Misteri Radiasi di Banten (Bagian 3): Jejaring Gelap Bisnis Scrap Metal Scrap Metal: Urat Nadi Baja Murah

Misteri Radiasi di Banten (Bagian 3): Jejaring Gelap Bisnis Scrap Metal Scrap Metal: Urat Nadi Baja Murah

Industri baja Indonesia sangat bergantung pada scrap metal—besi tua, baja bekas konstruksi, sisa otomotif, hingga limbah mesin pabrik. Harganya lebih murah dibanding bijih besi, dan proses peleburan lebih cepat.

Kebutuhan scrap nasional mencapai jutaan ton per tahun. Namun, pasokan dalam negeri tidak cukup. Karena itu, pintu impor terbuka lebar. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan Indonesia rutin mengimpor scrap dari Amerika Serikat, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Eropa Timur.

Inilah titik rawan. Di banyak negara, scrap kerap bercampur dengan limbah industri berbahaya, mulai dari peralatan medis radioterapi, instrumen laboratorium, hingga sisa perangkat nuklir industri. Secara resmi, material berbahaya itu seharusnya dipilah. Namun, dalam praktiknya, limbah beracun kerap “dibuang” ke negara berkembang melalui jalur scrap metal.

Peran Importir dan Perantara

Impor scrap jarang dilakukan langsung oleh pabrik baja. Biasanya, ada perusahaan perantara atau trader scrap yang menjadi penghubung. Mereka mengurus pengiriman kontainer dari pelabuhan asal, dokumen kepabeanan, hingga perizinan lingkungan.

Beberapa nama importir besar di Indonesia dikenal sebagai pemain lama, dengan jaringan ke pelabuhan internasional. “Di situlah permainan terjadi,” kata seorang sumber di lingkungan logistik pelabuhan.

Ia menyebut praktik mark-up dokumen dan penyamaran HS Code (kode barang) sebagai modus klasik. Kontainer yang sebenarnya berisi scrap campuran bisa saja didaftarkan hanya sebagai “steel scrap” bersih. Begitu tiba di pelabuhan Indonesia, kontainer masuk, keluar dari pemeriksaan, lalu dikirim ke pabrik baja—tanpa ada tanda-tanda aneh, sampai bahan itu dilebur.

Mafia Limbah di Balik Jalur Scrap

Bukan rahasia, jalur scrap metal juga dimainkan oleh mafia limbah. Negara-negara maju menghadapi biaya tinggi untuk mengolah limbah radioaktif atau berbahaya. Solusi murahan? Buang ke luar negeri dengan kedok scrap metal atau bahan daur ulang.

Indonesia menjadi sasaran empuk:

Pengawasan pelabuhan yang lemah.

Peralatan radiation portal monitor yang sering rusak.

Celah regulasi impor yang bisa “diakali” lewat dokumen.

Oknum bea cukai dan forwarder yang bisa “memuluskan” jalur dengan imbalan.

Sumber di kalangan KLHK menyebut kasus Cikande bisa jadi bukan yang pertama. “Bedanya, kali ini kebetulan terbongkar karena udang diekspor ke Amerika. Kalau tidak, mungkin radiasi itu sudah lama bersembunyi di pabrik baja,” katanya.

Jejak di PT PMT

Di PT Peter Metal Technology Indonesia (PMT), dugaan awal menunjukkan scrap metal impor menjadi sumber Cesium-137. Namun, siapa importir resminya? Dari negara mana kontainer itu datang? Pertanyaan ini masih jadi bagian investigasi.

Jika terbukti benar berasal dari luar negeri, maka ada rantai perantara: perusahaan scrap di luar negeri → trader scrap internasional → importir nasional → pabrik baja. Dalam rantai panjang itu, siapa yang tahu isi kontainer sesungguhnya? Atau, apakah justru semua pihak pura-pura tidak tahu?

Peta Risiko Nasional

Kasus Cikande membuka mata bahwa ancaman radiasi tidak selalu datang dari reaktor nuklir, melainkan dari jalur perdagangan logam bekas. Indonesia memiliki puluhan pabrik baja yang bergantung pada scrap impor. Jika satu pabrik saja bisa “kecolongan” Cesium-137, bagaimana dengan lainnya?

“Bayangkan kalau scrap ini masuk ke pabrik baja lain, dilebur, lalu produknya dipakai untuk konstruksi jembatan, gedung, atau rumah sakit. Itu bom waktu,” ujar seorang ahli radiologi industri.

Menanti Transparansi

Hingga kini, KLHK dan Bapeten belum mengumumkan detail: dari mana scrap berbahaya itu berasal, siapa importirnya, dan bagaimana bisa lolos. Publik menunggu transparansi, karena ini bukan sekadar kasus lokal Cikande, tapi menyangkut kedaulatan lingkungan dan keamanan nasional.

Last Day Views: 26,55 K