Oleh: Alamsyah Saragih
Perdebatan di Mahkamah Konstitusi mengenai dampak elektoral bansos mendominasi pemberitaan beberapa waktu lalu. Masing-masing pihak mendatangkan ahli. Ahli yang dihadirkan oleh pemohon menyampaikan bahwa bansos mempengaruhi perolehan suara, sementara pihak terkait yang ditetapkan KPU sebagai pemenang mendatangkan ahli untuk membantahnya.
Saya ingin menyoroti pandangan tiga ahli yang kebetulan semuanya anak bangsa kelahiran Tanah Minang, yakni Vid Adrison, Hamdi Muluk, dan Hasan Nasbi. Kebetulan yang lain adalah ketiganya merupakan alumni Universitas Indonesia.
Saya hanya akan sepintas menyoroti pendapat M Qodari, karena kesulitan memahmi argumennya sebagai seorang polster profesional yang sehari-hari bergelut dengan analisis kuantitatif. Hal lain, saya tak mendapatkan kejelasan posisinya dalam kontestasi politik yang sarat dengan kepentingan publik, apapun alasannya.
Vid Adrison
Vid Adrison adalah pengajar di FEB UI yang aktif menulis di jurnal internasional. Sebetulnya ia bukan sosok yang suka tampil di publik. Sebagai ahli yang dihadirkan oleh pemohon bahkan ia tak bersedia dibayar.
Dalam satu podcast, saya harus menjadi saksi disclaimer yang unik dengan pemilik kanal sebelum memulai. Ia menyatakan bersedia hadir bukan untuk membela salah satu kontestan, melainkan semata-mata menyampaikan pendapat akademisnya. Oleh karenanya ia menolak diberi imbalan.
Di perbincangan santai Vid menyampaikan sesuatu yang membuat saya tertawa: “sejak sekolah saya tak pernah belajar khusus dan kebetulan selalu lulus, begitu juga ketika kuliah. Kebiasaan buruk itu berlanjut hingga saya mengambil master. Saya terkena batunya ketika mengambil PhD, bang. Beruntunglah saya mengambil PhD, karena saya terpaksa harus belajar dengan sungguh-sungguh”.
Mari kita mulai. Sebagai ekonom, Vid menggunakan pedang analisis statistik inferensial yang dikenal sebagai ekonometrika. Alat ini biasa digunakan untuk menguji hipotesis yang dibangun atas suatu teori untuk kemudian dilakukan prediksi.
Namun, seperti alat statistik lainnya, diperlukan disiplin yang kuat agar terhindar dari menyimpulkan hubungan sebab akibat hanya berdasarkan korelasi statistik.
Ia mengawali analisis setelah terlebih dahulu menangkap gejala awal melalui data porsi anggaran perlindungan sosial terhadap APBN yang dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di Indonesia yang terus menurun.
Ia menemukan gejala periodik. Setiap satu tahun menjelang pemilu Pemerintah meningkatkan proporsi anggaran perlindungan sosial sejak 2008 hingga 2023. Gejala periodik ini mendorongnya untuk mulai mendalami.
Vid menggunakan teori masyarakat myopic untuk basis argumen sebab akibatnya. Myopic dalam dunia kesehatan dikenal sebagai rabun jauh, yang kemudian digunakan oleh ilmu sosial hingga finansial untuk menganalogikan perilaku pengambilan keputusan.
Dalam masyarakat myopic keputusan cenderung didasarkan atas kebutuhan yg lebih dekat manfaatnya ketimbang manfaat yang lebih jauh. Di masyarakat myopic kebaikan terakhir yang ia terima dari seseorang dapat menghapus kesan tak baik yang ia rasakan di masa lalu. Begitu pula sebaliknya.
Vid menjelaskan bahwa masyarakat miskin secara alamiah memiliki karakter myopic, sehingga pemberian bansos, apa lagi disertai personalisasi, akan mempengaruhi keputusan mereka dalam menentukan pilihan politik.
Bagi masyarakat yang berpendidikan dan berpenghasilan lebih tinggi hal tersebut tak berlaku. Singkat kata, dua ratus ribu rupiah lebih berharga bagi masyarakat miskin dibandingkan mereka yang kaya.
Argumen teoritis inilah yang kemudian ia uji dengan menggunkaan ekonometrika. Layaknya kebanyakan ekonom, Vid berpegang bahwa pengujian melalui statistik tanpa basis teori akan berisiko menghasilkan logical fallacy dalam kesimpulan, alias sesat pikir.
Pada suatu kesempatan ia memberikan analogi bahwa jika dilakukan statistik lingkar perut kepala daerah dengan pertumbuhan ekonomi di daerah, boleh jadi akan terlihat di daerah-daerah yang pertumbuhannya tinggi kepala daerahnya memiliki lingkar perut besar. Namun menyimpulkan bahwa agar daerah bisa mencapai pertumbuhan tinggi maka rakyat sebaiknya memilih kepala daerah dengan lingkar perut besar adalah suatu sesat pikir.
Mari kembali ke masalah pengaruh bansos terhadap keterpilihan. Intinya, Vid menemukan bahwa ‘bansos targeted’ atau yang menyasar individu dengan kriteria tertentu memiliki pengaruh kuat terhadap terpilihnya petahana, apa lagi jika secara khusus disertai personalisasi.
Vid mendefinisikan petahana sebagai kandidat yang sedang berkuasa atau kandidat terafiliasi yang mendapatkan dukungan dari pihak berkuasa.
Selain itu, Vid juga menakar pengaruh keterpilihan figur petahana pada pemilihan satu periode sebelumnya terhadap keterpilihan kandidat terafiliasi yang sedang mengikuti kontestasi.
Ia lagi-lagi menemukan pengaruh kuat yang kemudian disebut sebagai Jokowi Effect terhadap keterpilihan Parbowo-Gibran. Vid juga menampilkan data kunjungan Jokowi yang hampir separuh dilakukan di Jawa Tengah menjelang hari pemilihan.
Argumen Vid membikin gusar pihak yang tak setuju ketika ia memaparkan bahwa tanpa efek jokowi plus bansos pasangan Prabowo-Gibran diperkirakan hanya meraih 42,38% suara. Angka ini kebetulan mendekati angka survei Charta Politika mengenai keterpilihan Parbowo-Gibran pada tanggal 4-11 Januari 2024, yakni 42,20%.
Hamdi Muluk
Hamdi lebih dikenal publik sebagai seorang psikolog. Dalam beberapa hal kerap juga dikenal sebagai ahli psikologi politik. Terkadang juga diwawancarai media mengenai psikologi forensik.
Di kesempatan lain ia terlibat sebagai anggota panitia seleksi calon pejabat lembaga negara. Hamdi terlibat kontroversi di ruang publik ketika Novel Baswedan dan kawan-kawan tersingkir dari KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan.
Saya bukan psikolog yang bisa memahami bahasa tubuh, sehingga hanya bisa bertanya di dalam hati ketika melihat beberapa kali Hamdi harus mengusap-usap kedua telapak tangannya sebelum menyampaikan suatu pendapat di persidangan di MK yang lalu.
Berbeda dengan Vid, Hamdi menggunakan apa yang ia sebut sebagai ‘meta analysis’ sebagai pedang analisis akademiknya. Alasan memilih metode ini karena tak cukup waktu untuk melakukan kajian empirik.
Langkah awal adalah melakukan identifikasi literatur 10 tahun terakhir melalui internet. Ia menemukan 1.815 literatur yang relevan. Dilakukan sortir untuk menghindari duplikasi hingga tersisa 734 studi. Sortir dilanjutkan hingga tersisa 10 studi yang paling kuat menggambarkan fenomena. Hasilnya dari analisis kuantitatif yang ada ditemukan bahwa rata-rata bantuan sosial berpengaruh terhadap 29% keterpilihan.
Saya merasa ada kekeliruan dalam memaknai angka korelasi dalam statistik. Benar saja, hari berikutnya Hasan Nasbi menyerang kesimpulan Hamdi. Menurutnya korelasi tak bisa digunakan untuk menyimpulkan pengaruh. Pengaruh harus dilihat dari koefisien regresi.
Hasan menggunakan analogi ketika ia dan Yusril bersama dalam satu kereta. Berarti ia berhubungan dengan Yusril. Tapi ketika ia turun di Cirebon sementara Yusril turun di Surabaya tak bisa disimpulkan bahwa ada pengaruh Yusril sehingga dirinya turun di Cirebon.
Kelemahan lain menurut saya terjadi karena metode tersebut tak bisa digunakan serta-merta. Statistik sosial ekonomi bukanlah ilmu alam, sebagaimana dijelaskan oleh Vid dalam paparan sehari sebelumnya. Fenomena di satu tempat tak bisa serta merta dinyatakan nicaya akan berlaku di tempat lain.
Hasan Nasbi
Sebagaimana Hamdi Muluk, saya tak pernah mengenal langsung Hasan Nasbi. Di media sosial yang pernah saya saksikan, Hasan Nasbi secara jujur menyatakan dirinya merupakan bagian dari pemenangan Prabowo-Gibran.
Ia kalah bertaruh ketika menyatakan Anies Baswedan akan gagal mendaftar sebagai capres dalam kontestasi di 2024 ini. Meski bagi kebanyakan orang bertaruh dipandang hina karena menggadaikan rasionalitas, Hasan selalu berusaha menyampaikan argumennya serasional mungkin.
Entah mengapa founder lembaga polster Cyrus Network dan penulis buku tentang konsepsi negara oleh Tan Malaka ini memiliki sinisme tertentu terhadap Anies Baswedan. Dalam pandangannya Anies adalah figur yang mengandalkan politik identitas.
Sikap sinis ini membuat saya tertawa ketika di persidangan MK ia masih sempat menyindir agar Anies sebaiknya protes kepada Ganjar yang paling besar peningkatan elektabilitasnya di kalangan penerima bansos berdasarkan exit poll Litbang Kompas.
Hasan Nasbi membantah ada pengaruh bansos terhadap keterpilihan kandidat yang diasosiasikan sebagai pemberi. Merujuk kepada delapan belas tahun pengalamannya sebagai polster, bansos tak memiliki pengaruh. Keberhasilan kandidat dalam melakukan kampanyelah yang berpengaruh.
Sebagai polster Hasan kemudian menggunakan survei exit poll Litbang Kompas untuk menjelaskan argumennya. Salah satu pertimbangan adalah demi menjaga objektivitas. Meski ia mengaku melakukan survei yang sama tapi tak ia gunakan karena terlibat dalam pemenangan Prabowo-Gibran.
Hasan kemudian mengeksploitasi hasil survei Litbang Kompas. Ia menampilkan diagram yang telah dipublikasikan oleh Kompas. Tampak dalam diagram itu porsi pemilih masing-masing paslon yang mengaku menerima bansos dan tidak menerima bansos. Sebagian sisanya merahasiakan atau tak menjawab apakah menerima atau tidak.
Untuk yang menerima bansos dirinci lagi antara yang mengaku diberi tahu bahwa bansos dari pemerintah (20,9%) dan bansos dari jokowi (3,8%). Total mencapai 24,7% atau berpotensi mencapai 41 juta suara sah atau 51 juta pemilih berdasarkan DPT.
Dalam eksploitasi data Litbang Kompas, Hasan melakukan tabulasi silang ulang untuk mendapatkan persentase keterpilihan masing-masing paslon di kalangan penerima bansos dan bukan penerima bansos.
Ia menggunkaan porsi keterpilihan melalui data hasil penetapan KPU untuk merealokasi data. Alasannya Kompas tak memberikan data hasil exit poll terkait keterpilihan masing-masing paslon. Agak aneh sebetulnya, karena saya malah mendapatkannya dari publikasi Kompas.
Karena itu ia membuang angka responden yang tak menjawab pilihan. Mengingat ada 9,1% responden yang tak memberikan jawaban, membuang data mereka sebetulnya akan menurunkan tingkat kepercayaan terhadap hasil exit poll. Karena jumlah sampel berkurang.
Ia kemudian menyimpulkan tak ada perbedaan persentase yang berarti pada porsi keterpilihan Prabowo-Gibran di kalangan penerima bansos maupun non penerima bansos.
Meluruskan yang bengkok?
Saya mencoba melakukan hal yang sama seperti dilakukan Hasan dengan data yang dipublikasikan oleh kompas tapi tanpa membuang data responden yang tak memberikan jawaban.
Tentu hasilnya ada perbedaan angka, namun saya memperoleh apa yang saya sebut sebagai ‘kesan’ yang sama. Namun kesan tak layak digunakan untuk menarik kesimpulan. Paling tinggi kesan hanya berkontribusi pada apa yang disebut sebagai gejala, untuk kemudian dilakukan pengujian lebih lanjut dengan metode yang tepat.
Lebih dalam, observasi terhadap data exit poll Litbang Kompas saya batasi di kalangan penerima bansos saja. Perbedaan kesan yang cukup berarti terjadi di kalangan yang diberi tahu bahwa bansos dari Jokowi alias ada personalisasi.
Hal tersebut tampak ketika Anies-Muhaimin lebih rendah menjadi 13,4% dibandingkan tanpa personalisiasi 18,8%. Begitu pula Ganjar-Mahfud menjadi 16,7% dibandingkan tanpa personalisiasi 18,7%. Sebaliknya Prabowo Gibran menjadi lebih tinggi, yakni 64,4% dibandingkan tanpa personalisiasi 56,2%.
Meski ada kesan pengaruh yang kuat, saya tak boleh menyimpulkan bahwa personalisasi Jokowi dalam bansos berdampak signifikan terhadap keterpilihan kandidat yang didukung. Apa lagi jika membandingkannya dengan kalangan yang tak menerima bansos.
Hal ini karena metode exit poll yang digunakan polster hanya boleh disimpulkan ada pengaruh atau tidak jika responden dari kalangan penerima bansos memang ditanyakan secara eksplisit apakah ia memilih kandidat terafiliasi karena mendapatkan bansos.
Meski upaya menanyakan dilakukan, bukanlah hal yang gampang mendapatkan jawaban yang jujur. Bagaimanapun untuk mengakui memilih kandidat karena diberikan bansos akan menyebabkan responden menghadapi dilema moralitas.
Dapat disimpulkan bantahan Hasan telah patah bukan karena secara sah tak terbukti, tapi karena tak konsisten dalam menggunakan instrumen analisis data. Dalam tradisi opini, analisis Hasan saya nyatakan berstatus disclaimer.
Hasan lantas menggunakan pengalamannya di pilgub DKI sebagai ilustrasi untuk membantah bahwa bansos berpengaruh terhadap keterpilihan kandidat. Ia menjelaskan bahwa jika hal itu benar maka Jokowi tak akan menang melawan Foke dan Anies tak akan menang melawan Ahok.
Apakah Hasan ingin mengatakan Foke dan Ahok menebar bansos untuk pemenangan? Tak ada data yang ia tampilkan. Mendebat ini akan sia-sia karena membawa kita pada situasi debat apologetik, alias debat kusir.
Saya juga tak bisa menyandingkan argumennya dengan argumen Vid, karena kasus parsial yang ia kemukakan tersebut dalam pendekatan cross section yang digunakan Vid hanyalah sesuatu yang anecdotal. Tak bisa digunakan untuk menyangkal pengujian menyeluruh yang dilakukan dengan ststistik inferensial atau ekonometrika. Hal ini sudah dijelaskan dengan baik oleh Vid ketika ia ditanya mengapa di Sumbar dan Aceh pemenang berbeda meski ada bansos.
Podcast Total Politik mengundang Hasan Nasbi pasca persidangan dengan tema meluruskan yang bengkok tentang bansos di sidang MK. Saya bertanya dalam hati, bagaimana mungkin yang patah meluruskan yang bengkok?
‘Lawakan kuantitatif’ terjadi ketika M Qodari membantah ada dampak bansos terhadap keterpilihan Prabowo-Gibran dengan memaparkan hasil surveinya. Ia menggunakan metode pertanyaan dengan pilihan jawaban tunggal disertai pertanyaan terbuka.
Bagaimana bisa menyimpulkan demikian jika tak ada pertanyaan spesifik tentang bansos? Apa lagi dalam alasan memilih orang tak bisa dipaksa untuk menjawab satu pertimbangan semata. Umumnya satu pemilih memiliki lebih dari satu alasan atau pertimbangan.
Begitu pula ketika Hasan Nasbi menguji keterkaitan tingkat kepuasan terhadap Jokowi dengan hasil survei elektabilitas Prabowo untuk membuktikan tak ada pengaruh jokowi. Jika konsisten dengan metode seharusnya ia menggunakan hasil exit poll Kompas, bukan analisis korelasi data hasil survei Indikator politik dengan pendekatan time series.
Dalam pemberitaan kompas.com, untuk mengetahui pertimbangan dalam memilih, exit poll Litbang Kompas tampaknya mengajukan pilihan berganda kepada responden mengenai apa saja alasan yang digunakan oleh seorang responden dalam memilih kandidat. Memang tak ada pemberian bansos sebagai salah satu pilihan.
Hasilnya, dari beberapa pilihan pertimbangan, faktor dukungan Jokowi dipilih oleh 99% responden dalam memilih pasangan Prabowo-Gibran. Sementara urutan berikutnya adalah alasan berani dan tegas tanpa disebut dipilih oleh lebih berapa persen responden. Litbang Kompas cukup konsisten dalam menggunkan metode.
*
Polemik politisasi bansos sesungguhnya sesuatu yang klasik. Hal serupa telah terjadi satu setengah abad lalu di Jerman. Kanselir bertangan besi Otto Von Bismarck yang mewakili Partai Konservatif awalnya mendapatkan perlawanan justru dari Partai Sosialis Demokrat ketika bermaksud menerapkan belanja pengaman sosial bagi warga.
Ahli sejarah, Jonathan Steinberg, dalam bukunya Bismarck A Life (2011), berpendapat bahwa perlawanan tersebut terjadi karena Bismarck bukan bersungguh-sungguh menerapakan apa yang disebut sebagai negara kesejahteraan, melainkan untuk merontokkan dukungan warga kepada Partai Sosialis Demokrat. Meski akhirnya mulai tak efektif dan pada 1912 Partai Sosial Demokrat berhasil mendominasi parlemen.
Terlepas dari semua polemik, tulisan ini saya buat tanpa ada maksud merendahkan para ahli yang saya sebut namanya, apa lagi merasa paling benar. Saya jauh dari terpelajar jika dibandingkan mereka. Apa yang saya lakukan semata-mata atas harapan ada perbaikan ke depan.
Bagaimanapun MK adalah last resort bagi para pencari keadilan ketika Pilpres dirasakan berlangsung secara tidak fair. Semoga majelis tak mengakomodir pendapat yang tak kredibel dalam menyusun pertimbangan. Mari kita serahkan penilaian kepada para hakim konstitusi.
Malam kian larut, udara dingin di beranda dibauri riuh rendah suara takbir anak-anak di masjid sebelah rumah. Tentu menggangu tidur, tapi karena mereka pulalah saya bisa menulis panjang.
Di lini masa medsos seorang netizen menayangkan kutipan dari proklamator Mohammad Hatta, putra minang yang sangat saya hormati, “kurang cerdas bisa diperbaiki, namun tidak jujur sulit diperbaiki”.
Selamat merayakan Hari Raya Iedul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Anton Permana : Pemko Payakumbuh Harus Hormati Hukum Adat Nagari

Ide Prof. Jimly Asshiddiqie Akan Melakukan Amandemen ke 5 UUD NRI 1945 Dapat Orderan Darimana Lagi

Rismon Dan Tifauzia Cabut Surat Kuasa Ahmad Khozinudin dkk

Tidak Terbukti Ada Unsur Korupsi, Hakim Ketua Sunoto: Eks Dirut ASDP Seharusnya Divonis Lepas

Putusan Tidak Adil Untuk Ira ASDP, Ahmadie Thaha: Hakim Logika Dengkul

Ira Harus Bebas Demi Hukum: Suara Ferry Irwandi yang Mengguncang Logika Penegakan Korupsi

Komisi Reformasi Polri Dan Bayang-Bayang Listyo Syndrome

Thrifting: Fenomena Baru Yang Kini Jadi Sorotan DPR dan Menteri Keuangan

Sri Radjasa: Reformasi Polri Setengah hati, Sekadar Perbaikan Kosmetik

Modus Ala Jokowi



No Responses