Oleh: Budi Puryanto
Tokyo, awal musim dingin.
Hujan tipis turun di atas gedung kaca Marunouchi, memantulkan cahaya lampu neon dari distrik keuangan yang tak pernah benar-benar tidur. Di dalam salah satu lantai tertinggi, di ruang rapat tanpa nama, tiga bendera kecil diletakkan di atas meja oval: Jepang, Tiongkok, dan Singapura.
Namun di tengah meja itu, hanya ada satu kursi kosong — milik Indonesia.
Rafiq berdiri di depan jendela. Dari lantai 43, Tokyo terlihat seperti papan sirkuit raksasa—kilau cahaya seperti arus listrik yang tak henti bergerak.
Ia baru tiba beberapa jam lalu setelah penerbangan diam dari Kuala Lumpur. Pesan yang ia terima hanya singkat:
“Meja Baru sudah siap. Anda harus datang. Dunia akan berubah dari sini.”
Suara langkah pelan memecah pikirannya.
Seorang pria berjas abu-abu memasuki ruangan — Kenji Watanabe, perwira intelijen ekonomi Jepang, tokoh yang dikenal sebagai the Silent Architect di kalangan diplomat Asia.
Kenji: “Rafiq-san, selamat datang di Tokyo. Kau datang bukan sebagai tamu, tapi sebagai saksi.”
Rafiq: “Saksi untuk apa?”
Kenji: “Untuk lahirnya tatanan ekonomi yang tidak lagi membutuhkan izin dari Barat.”
Rapat dimulai tanpa protokol. Tak ada sekretaris, tak ada catatan. Hanya tiga orang di ruangan itu: Kenji (Jepang), Li Cheng (Tiongkok), dan Tan Wei Ling (Singapura).
Rafiq duduk diam di kursi kosong yang memang disediakan untuknya.
Li Cheng: “Imperium Tiga Samudra sudah rapuh. Fraksi Amerika sibuk dengan krisis internal, fraksi Eropa kehilangan arah. Asia harus menciptakan jalannya sendiri.”
Tan Wei Ling: “Kita tidak perlu menggulingkan sistem mereka. Kita hanya perlu membuat sistem yang lebih efisien… lebih menarik bagi dunia Selatan.”
Kenji: “Dan itulah Meja Baru Asia. Sistem bayangan di balik pasar resmi. Kita buat jaringan transaksi lintas negara, tidak melalui SWIFT, tidak melalui dolar, tidak melalui IMF.”
Rafiq (menyela pelan): “Dan siapa yang akan memegang kuncinya?”
Ketiga orang itu terdiam sejenak. Lalu Li Cheng menatap langsung ke arahnya.
Li Cheng: “Indonesia.”
Kata itu menggema di ruangan yang senyap. Rafiq menatap ketiganya, mencoba membaca motif di balik wajah-wajah yang nyaris tanpa ekspresi itu.
Rafiq: “Kenapa kami? Indonesia bukan negara dengan sistem finansial terkuat di Asia.”
Tan Wei Ling: “Justru karena itu. Kau bukan ancaman bagi siapa pun. Tidak punya utang geopolitik besar, tidak punya tentara di luar negeri. Kau bisa jadi jembatan.”
Kenji: “Dan lebih dari itu—kau punya sumber daya. Energi, pangan, populasi, dan posisi di tengah rute digital Asia–Afrika. Semua butuh kamu, tapi tak seorang pun benar-benar memilikimu.”
Rafiq tertawa tipis.
“Jadi kami harus jadi penengah antara naga, samurai, dan pedagang?”
Li Cheng: “Atau kau bisa jadi pemilik meja itu sendiri, jika kau berani menanggung risikonya.”
Di layar holografik di tengah meja, Kenji menampilkan model sistem finansial baru: ASEAN Cross-Exchange, jaringan digital yang memungkinkan negara-negara Asia berdagang menggunakan mata uang sendiri tanpa dolar.
Di balik tampilannya yang bersih, sistem itu punya lapisan rahasia — Quantum Ledger Node, protokol terenkripsi yang hanya bisa diakses oleh tiga server utama: Tokyo, Shanghai, dan Jakarta.
Kenji: “Bayangkan, Rafiq. Saat pasar Barat jatuh, sistem ini tetap berjalan. Saat dolar berfluktuasi, harga pangan Asia tetap stabil. Dunia akan datang ke kita, bukan kita yang datang ke mereka.”
Rafiq: “Dan apa bedanya dengan Imperium?”
Tan Wei Ling: “Imperium gagal karena mereka ingin menguasai dunia. Kami hanya ingin menguasai stabilitas.”
Rafiq menatapnya lama.
“Stabilitas adalah bentuk kekuasaan yang paling berbahaya.”
Surat dari Jakarta
Rafiq membuka pesan terenkripsi dari Jakarta.
Satu baris kalimat dari Kepala BIN: “Kau tidak di sana untuk menandatangani apa pun. Kau di sana untuk memastikan siapa yang pertama kali berbohong.”
Ia menatap tiga orang di seberangnya.
“Meja ini indah di atas kertas. Tapi aku tahu, setiap sistem keuangan baru selalu dibangun di atas pengkhianatan lama. Jadi, siapa yang kalian khianati kali ini?”
Kenji menatap ke arah Li Cheng, lalu ke Tan Wei Ling. Tak ada jawaban langsung. Hanya bunyi pelan hujan di kaca yang terdengar seperti bisikan rahasia.
Akhirnya, Li Cheng berkata pelan: “Kami mengkhianati ilusi bahwa dunia masih bisa dikendalikan dari barat.”
Malamnya, Rafiq berjalan di tepi Sungai Sumida. Di kejauhan, cahaya Tokyo Skytree memantul di air yang tenang. Ia menyalakan rokok, sesuatu yang hanya ia lakukan saat pikirannya tak bisa diam. Ia tahu “Meja Baru Asia” bukan sekadar rencana ekonomi. Ini adalah perang baru—perang yang tidak lagi memakai tentara, tapi data, algoritma, dan kepercayaan. Dan Indonesia berada di tengahnya, lagi-lagi menjadi jembatan antara dua dunia yang sama-sama ingin menang.
Suara langkah mendekat. Kenji muncul, dengan mantel panjangnya yang basah.
Kenji: “Rafiq, dunia lama sudah mati. Kau bisa menolak, tapi kau tidak bisa menghentikan arus.”
Rafiq: “Arus selalu punya dua sisi, yang di permukaan, dan yang di bawah. Yang di bawah itulah yang menenggelamkan kapal.”
Kenji diam, lalu menyerahkan flash drive kecil.
“Ini salinan penuh sistem Meja Baru. Gunakan sesuai nuranimu. Tapi ingat, siapa pun yang memegang kunci ini, memegang masa depan Asia.”
Pagi berikutnya, Rafiq kembali ke bandara Haneda. Ia duduk sendirian di ruang tunggu diplomatik, memegang flash drive itu seperti memegang rahasia masa depan. Ia tahu di dalamnya bukan sekadar kode keuangan, tapi juga peta kekuasaan abad ke-21.
Ia menatap keluar jendela—pesawat-pesawat berangkat ke arah barat, tapi ia tahu arah sejarah kini berbalik ke timur.
Dalam pikirannya terlintas kalimat sederhana: “Asia tidak lagi bangkit. Asia sudah terjaga.”
Dan dalam kebangkitan itu, mungkin tak ada lagi pahlawan—hanya pemain yang lebih cerdas dari sistem yang mereka ciptakan sendiri.
Sore hari di Jakarta, di gedung intelijen yang dikelilingi pohon trembesi, seorang analis muda membuka laporan dari Tokyo. File itu berjudul: “MEJA BARU ASIA – Prototype Version 0.9 / Confidential”
Ia membaca nama pengunggahnya: R. Anwar (BIN). Namun di kolom keterangan, ada satu kalimat tambahan yang tidak ada di versi Tokyo: “Stabilitas tanpa moral hanyalah bentuk baru dari penindasan.”
Di luar gedung, langit Jakarta perlahan memerah, seperti menandai datangnya era baru — era di mana perang tidak lagi terdengar, tapi tetap terasa di setiap harga, di setiap data, di setiap napas ekonomi dunia. Dan di sanalah, bayang-bayang Imperium kembali bergerak — kali ini, dari Timur.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Novel “Imperium Tiga Samudra” (11) – Dialog Dibawah Menara Asap
Novel “Imperium Tiga Samudra” (10) – Perang Para Dewa
Novel “Imperium Tiga Samudra&” (9) – Prometheus
Related Posts

Panja DPR Ambil Alih Komando Reformasi Penegak Hukum

Kedaulatan Kompor – Martabat Negara: Orkestrasi Bauran Energi Dapur Rakyat: LPG, DME, Jargas & CNGR

Sedikit Catatan Pasca Pemeriksaan di Polda Metro Jaya (PMJ) Kemarin

Operasi Garis Dalam Jokowi: Ketika Kekuasaan Tidak Rela Pensiun

SPPG POLRI Lebih Baik Dibanding Yang Lain Sehingga Diminati Sekolah

Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent

Negeri di Bawah Bayang Ijazah: Ketika Keadilan Diperintah Dari Bayangan Kekuasaan

Novel “Imperium Tiga Samudra” (11) – Dialog Dibawah Menara Asap

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (3-Tamat): Korupsi Migas Sudah Darurat, Presiden Prabowo Harus Bertindak!

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (2): Dari Godfather ke Grand Strategi Mafia Migas


No Responses