Oleh: Muhammad Chirzin
Gudu Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Polisi memiliki semboyan sangat indah dan mulia: PRESISI (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi), namun praktiknya tidak sesuai dengan semboyan tersebut.
Hari-hari ini profesionalisme polisi diuji. Integritasnya kedororan, responsifnya diragukan. Objekyivitasnya jauh panggang dari api.
Profesionalitas, integritas, responsibilitas, dan objektivitas mereka harus ditingkatkan.
Polisi masih menampakkan unsur tebang pilih – tajam ke bawah tumpul ke atas; pilih-pilih mana yang ditebang dan mana yang dibiarkan, bahkan dilindungi.
Ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan hal ini terjadi; balas jasa itu pasti. Boleh jadi ada pula intimidasi. Korupsi, kolusi, dan nepotisme, atau bahkan intimidasi mempengaruhi penegakan hukum, menyebabkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan berlangsung dalam penerapan hukum.
Reformasi dalam sistem penegakan hukum mutlak diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan menciptakan keadilan untuk semua. Contoh, revisi UU KPK dan UU Pemilu untuk memperkuat lembaga penegak hukum dan meningkatkan integritas proses demokrasi.
Gelar perkara khusus tentang Ijazah Jokowi di Bareskrim, Rabu, 9 Juli 2025 ibarat sandiwara, formalitas belaka. Menurut kesaksian Roy Suryo dkk tidak ada paparan baru dari pihak kepolisian.
Sabtu, 12 Juli 2025, jurnalis senior Edy Mulyadi menulis opini, “Drama Kotor itu Bernama Ijazah Palsu: Sihir Menuju 2029.” Secara moral, rakyat sudah muak kepada mantan presiden Jokowi. Selama satu dekade berkuasa, dia telah meninggalkan jejak kerusakan multidimensi. Utang negara melonjak tajam, tanah rakyat dirampas, olgarki diberi karpet merah, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, kedaulatan ekonomi dan politik diobral murah ke RRC.
Di tengah kehancuran itu muncul manuver Jokowi memainkan isu ijazah palsu. Gorengan isu dilakukan untuk membangun citra sebagai korban, playing victim, demi kepentingan politik hajatan 2029.
Perkembangan terbaru menguatkan dugaan ini. 12 Juli 2025 gugatan hukum atas dugaan ijazah palsu Jokowi resmi digugurkan oleh PN Surakarta. Bersamaan dengan itu, laporan pidana Jokowi terhadap Roy Suryo dkk naik ke tahap penyidikan. Yang membongkar malah dikriminalisasi. Jokowi tampil sebagai “korban fitnah” yang dibela rapi dan sistematis.
Jokowi tahu cara memainkan itu. Ia hanya butuh mempertahankan 25–30% loyalis agar tetap solid untuk menjaga peluang Gibran, Kaesang, atau siapa pun dari lingkar kekuasaannya. Itulah investasi politik yang sedang dirintis lewat drama ijazah ini, ancaman langsung terhadap Prabowo.
Legitimasi Prabowo sebagai presiden digerogoti oleh Jokowi dari belakang panggung kekuasaan. Masa depan bangsa dipertaruhkan. Jika strategi ini berhasil, bukan tidak mungkin 2029 Republik ini akan dipimpin oleh Gibran atau sosok lain dari lingkaran Jokowi. Mereka adalah orang-orang yang akan melanjutkan politik dagang kuasa, tunduk pada oligarki, dan mengabaikan nasib rakyat.
Andaikata Prabowo tak peduli dengan kekuasaan setelah 2029, ini bukan soal Prabowo Subianto pribadi, tapi nasib NKRI ke depan. Kalau kita membiarkan narasi playing victim ini berkembang tanpa kritik, kita sedang membuka jalan bagi babak baru sandiwara busuk yang sama.
Bila kesadaran kolektif rakyat bangkit, maka drama ini akan tumbang oleh kebenaran. Kita harus berani mengungkap kerusakan 10 tahun kekuasaan Jokowi, agar kerusakan itu tidak terulang kembali.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Negara Yang Terperosok Dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rakyat Setengah Mati, Kekuasaan Setengah Hati

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%

Novel “Imperium Tiga Samudra” (13) – Perang Senyap Mata Uang

Mencermati Komisi Reformasi Polri

Cinta, Kuasa, dan Kejatuhan: Kisah Gelap Yang Menyapu Ponorogo

Novel “Imperium Tiga Samudra” (12) – Meja Baru Asia



No Responses