonomi yang berlebihan, serta membuka ruang luas bagi dominasi oligarki.
UUD 1945 hasil amandemen telah mengubah struktur dasar ketatanegaraan Indonesia:
Presiden dipilih langsung dalam sistem yang bercampur antara presidensial dan parlementer.
Badan perencana pembangunan jangka panjang (GBHN) dihapus, membuat arah pembangunan lebih tergantung pada siklus elektoral lima tahunan.
Peran negara dalam mengatur sektor ekonomi rakyat melemah, digantikan oleh logika pasar bebas.
Otonomi daerah meluas tanpa kontrol ideologis yang utuh, menghasilkan ketimpangan dan korupsi daerah.
Konstitusi hasil amandemen tidak lagi mencerminkan sistem gotong royong, musyawarah mufakat, dan ekonomi kerakyatan seperti yang dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 1945. Kini, bangsa ini berada di persimpangan jalan. Kesenjangan ekonomi melebar, elite politik terkooptasi oleh modal, dan negara kehilangan arah ideologis yang jelas. Sementara itu, rakyat semakin jauh dari pusat pengambilan keputusan dan semakin sulit mengakses keadilan sosial.
Dalam situasi seperti ini, muncul urgensi untuk mengembalikan semangat asli Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan cara yang sah dan konstitusional. Sebagaimana Presiden Soekarno mengambil tindakan pada 1959, kini bangsa Indonesia membutuhkan dekrit moral dan konstitusional kedua—sebuah gerakan nasional untuk meninjau ulang UUD hasil amandemen, dan memulihkan kembali berlakunya UUD 1945 asli secara murni dan konsekuen.
Pengembalian UUD 1945 asli tidak berarti menolak perbaikan. Justru sebaliknya, UUD 1945 dapat diperkuat melalui penjabaran dalam peraturan organik dan praktik lembaga negara yang demokratis dan transparan. Namun, substansi dan roh-nya harus tetap berakar pada Pancasila, semangat kebangsaan, dan sistem kerakyatan yang membumi.
Bangsa ini tidak bisa terus tersandera oleh sistem politik yang mahal, transaksional, dan dikuasai segelintir elite. Kita tidak bisa terus membiarkan kekayaan alam negeri ini dikuasai korporasi asing sementara rakyatnya tertindas. Sudah saatnya kita bertanya dengan jujur: Apakah negara ini masih tegak di atas Proklamasi 17 Agustus 1945, atau telah menyimpang jauh dari cita-cita kemerdekaan?
Maka, seruan ini bukan sekadar romantisme sejarah. Ini adalah panggilan kebangsaan. Saatnya kita kembalikan Negara Proklamasi ke relnya. Saatnya kita pulihkan UUD 1945 asli sebagai fondasi bernegara. Dan bila perlu, lahirlah Dekrit Presiden Kedua, sebagai koreksi sejarah yang berlandaskan kehendak rakyat dan amanah konstitusi.
Surabaya, 6 Juli 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Sikap Arogan Ketua Tim Reformasi Polri Justru Tak Hendak Mendengarkan Suara Rakyar

Sutoyo Abadi: Memusingkan

Tantangan Transformasi Prabowo

Kementerian PKP Tertinggi Prestasi Penyerapan Anggaran dari Seluruh Mitra Komisi V

Kejati Sumut Sita Rp150 Miliar dari Kasus Korupsi Penjualan Aset PTPN I: Babak Baru Pengungkapan Skandal Pertanahan 8.077 Hektare

Dipimpin Pramono Anung Jakarta Makin Aman dan Nyaman, Ketua Umum APKLI-P: Grand Opening WARKOBI Januari 2026 Diresmikan Gubernur DKI

Refly Harun Dan RRT Walkout saat Audiensi Dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri

Subuh, Kolaborasi, Kepedulian, dan Keberkahan

Dukung Revisi PP 50/2022, Ketua Umum APKLI-P: Praktek Tax Planing PPH 0,5% UMKM Puluhan Tahun Dibiarkan

LPG, LNG, CNG dan Kompor Induksi, Solusi Emak Emak Swasembada Energi Di Dapur



No Responses