Novel “Imperium Tiga Samudra” (13) – Perang Senyap Mata Uang

Novel “Imperium Tiga Samudra” (13) – Perang Senyap Mata Uang

Oleh: Budi Puryanto

Kuala Lumpur, tiga minggu setelah pertemuan di bawah menara asap.

Langit kota kini dipenuhi iklan digital raksasa tentang “era keuangan tanpa batas”. Namun di balik layar-layar itu, dunia sedang genting.

Rafiq duduk di ruang rapat tersembunyi di lantai 32 Hotel Istana lama yang sudah disulap menjadi markas sementara intelijen Asia Tenggara. Di hadapannya terbentang peta digital berwarna biru kehitaman — bukan peta wilayah, melainkan peta arus uang global.

Garis-garis merah melintas dari New York ke Frankfurt, lalu ke Hong Kong dan Jakarta.
Semua terhubung pada satu titik pusat: TOI Financial Grid.

“Nilai tukar yuan digital turun 2,1 persen dalam satu malam,” suara Laksamana Nandito, perwira penghubung ekonomi BIN, terdengar pelan tapi tegas. “Pasar global panik, tapi media tidak berani menulis. Semua menunggu sinyal dari TOI.”

Rafiq menatap grafik yang bergerak seperti denyut jantung.

“Dan Amerika?”

“Washington menolak ikut menstabilkan grid. Mereka bilang itu bukan tanggung jawab mereka lagi. IMF kehilangan arah.”

Rafiq menarik napas panjang. “Berarti Three Oceans Imperium benar-benar retak. Fraksi Amerika mulai melepaskan diri.”

“Bukan cuma Amerika,” potong Nandito. “Fraksi Eropa sedang membentuk sistem tandingan — mereka sebut Digital Reserve Alliance. Sementara Asia… diam, tapi sibuk membangun Shadow Exchange di Singapura. Semua pihak saling serang lewat algoritma dan transaksi bayangan.”

Rafiq memandang keluar jendela. Hujan turun pelan, memburamkan pemandangan kota.

“Perang dunia ketiga,” katanya lirih.

“Tapi tanpa peluru.”

Rafiq melangkah ke ruangan sebelah. Di sana, seorang perempuan duduk di depan laptop dengan enam layar — Anita, analis keuangan dan mantan agen BND Jerman yang kini bekerja untuk BIN sebagai konsultan bayangan.

“Grafikmu berantakan sekali,” kata Rafiq.

Anita tak menoleh. “Bukan grafikku yang berantakan. Dunia yang berantakan.”

Ia mengetik cepat, menampilkan data yang disaring dari jaringan gelap finansial.

“Ini bukti. TOI sudah tidak sinkron. Fraksi Asia memindahkan cadangan emas digital ke jaringan terpisah, Quantum Ledger. Tapi fraksi Eropa tidak tahu. Amerika pura-pura tidak peduli.”

Rafiq mendekat. “Kalau sistem mereka pecah, siapa yang paling diuntungkan?”

Anita berhenti mengetik. “Siapa pun yang bisa menukar kekacauan menjadi kepercayaan baru.”

“Indonesia?”

Anita menatapnya, lama. “Kamu berpikir jauh, Rafiq. Tapi ya, kalau kita berani memainkan dua sisi dengan hati-hati, mungkin.”

Rafiq menatap layar, lalu berbisik, “Kita tidak akan main di dua sisi. Kita akan buat sisi ketiga.”

Di Balik Bursa Singapura

Malam itu, di lantai 57 Marina Bay Tower, pertemuan tertutup antara perwakilan Shadow Exchange berlangsung.
Tiga tokoh hadir: perwakilan Tiongkok, Singapura, dan seseorang dari “negara kepulauan terbesar di selatan”.

“Pasar digital dunia sudah tidak bisa dikendalikan,” kata perwakilan Tiongkok.

“Eropa menyabotase sistem TOI, Amerika membanjiri pasar dengan dolar sintetis.”

“Dan kalian ingin apa?” tanya Rafiq dari sudut ruangan, suaranya tenang tapi tajam.

“Kita buat bursa baru,” jawab perwakilan Singapura. “Bursa tanpa dolar. Tanpa euro. Berdasarkan real commodity value — energi, pangan, air, dan data. Dunia akan mengikuti nilai nyata, bukan kertas.”

Rafiq menatapnya tajam. “Kalian pikir itu idealisme? Tidak. Itu perang. Kalian hanya mengganti senjata dari rudal menjadi algoritma.”

Perwakilan Tiongkok menatapnya sinis. “Kamu terlalu romantis, agen dari selatan. Dunia baru tidak butuh moralitas, hanya efisiensi.”

Rafiq berdiri, menatap langit Marina yang berkilau. “Dan efisiensi tanpa moralitas hanya melahirkan tirani digital.”

Suasana hening.Tiba-tiba lampu ruangan redup. Layar menampilkan pesan singkat dari jaringan rahasia BIN:
“Operasi Sigma aktif. Pasar akan goyah dalam 72 jam.”

Tiga hari berikutnya menjadi sejarah yang tak tertulis. Guncangan benar-benar terjadi. Nilai tukar dolar sintetis runtuh 8%. Bursa Frankfurt lumpuh karena “serangan data”.

TOI kehilangan sinkronisasi antarserver utama — satu di Geneva, satu di Dubai, satu di Shanghai. Dalam kekacauan itu, Shadow Exchange justru tumbuh dua kali lipat.

Rafiq menatap layar dari pos komando kecil di Jakarta Selatan.

“Semua berjalan sesuai rencana,” kata Nandito.

“Tapi jangan lupa,” jawab Rafiq pelan, “semua perang mata uang berakhir dengan perang politik.”

Anita masuk dengan wajah tegang. “Ada yang aneh. Beberapa transaksi besar masuk lewat jaringan kita. Sumbernya… bukan Asia, bukan Eropa, bukan Amerika.”

Rafiq menatapnya tajam. “Lalu dari mana?”

Anita menatap layar dan berbisik, “Dari dalam Indonesia sendiri.”

Malam itu, Rafiq menemui seorang tokoh lama: Kolonel Suryo, veteran intelijen yang kini menjadi penasihat rahasia pemerintah.

“Saya sudah peringatkan, Rafiq,” kata Suryo, menatap gelas tehnya. “Kalau kamu bermain dengan sistem keuangan global, siap-siap terbakar.”

Rafiq duduk diam.

“Kita tidak bermain, Kolonel. Kita hanya mencoba bertahan. Dunia sedang menulis ulang peta kekuasaan lewat angka, bukan senjata.”

Suryo tersenyum pahit. “Dan angka itu kini milik siapa?”

Rafiq menatapnya, kemudian berkata lirih, “Belum milik siapa pun. Tapi sebentar lagi, akan milik mereka yang berani memahaminya.”

Pagi itu, pasar dunia kembali stabil — setidaknya di permukaan. Namun Rafiq tahu, keseimbangan baru sedang tercipta di bawahnya.

Three Oceans Imperium (TOI) masih berdiri, tapi kini hanya bayangan dari kejayaannya. Eropa dan Amerika kehilangan arah. Asia menunggu saatnya.

Dan Indonesia — yang dulu dianggap penonton — kini diam-diam menjadi penyimpan kunci cadangan dari sistem global yang baru.

Rafiq menatap matahari terbit di atas Teluk Jakarta. Dalam pikirannya, hanya satu kalimat bergema:
“Perang senyap mata uang ini baru dimulai. Dan kita semua sudah menjadi bagian darinya.”

BERSAMBUNG

 

EDITOR: REYNA

BACA JUGA: 

Novel “Imperium Tiga Samudra” (12) – Meja Baru Asia

Novel “Imperium Tiga Samudra”(11) – Dialog Dibawah Menara Asap

Novel “Imperium Tiga Samudra” (10) – Perang Para Dewa

Last Day Views: 26,55 K