Negara Indonesia Akan Menjadi Negera Hebat

Negara Indonesia Akan Menjadi Negera Hebat
Dubes Muhammad Najib saat menjadi narasumber Webinar didepan mahasiswa S1, S2 dan S3 Universitas Nasioanl (UNAS) Jakarta.

ZONASATUNEWS.COM, MADRID – Dalam acara Webinar yang diikuti mahasiswa SI,S2, dan S3 Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, Duta Besar Indonesia Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO, Dr Muhammad Najib, menghimbau pihak-pihak yang menekuni ilmu politik untuk high profile memanfaatkan sosial media yang murah dan mudah untuk mengedukasi publik.

Tujuannya agar masyarakat melihat dunia politik secara ilmiah, secara rasional dan secara objektif.

“Karena saya perhatikan apalagi di tahun politik ini banyak sekali para politisi yang mengumbar emosinya di dalam menyampaikan pandangan-pandangan politiknya. Saya kira kalau dia seorang politisi itu lumrah dan wajar tapi harus diimbangi oleh kita yang dari perguruan tinggi sehingga masyarakat tidak larut di dalam emosi,” kata Dubes Najib dalam channel Youtube Wisma Duta RI Madrid.

Lebih dari itu, katanya, sekarang saya juga melihat ada kecenderungan sejumlah lembaga survei atau pengamat yang sering dianggap netral ternyata terperosok juga menjadi partisan.

Nah karena itu adalah merupakan bagian kewajiban moral sekaligus kewajiban politik para pendidik khususnya teman-teman yang berada di perguruan tinggi termasuk di AIP (Asosiasi Ilmu Politik) untuk high profile. Paling tidak mengimbangi sehingga masyarakat bisa mendapatkan pandangan yang objektif rasional dan ilmiah

“Saya memilih judul kuliah saat ini “Mendayung Diantara Banyak Karang”. Judul ini terinspirasi oleh pidato Bung Hatta yang sebagaimana kita ketahui sebagai wakil presiden Republik Indonesia pada tahun 1948 terkait dengan bagaimana kita harus memandang atau mengembangkan politik luar negeri kita. Dimana Bung Hatta di dalam pidatonya itu memberikan penekanan bahwa tidak harus memilih salah satu dari poros besar waktu itu (Amerika dan Rusia) meskipun kini dunia sudah berubah menjadi multipolar bukan lagi bipolar saat Bung Hatta menyampaikan gagasannya. Saya melihat pandangan Bung Hatta ini bukan saja masih relevan saat ini tetapi semakin relevan,” ujarnya.

Perlu diketahui, lanjut Dubes Najib, bahwa pemerintahan dunia katakanlah seperti itu yang kita hadapi saat ini,  merupakan sistem pemerintahan di tingkat Global yang sejatinya merupakan warisan dari Perang Dunia Kedua.

Para pemenang yang diwakili oleh lima negara mendominasi warnanya terlihat dari hak Veto yang dimiliki oleh Amerika, Rusia, Inggris, Prancis, dan Tiongkok. Badan-badan dunia yang dibentuk oleh PBB dari sisi lokasi itu tersebar selain di Amerika juga di Eropa misalnya UNESCO itu berada di Paris. WHO berada di Jenewa, kemudian UNWTO berada di Spanyol dan seterusnya sebagaimana sudah kita banyak tahu

Yang perlu kita cermati saat ini, menurut Dubes Najib, munculnya persaingan diantara para pemenang dan lahirnya dunia yang bipolar,  persaingan antara Amerika dan Rusia yang waktu perang dunia ke-2 merupakan, katakanlah komandan atau berada di garis depan dari Sekutu.

Dalam bidang politik dan ekonomi Rusia membentuk blok apa yang dikenal dengan Uni Soviet, sedangkan Amerika membentuk sekutu atau sering juga orang menyebutnya dengan blok kapitalis bersama Eropa Barat.

Sedangkan dalam dunia militer Rusia membentuk Pakta Warsawa dan Amerika membentuk NATO. Kedua kelompok ini berebut pengaruh baik di Asia, Afrika, msupun Amerika Latin, baik secara politik ekonomi maupun militer.

“Ada hal yang menarik ya, kalau kita berbicara tentang spektrum ideologi negara-negara kapitalis maupun negara komunis yang sebelumnya menjadi dua blok besar ini, ternyata memiliki spektro ideologi yang tidak seperti masyarakat awam pahami. Jadi, katakanlah sosialisme itu yang paling ekstremnya komunis. Nah ternyata dikelompok kapitalis juga ada yang agak sosialis, katakanlah seperti Prancis dan Spanyol sampai yang paling kapitalis seperti Amerika, walaupun belakangan sejak era Obama dan seterusnya Amerika juga semakin mengimplementasikan sosialisme,” jelasnya.

Artinya, menurut Dubes Njaib, kita tidak lagi bisa mengseragamkan spektrum ideologi ini. Komunisme sudah mati, ya, tapi sosialisme tetapi hidup. Sosialisme juga beragam, nah begitu juga kapitalisme. Kapitalisme ekstrim mulai bergeser ke tengah menjadi lebih sosialis ini penting untuk kita pahami.

Diantara blog Soviet dan sekutu ini mengalami persaingan, jadi ini sudah menjadi kodrat, katakanlah sunatullah hukum alam, hukum sejarah. Ketika sebuah kelompok memenangkan pertarungan kemudian diantara mereka kemudian bersaing itu terjadi antara Uni Soviet dan atau di antara Rusia dan Amerika. Medan pertarungan paling seru ternyata terjadi di Timur Tengah atau bahasa formalnya sekarang sering disebut dengan Middle East.

Baik secara politik ekonomi maupun militer seringkali masyarakat awam termasuk para praktisi politik itu tidak menyadari bahwa sebetulnya antara pertarungan ekonomi pertarungan politik maupun pertarungan militer itu ada interseksi.

Seringkali persaingan ekonomi ketika tidak bisa diselesaikan dengan hukum ekonomi secara objektif kemudian kekuatan-kekuatan ini menggunakan tekanan-tekanan politik. Apabila tekanan-tekanan politik ini juga tidak bisa menyelesaikan baru meletup merupakan tindakan militer.

“Saya kira bagi ilmuwan politik ini penting sekali untuk disadari dan apa yang terjadi saat ini interseksi overlapping politik ekonomi dan militer ini semakin nyata. Nah kemudian kalau kita lihat di Timur Tengah, Libya, Suriah, Irak, dan Yaman, itu berafiliasi ke Uni Soviet. Sedangkan Israel, Yordania, Turki, dan sejumlah negara teluk itu berafiliasi ke Amerika. Mesir sebagai negara Arab yang paling penting secara politik dan militer itu berubah-ubah posisinya. Sejak era Jamal Abdul Nasser sampai Sadat itu berafiliasi kepada Rusia. Nah kemudian sejak Sadar sampai Husni Mubarak beralih ke Amerika. Jadi periode Sadat ini merupakan masa transisi dimana perjanjian Camp David dan seterusnya sudah banyak kita ketahui,” ungkap Dubes Najib.

Di Amerika Latin sebagian besar negara ngeblok ke Uni Soviet di mana Kuba itu menjadi negara yang paling depan berhadapan dengan Amerika. Sedangkan di Asia itu tidak nampak benar di mana wilayah pertarungannya.

Tetapi yang nampak nyata itu pertama di Vietnam dimana Amerika kalah. Kemudian di Afghanistan di mana Uni Soviet kalah, dan kemudian diikuti oleh pembubarannya. Akibat dari kekalahan Uni Soviet di Afghanistan Uni Soviet bubar tinggal Rusia saja. Begitu juga Pakta Warsawa. Belakangan Amerika juga harus angkat kaki dari Afghanistan.

“Nah Bapak Ibu sekalian khususnya para mahasiswa, sekarang kita memasuki era apa yang disebut dengan multi polar. Nah ada beberapa hal indikasi yang bisa kita jadikan rujukan bubarnya Uni Soviet dan Pakta Warsawa akibat kekalahan dengan Afghanistan. Menempatkan Amerika dan sekutunya menjadi satu-satunya super power di dunia. Nah di sini siklus hukum alam hukum sejarah kembali ketika Amerika dan sekutunya menjadi satu-satunya super power yang mengendalikan dunia terjadi persaingan diantara mereka sendiri. Persaingan ekonomi secara diam-diam terjadi antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat. Ini kita bisa lihat bagaimana pertarungan di antara Euro dan US Dollar. Kemudian diantara anggota Uni Eropa sendiri yang bagi kebanyakan masyarakat kita di Indonesia menganggap ini seolah-olah Uni Eropa ini betul-betul sudah menjadi satu negara dan solid. Ternyata tidak, itu bisa dilihat ketika Inggris harus meninggalkan Uni Eropa dan apa yang kita kenal dengan Brexit.Ini merupakan indikasi dan Inggris tidak mau lagi pakai Euro tapi menggunakan Ponsterling,” papar Dubes Najib.

Kemudian pemain baru muncul, yaitu Tiongkok. Tiongkok ini menjadi pemain baru yang tiba-tiba menerobos lapangan dengan kekuatan ekonomi, kekuatan politik, kekuatan teknologi, dan bukan mustahil juga kekuatan militer.

Ini saya kira juga menjadi faktor determinan yang mengubah peta politik ekonomi maupun peta militer di tingkat global. Belum lagi kalau kita berbicara Jerman, Jepang, Korea Selatan, dan India, dan sejumlah negara yang tiba-tiba muncul dengan kekuatan ekonomi, kekuatan politik dan seterusnya, ini mengajukan tuntutan-tuntutan baru di institusi-institusi global dan bagaimana harus mengakomodasinya. Tentu saja tidak mudah karena pemain lama ingin mempertahankan.

Karena itulah seringkali terjadi protes-protes terhadap institusi PBB. Sejauh ini protes-protes mereka walaupun tidak sepenuhnya bisa diakomodasi karena kepentingan nasional negara-negara pewaris perang dunia ke-2.

Ditambah lagi munculnya pemain-pemain baru dengan berbagai kekuatan yang tadi saya sebut kan itu menyebabkan kepentingan nasional atau privilege yang dinikmati oleh negara-negara pewaris perang dunia ke-2 tidak sepenuhnya bisa memanfaatkan lembaga Global ini seperti sebelumnya.

Itulah sebabnya kemudian muncul apa yang kita kenal dengan double standar baik dalam masalah ekonomi dalam bentuk berbagai sanksi sepihak, prinsip-prinsip multipolar realisme yang tadinya menjadi fondasi utama yang bisa diterima semua pihak kemudian dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal negara-negara tertentu kemudian mengembangkan unilateralisme, atau tindakan sepihak memberikan sanksi ekonomi secara sepihak, memberikan Tindakan militer secara sepihak, apa yang kita sebut dengan preemtif itu sebetulnya tindakan militer secara sepihak ketika masalah-masalah persetujuan di tingkat institusi PBB tidak bisa didapatkan.

“Nah inilah situasi objektif yang kini kita hadapi. Nah, kemudian ada hal yang juga di tanah air tidak banyak disadari tetapi ini menjadi nyata, (yaitu) pengaruh perkembangan sain dan teknologi modern. Perkembangan luar biasa sains dan teknologi terutama yang terkait dengan teknologi digital, teknologi internet, apa yang kita sebut dengan big data. Apa yang disebut dengan AI atau Artificial Inteligent (sangat) mempengaruhi, tidak saja mempengaruhi ekonomi tapi menjadi sebuah kekuatan,” ujarnya.

Dubes Najib mengakui, dia seringkali juga mengingatkan para konsultan politik, para surveyor statistik konvensional, yang sementara ini masih mereka andalkan untuk melakukan servis-servis melihat bagaimana popularitas elektabilitas dan lain sebagainya. Itu di negara-negara modern tidak dipakai lagi udah ketinggalan zaman, sudah kuno. Karena apa? Metode sampling itu banyak sekali kelemahannya.

Dia hanya mengambil sampling satu dua maksimal sampai tiga persen itu sudah besar ya. Tapi metode big data, data-data yang berbasis dengan algoritma komputer dia bukan saja Real Time tetapi juga dia bisa mengetahui dinamika.

Kalau data sampling itu kan memerlukan waktu seminggu dua minggu tapi dengan teknologi digital berbasis big data itu dinamika fluktuasi denyut popularitas seorang tokoh elektabilitas seorang tokoh dapat dibaca dan ini 100%, tidak hanya satu dua persen. Jadi margin errornya hampir Zero.

Saya kira perlu disadari, katanya, sehingga kemudian kita bisa melihat perkembangan aspirasi masyarakat secara lebih objektif. Nama-nama besar di dunia ini seperti Bill Gates yang melahirkan Microsoft, Steve Jobs yang melahirkan Apple, juga termasuk yang memiliki Facebook kemudian terakhir nama Elon Musk pemilik Tesla dan seterusnya ini kemudian bukan saja menjadi orang-orang kaya baru memiliki perusahaan-perusahaan yang sangat mempengaruhi ekonomi juga mempengaruhi peta politik bahkan juga militer.

Perang konvensional sudah mulai ditinggalkan tapi perang-perang modern dengan dikendalikan dari laboratorium dengan menggunakan remote sekarang apa yang dikenal dengan drone dan sebagainya, cyberwore dan seterusnya, ini perlu kita sadari.

Pertanyaannya kemudian, sambung Dubes Najib, bagaimana Indonesia harus menyikapinya politik bebas aktif yang kita anut bukan saja harus dipertahankan bahkan harus ditingkatkan baik dari kebebasannya. Artinya kita harus lebih leluasa bergerak, kita harus, kalau bahasa saya, kita harus berkomunikasi dengan semua pihak.

Kita harus bersikap baik kepada semua pihak pada saat kita mengambil keputusan. Kita harus bertumpu kepada nasional interest kita, itu tidak mudah pasti. Pasti ada resiko-resiko, tetapi kalau kita tidak berani menghadapi resiko, maka (kita) seperti orang menikmati disiksa orang lain, menikmati di exploitasi orang lain, menikmati di intimidasi orang lain.

Negara-negara seperti ini tidak akan bisa berkembang karena dia akan menjadi objek dan dia akan menjadi bahan yang akan dieksploitasi oleh negara-negara lain. Di sinilah pentingnya Indonesia yang barangkali secara militer belum kuat-kuat amat, dalam tingkat pendidikan belum bisa bersaing dengan negara-negara maju, karena itu penting untuk meningkatkan aktivitasnya baik organisasi regional maupun di organisasi global.

Sehingga kita memiliki banyak teman itu yang saya sering ingatkan baik secara offline dengan sejumlah teman tetapi juga kalau saudara perhatikan youtube-youtube saya, yang saya share coba dilihat itu (channel) “Wisma Duta RI Madrid” setiap YouTube yang saya share itu memiliki pesan tertentu. Saya sharing informasi di situ. Ini juga penting bagi mahasiswa.

“Coba perhatikan sudah lebih dari 270 YouTube. Nah ini juga bagian dari cara saya untuk menjadi high profile. Jadi kita harus berteriak manakala kepentingan nasional kita terganggu karena kalau kita tidak berteriak mereka tidak tahu. Berteriak minimal, habis itu apa langkah-langkah politik negosiasi kompromi dan tentu agar kita kuat kita harus maju bersama-sama dengan banyak negara yang memiliki kepentingan sama dengan kita,” jelasnya.

Ada prinsip sederhana yang selalu saya ulang-ulang, kata Dubes Najib melanjutkan kuliahnya. Manakala saya berdialog dengan dubes-dubes negara sahabat di dalam forum-forum seminar di Madrid ini saya selalu mengatakan kalau dulu formulanya win lose, the winner takes all, dimana yang menang mengambil semuanya, yang kalah tidak dapat apa-apa.

Tapi sekarang di dalam dunia seperti saat ini kita harus mengembangkan apa yang disebut dengan formula win-win, maju bersama menang bersama. Dan itu bisa dalam banyak hal.

Ada tantangan yang harus kita sadari didalam menghadapi dunia seperti saat ini, sekaligus bagaimana kita mengembangkan formula yang saya rujuk tadi untuk memperjuangkan nasional interested. Sejumlah negara yang ingin memaksakan kehendak baik karena alasan kepentingan nasionalnya yang subjektif maupun akibat tekanan politik di dalam negeri sehingga mereka mengembangkan unilateralisme atau tindakan sepihak.

Jadi jangan kira kalau Amerika memberikan sanksi kepada negara-negara tertentu itu sepenuhnya karena kepentingan nasional mereka, belum tentu. Bisa jadi untuk meningkatkan popularitas sang tokoh, bisa jadi untuk meningkatkan elektabilitas partai yang mengantarkannya, dia bisa melakukan tindakan-tindakan yang merugikan negara lain secara langsung maupun tidak langsung dan bukan mustahil juga merugikan negaranya sendiri dalam waktu yang panjang.

“Nah di sinilah kita perlu jeli dalam mengambil sikap tidak terombang-ambing. Kemudian prinsip unilateralisme dalam politik ataupun ekonomi dapat bermuara pada apa yang dikenal dengan preemtif nah ini lebih berbahaya lagi, cukup dengan suudzon terhadap negara lain kita merasa berhak untuk menghukum dalam bentuk tindakan militer. Aduh ini berbahaya sekali karena itu jangan berikan berkembangnya paham unilateralisme. Kita harus kembangkan apa yang kita kenal dengan multilateralisme. Begitu juga sikap double standar ini juga bisa jadi dipengaruhi oleh kepentingan nasional tertentu secara objektif tapi juga bukan mustahil karena tekanan politik personal sang tokoh atau karena tekanan politik terhadap partai yang mengantarkannya karena itu kemudian terjadi double standar di hampir semua bidang bidang ekonomi,bidang politik, bidang HAM kemudian juga pada masalah-masalah lingkungan. Indonesia kan sekarang mengalami semacam tuduhan dengan kelapa sawit dianggap merusak lingkungan dan lain sebagainya,” jelasnya.

Bisa jadi dibaliknya ini ada pertimbangan kompetisi komoditi yang serupa karena mereka kalah dalam masalah harga misalnya, kemudian isu lingkungan dikembangkan tapi bisa juga karena ada faktor-faktor lain yang mereka ingin negosiasikan, tidak hanya ekonomi tapi bisa juga dalam masalah-masalah yang lain.

Karena itu melihat sebuah isu tidak cukup hanya berhenti pada isu tersebut, dan tidak boleh berhenti pada tuduhan itu saja, tetapi harus dilihat dari akar asal muasalnya dan apa yang mereka inginkan. Bisa jadi barter, mereka minta kompensasi untuk melunakkan ini dan seterusnya.

Kemudian, persaingan dan perebutan pengaruh antara Tiongkok versus Amerika dan sekutunya di Laut Cina Selatan ini harus kita cermati dengan serius karena kalau kita salah menyikapinya atau kita lalai, ini bukan saja persoalan ekonomi yang disinyalir di Laut Cina Selatan itu ada sumber gas dan minyak yang sangat besar, juga di situ memiliki hasil laut yang sangat kaya.

Tetapi, lebih dari itu ini ada overclaim wilayah yang bukan saja terkait dengan masalah ekonomi, tetapi juga masalah politik dan bukan mustahil juga nanti bermuara pada tindakan-tindakan militer. Karena itu di wilayah ini sebaiknya kita serius, hati-hati dan kita cermat di dalam bersikap karena tindakan preventif jauh lebih bagus.

“Nah sebelum mengakhiri Saya ingin mengingatkan tentang masa depan kita. Alam kita itu kaya sekali baik yang bersifat sumber daya manusia yang sangat besar maupun wilayahnya yang sangat luas, tetapi juga tanah kita yang sangat subur. Kemudian juga kaya dengan mineral laut kita sangat luas kaya dengan sumber-sumber hewan ini, varian ikannya banyak sekali dan seterusnya. Selain faktor internal yang saya sebutkan tadi kita juga tidak bisa abaikan faktor eksternal, ini ditentukan oleh kemampuan kita memanfaatkan situasi yang berkembang baik di tingkat regional maupun di tingkat global. Bagaimana memanfaatkan situasi Itu untuk mendapatkan keuntungan politik baik dalam waktu dekat maupun waktu jangka panjang yang pasti saya percaya dengan tesis seorang ilmuwan sekaligus seorang diplomat Singapura yang pernah bertugas di PBB, sekarang menjadi dosen di Singapura. Dia mengatakan bahwa masa depan dunia itu berada di Asia dan itu lebih spesifik disebutkan bahwa negara-negara Asia yang berada di wilayah timur yang terkait dengan Laut Pasifik.Karena itu kita juga harus mempertimbangkan pandangan-pandangannya,” katanya.

Terakhir, Dubes Najib mengingatkan,  bahwa kita perlu segera melakukan konsolidasi internal karena begitu banyak potensi besar yang kita miliki belum dikapitalisasi sehingga memberikan kontribusi baik secara ekonomi maupun politik. Sebagai contoh tanah yang subur yang kita miliki belum bisa menghasilkan pertanian dan perkebunan yang efisien produktif dan kompetitif. Sebagai contoh Thailand sudah sangat maju sekali dibanding kita. Kalau Thailand bisa kenapa kita tidak bisa kan itu pertanyaan sederhana. Kemudian laut yang luas dan kaya belum bisa menghasilkan industri perikanan yang maju dan modern. Di Spanyol ini yang mengelola industri perikanan itu banyak orang Indonesia. Mereka bekerja di perusahaan China yang berbasis di sini. Mereka bekerja di perusahaan Korea Selatan yang berbasis di sini. Mereka juga bekerja di perusahaan Jepang yang berbasis di sini. Mereka juga bekerja di perusahaan Spanyol terkait dengan perikanan.

Bagaimana tenaga kerja kita dipakai oleh orang lain, dimanfaatkan, kalau masalah teknologi kita bisa kerjasama atau bisa kalau masalah mesin bisa membeli. ini perlu disadari.

Kemudian alam kita yang kaya dengan mineral dan bahkan mineral yang sangat penting di era modern ini belum bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas bahkan saya miris karena belakangan saya mendengar informasi bahwa sejumlah mineral penting kita justru diselundupkan keluar. Jadi bukan saja dikelola belum bagus tapi juga ada pemain-pemain tertentu yang menyelundupkannya keluar, ini saya kira harus ditertibkan.

Kemudian ini sangat penting sekali posisi geografis kita yang sangat strategis belum mampu kita kapitalisasi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi maupun politik. Sebagai contoh dulu Malaysia mampu memanfaatkan Malaka, hanya satu pelabuhan yang sangat strategis karena apa pergerakan orang dan barang lewat laut waktu itu dari Eropa ke Timur, Cina, Jepang, Korea, dan seterusnya harus melalui Selat Malaka.

Belakangan ketika Inggris masuk itu menjadikan Singapura menggantikan Selat Malaka, dan sampai sekarang Singapura yang miskin sumber daya alam tanahnya tidak subur wilayahnya kecil bisa menjadi negara maju sekali. Indonesia (seharusnya) bisa menciptakan 10  kali  Singapura, sangat kuat karena posisinya strategis. Belakangan Habibie mencoba menjadikan Batam untuk menjadi alternatif Singapura

“Nah itu coba difikirkan kembali, dievaluasi di mana kurangnya di mana kelirunya, bagaimana kalau diteruskan. Nah belum lagi pergerakan sekarang (dar) Utara ke Selatan. Kalau kita lihat Australia atau New Zealand kalau mau bergerak ke Cina atau ke Jepang atau ke Korea itu kan harus melalui Indonesia. Menurut info yang saya dapatkan pilihannya dua, lewat Selat Sunda atau Selat Lombok. Kenapa wilayah-wilayah yang dilalui ini tidak memanfaatkan. Orang yang lewat, barang yang lewat, dan seterusnya. Nah ini secara politik juga menjadi sangat penting karena mereka tentu tidak mau terganggu. Ini tentu ada perjanjian-perjanjian internasional yang kita buat tidak harus itu dilanggar tapi kreativitas kita memanfaatkan orang yang lalu lalang, kapal yang lalu lalang, dan seterusnya itu akan menentukan bagaimana kemajuan ekonomi kita secara keseluruhan.”

“Terakhir saya ingin mengingatkan penduduk kita yang besar di usia produktif ini tolong untuk tidak dijual murah. Kenapa saya katakan dijual murah saya berkali-kali ke Dubai Abu Dhabi kemudian kedoa itu kalau lihat manajer yang paling atas itu umumnya orang Eropa manajer-menjer di level menengah itu orang India yang paling bawah itu orang Nepal orang Philippine. Kalau saya tanya di mana orang Indonesia cuman jadi supir dan pembantu rumah tangga, kan kasihan. Bahkan sekarang itu jutaan ini menurut Pak Mahfud MD ya, jutaan orang Indonesia berstatus Human Trafficking. Wah ini kan miris sekali. Nah dalam kesempatan yang berharga ini saya berbicara di depan para mahasiswa para dosen di perguruan tinggi secara ilmiah gitu. Mari kita sikapi, kita bantu untuk menyelesaikan masalah-masalah kita. Kalau kita ingin menjadi negara besar ingin menjadi negara maju dan ingin mencadi negara yang kuat,” tegas Dubes Najib.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K