Oleh: Yoyon Suryono
Pegiat Guru Nanjung Desa
Menjelang Pilkada beberapa bulan lagi, marak terpampang nama-nama beserta foto dan janji-janjinya para calon gubernur, wakil gubernur, bupati atau calon wakil bupati di sepanjang jalan raya di dalam kota mapunpun luar kota. Menambah kumuhnya pemandangan luar ruang, karena bercampur dengan iklan produk yang tidak tertata baik.
Menggembirakan sekali karena jumlah para calon gubernur, wakil gubernur, bupati atau wakil bupati terbilang cukup banyak; yang perempuan dan laki-laki, yang tua dan muda, yang petahana dan pendatang baru, yang sudah mendapat dukungan partai dan yang belum.
Nampaknya proses koalisi dan tawar-menawar masih sedang terjadi, belum terlihat komposisi nama-nama calon gubernur, wakil gubernur, bupati atau wakil bupati yang pasti. Kebanyakan partai pengusung masih menimbang, menghitung dan memilih strategi yang ampuh menguntungkan, terutama yang memerlukan gabungan partai politik agar saling nyaman.
Partai Pengusung
Diperlukan rekomendasi dari partai pengusung tunggal dan/atau gabungan untuk lolos mendaftar sebagai calon gubernur, wakil gubernur, bupati, atau calon wakil bupati secara resmi diusung oleh partai politik pengusung untuk memenuhi syarat pencalonan secara resmi.
Seperti yang sudah terjadi pada pilkada sebelumnya dan hasil amatan, meski terbatas di beberapa provinsi dan kabupaten, proses pencarian rekomendasi dan pencalonan oleh partai politik pengusung untuk resmi dicalonkan memerlukan ongkos yang tidak sedikit. Berbilang milyar. Belum terdengar kalau trilyun kecuali perkara korupsi besar.
Konon angka yang beredar untuk cagub dan cawagub berkisar di angka ratusan milyar. Dan untuk cabup dan cawabup berkisar di angka puluhan milyar. Angka yang tidak sedikit, walau masih lebih rendah dibanding omzet hasil judi on line?
Bisa jadi menyamai bila dihitung secara nasional.
Kompetensi para Calon
Secara kasar dan samar-samar kompetensi dan kemampuan kepemimpinan para calon beragam. Para petahana dan calon yang berasal dari birokrat relatif terlihat baik meski subyektif. Para pendatang baru, para “tokoh” tua dan muda untuk memasuki dunia pemerintahan nampaknya perlu adaptasi yang memerlukan waktu walau kelak didampingi oleh staf ahli dan staf khusus yang handal. Mungkin!
Yang sama sekali masih gelap adalah kemampuan keuangan dan tingkat elektabilitas yang riel bukan yang sembarangan survey. Kedua hal ini teramat penting karena kunci kemenangan ada di sini, berikut “pulung” jalur langit.
Kemampuan keuangan dari pengalaman dapat disediakan atau didukung oleh para pemodal tentu dengan imbalan tertentu yang dapat dinegosiasikan, entah konsesi, proyek, atau bentuk lain tergantung kesepakatan transaksionalnya.
Hal ini tidak bermaksud menyepelekan kemampuan keuangan bagi para calon yang memang memiliki dana memadai, namun bagi yang terbatas pola atau cara ini kerap digunakan dalam batas tertentu.
Tingkat Elektabilitas
Meski tingkat elektabilitas diketahui melalui survey yang dapat diperdebatkan kesahihannya namun hal ini penting dilakukan untuk “tes gelombang” seberapa besar tingkat penerimaan pemilih yang dapat digunakan untuk membuat keputusan yang benar: maju atau mundur?
Tentu pekerjaan ini perlu dana yang besar untuk hasil yang realistik dan dikerjakan oleh para profesional bukan oleh pekerja sesuai pesanan yang bisa jadi menyesatkan dan menjerumuskan. Maka perlu hati-hati dari sisi hasil dan dananya.
Hindari hasil yang asal-asalan padahal dana yang dipakai tidak sedikit.
Dukungan Pemilih
Ini kunci utama. Pemilih terbagi. Seberapa besar pemilih yang loyal secara ideologi. Berapa besar pemilih yang terobsesi “serangan fajar”. Dalam konteks ini layak memiliki jaringan tim sukses, relawan, dan pendukung yang solid dan pada umumnya memerlukan dana yang tidak sedikit baik sebelum, dalam proses, dan pasca pilkada.
Perputaran Uang
Nilai ekonomi pilkada terlihat pada perputaran uang sepanjang proses pilkada dari awal sampai akhir. Para calon menangung beban pengadaan ongkos yang diperlukan dari berbagai sumber dana dengan berbagai cara. Hendaknya cermat dalam penggunaan dana yang sangat besar itu karena dapat berubah menjadi konsumsi bukan investasi. Dan merupakan tanggungan berat manakala gagal ataupun berhasil.
Gagal uang hilang. Berhasil perlu menutup biaya yang terlanjur terpakai. Moga-moga solusinya tidak dengan cara korupsi seperti banyak kepala daerah yang sudah tertangkap KPK dan di “Sukamiskinkan”.
Jadilah kepala daerah yang jujur dan bersih meski yakin tidak mudah karena ekosistem demokrasi yang berkabut kepalsuan, berbau kekuasaan tunggal, dan saling melemahkan serta kesan pemerintahan kita masih berselimut tebal korupsi dan penyanderaan yang berakhir serba pembungkaman yang menidakan “check and balances”.*
EDITOR: REYNA
Related Posts

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (4): Stabilitas Politik dan Keamanan Nasional Yang Menyelamatkan Indonesia

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (3): Membangun Stabilitas Politik dan Menghindarkan Indonesia dari Kekacauan Pasca 1965

Negara Yang Terperosok Dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rakyat Setengah Mati, Kekuasaan Setengah Hati

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%

Novel “Imperium Tiga Samudra” (13) – Perang Senyap Mata Uang

Mencermati Komisi Reformasi Polri



No Responses