Oleh: Catatan Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Penulis ensiklopedik, drg. Madi Saputra baru saja mengunggah opini berjudul “Cermin Anti-Intelektualisme dan Krisis Kepemimpinan.”
Seperti pada opini-opini terdahulu, yang diunggah papa beberapa grup WA, setidaknya pada grup-grup yang ketepatan penulis bergabung bersama drg. Saputra, tulisannya hampir selalu menyiratkan nuansa pembelaan pada pihak tertentu dan memojokkan pihak lain.
Uniknya, ketika drg. Madi Saputra mengupas kelemahan-kelemahan dan kesalahan argumen pihak yang dikritisi, dia selalu menyajikan sebersit kekuatan dan kebenarannya. Sehingga, pembaca memperoleh kesan objektivitas dan subjektivitas sekaligus pada opini itu.
Penulis pernah menanggapi opininya dengan catatan berjudul “Anomali Detektif Dadakan.”
www.zonasatunews.com/nasional/anomali-detektif-dadakan/
Kali ini penulis merespon opini drg. Madi Saputra dengan judul “Nano-nano Intelektualisme dan Krisis Kepemimpinan.”
Nano-nano adalah istilah slang atau bahasa gaul dalam konteks informal. Nano-nano bisa berarti tidak jelas atau tidak pasti, dan juga berarti tidak ada yang spesial atau biasa saja.
Madi Saputra (disingkat MS) mengunggah tulisannya dengan judul bercetak tebal, “Cermin Anti-Intelektualisme dan Krisis Kepemimpinan.”
Menurut MS, polemik soal ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) bukan cuma urusan selembar kertas. Seperti yang diungkap Adhie M. Massardi dalam Why Ijazah?, ini adalah cerminan krisis yang lebih besar: hilangnya kepercayaan pada otoritas intelektual dan maraknya anti-intelektualisme di politik Indonesia.
Penulis sependapat dengan MS pada paragraf ini, tetapi tidak pada paragraf berikutnya.
Menurut MS, meski Bareskrim Polri, UGM, dan KPU sudah membuktikan ijazah Jokowi asli, banyak orang tetap ngeyel, menolak fakta. Ini bukan cuma soal dokumen, tapi soal bagaimana kita menghargai pengetahuan, kejujuran, dan kepemimpinan yang berpikir jernih.
Menurut hemat penulis, subjektivitas MS dan keberpihakannya pada Jokowi sangat nyata. Pernyataan Bareskrim Polri dibenarkan sepenuhnya oleh MS, walaupun tanpa data pembanding, dan data yang diungkapkan pun, khususnya ijazah Jokowi, hanya fotonya, bukan fisik ijazahnya.
MS juga membenarkan pernyataan UGM bahwa ijazah Jokowi itu asli, tapi, lagi-lagi, UGM juga tidak menunjukkan ijazah asli Jokowi, dengan alasan ijazah aslinya di tangan pemiliknya, Joko Widodo. UGM sebenarnya punya kesempatan untuk meyakinkan masyarakat Indonesia seluruhnya bahwa Jokowi punya Ijazah Fakultas Kehutanan (entah apa jurusannya), dengan menghadirkan Jokowi beserta ijazahnya pada momen halalbihalal dan klarifikasi Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) tanggal 15 April 2025. Saat itu tiga orang sarjana, Dr. Roy Suryo, dokter Tifa, dan Dr. Rismon, mewakili Tim TPUA yang mengalami hambatan beberapa jam dalam perjalanan. Penulis berada di belakang Roy Suryo maupun dokter Tifa ketika mereka menyampaikan press release usai bertemu jajaran pimpinan UGM di ruang pertemuan Fakultas Kehutanan.
MS juga meyakinkan pembaca bahwa KPU telah membenarkan ijazah Jokowi, walaupun di kemudian hari pihak KPU menyatakan tidak cukup waktu untuk menguji keaslian ijazah Jokowi, jadi cukup dengan fotokopinya. Lalu MS membuat narasi, bahwa walaupun ketiga lembaga telah menyatakan keaslian ijazah Jokowi, tapi “banyak orang tetap ngeyel menolak fakta”. Itulah yang dianggap fakta oleh MH. Apakah Anda bukan termasuk orang yang ngeyel menolak fakta?
MS melanjutkan, tulisan ini bakal ngobrolin kenapa isu ini terus hidup, apa hubungannya dengan anti-intelektualisme, dan bagaimana ini mengancam demokrasi kita.
Buktinya Apa Sih, Ijazah Jokowi Asli? Mari kita lihat fakta dulu:
Satu, Uji Forensik Bareskrim: Pada 22 Mei 2025, Bareskrim Polri lewat Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) memeriksa ijazah Jokowi (Nomor 1120, NIM 1681/KT, 5 November 1985). Mereka pakai spektroskopi, mikroskop, dan kromatografi untuk cek kertas, tinta, teknik cetak letterpress, stempel, dan tanda tangan. Hasilnya? Semuanya cocok dengan standar UGM tahun 1985. Gak ada tanda-tanda pemalsuan.
Catatan penulis: uji forensik BARESKRIM bukan jaminan kebenaran tentang segala sesuatu dari Ijazah Jokowi, sebelum dilakukan pengujian oleh pihak kedua.
Dua, Arsip UGM: UGM bilang Jokowi adalah mahasiswa Bagian Teknologi Hasil Hutan, dengan catatan akademik dan Nomor Induk Mahasiswa (NIM) yang sah. Koran Kedaulatan Rakyat (Juli 1980) juga menyebut Jokowi sebagai mahasiswa baru Fakultas Kehutanan, urutan no 14 dari daftar yg diterima di fakultas kehutanan UGM.
Catatan penulis: data UGM tersebut boleh jadi bukti bahwa Jokowi pernah diterima sebagai Mahasiswa fakultas Kehutanan UGM, tetapi menyisakan pertanyaan apakah Jokowi mendaftar di UGM dengan ijazah SMA yang sah, dan itu juga bukan jaminan Jokowi memperoleh ijazah Fakultas Kehutanan secara sah pula.
MS menulis, sosiolog Prancis Pierre Bourdieu bilang ijazah itu cultural capital—simbol yang nunjukin seseorang punya pengetahuan, kemampuan, dan moral untuk memimpin. Ijazah dari UGM, kampus top, seharusnya bikin orang percaya Jokowi mampu bikin keputusan yang rumit buat negara. Tapi, ketika orang-orang kayak Bambang Tri Mulyono (2023) atau Rismon Hasiholan Sianipar (2025) tuduh ijazahnya palsu—tanpa bukti kuat, cuma pakai gambar digital yang gak jelas—kepercayaan pada simbol ini runtuh.
Seperti penulis sebutkan terdahulu, opini MS ambigu. Jika MS mengamini pandangan Pierre Bourdieu, dan Jokowi sarjana yang ksatria dan bermoral, seharusnya MS mendorong Jokowi untuk segera menunjukkan ijazahnya secara terbuka kepada seluruh masyarakat Indonesia. Mengapa justru menyalahkan Bambang Tri dan Rismon? Emas asli tidak takut diuji. Lagi pula apa jaminannya buat pembaca untuk mempercayai kejujuran UGM kali ini?
Tulis MS selanjutnya, Apa yang Harus Kita lakuin? Biar gak terus-terusan begini, ada beberapa langkah: Pertama, Transparansi Total: Pemerintah harus tunjukin ijazah asli ke publik, kayak yang disaranin Amien Rais (2025).
Penulis setuju dengan ide ini, maka MS mesti menyuarakannya kepada penguasa sejak dini, bukan bela-belain Jokowi yang sembunyikan ijazah yang diklaim asli.
Kedua, Tim Independen: Bikin tim verifikasi dari dosen, tokoh masyarakat, dan ahli hukum, seperti kata Jamiluddin Ritonga. Ini penulis juga setuju, tak perlu ditutup-tutupi dengan seribu satu argumentasi.
Ketiga, Arsip Digital: UGM bisa bikin database ijazah pake teknologi blockchain biar semua bisa cek sendiri. Menurut penulis ini juga patut diapresiasi. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Insyaallah penulis tidak termasuk dalam narasi “kita mulai gak peduli sama kebenaran, pengetahuan, dan kejujuran.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Sikap Arogan Ketua Tim Reformasi Polri Justru Tak Hendak Mendengarkan Suara Rakyar

Sutoyo Abadi: Memusingkan

Tantangan Transformasi Prabowo

Kementerian PKP Tertinggi Prestasi Penyerapan Anggaran dari Seluruh Mitra Komisi V

Kejati Sumut Sita Rp150 Miliar dari Kasus Korupsi Penjualan Aset PTPN I: Babak Baru Pengungkapan Skandal Pertanahan 8.077 Hektare

Dipimpin Pramono Anung Jakarta Makin Aman dan Nyaman, Ketua Umum APKLI-P: Grand Opening WARKOBI Januari 2026 Diresmikan Gubernur DKI

Refly Harun Dan RRT Walkout saat Audiensi Dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri

Subuh, Kolaborasi, Kepedulian, dan Keberkahan

Dukung Revisi PP 50/2022, Ketua Umum APKLI-P: Praktek Tax Planing PPH 0,5% UMKM Puluhan Tahun Dibiarkan

LPG, LNG, CNG dan Kompor Induksi, Solusi Emak Emak Swasembada Energi Di Dapur



No Responses