Oleh: Budi Puryanto
Beijing Ketakutan
Di lantai 27 Zhongnanhai, rapat darurat Politbiro berlangsung tanpa senyum, tanpa basa-basi, tanpa secangkir teh panas seperti biasa.
Laporan final dari Akademi Sains Militer Tiongkok baru saja masuk: Omega hilang. Bukan rusak. Bukan kabur. Hilang.
Omega adalah proyek yang bahkan sebagian besar anggota Politbiro tidak mengetahuinya—alasan kenapa Ketua Komisi Militer Pusat, Jenderal Liang Guang, tampak pucat seperti baru melihat hantu.
“Jika mereka mencuri Omega…” suara Jenderal Liang bergetar, “…mereka bisa memahami inti dari Sistem Navigasi Posisi Dalam (DPS) kita. Mereka bisa mempelajari arsitektur komunikasi bawah-samudra. Itu berarti… mereka bisa masuk ke backdoor kita.”
Perdana Menteri Ru Ling hanya menghela napas pendek.
“Tidak ada ‘jika’. Ada satu negara yang punya kapasitas menghilangkan benda sebesar itu di dalam Palung Wallace tanpa jejak.”
“Amerika?” tanya seorang anggota Politbiro.
“Amerika, siapa lagi?,” jawabnya cepat.
Tapi wajah Ketua Ru menunjukkan ketakutan yang lebih besar. Mereka tidak hanya kehilangan Omega. Mereka kehilangan kendali narasi. Dalam 24 jam terakhir, sensor internet Tiongkok bekerja tiga kali lipat, menurunkan ratusan ribu unggahan spekulatif. Tapi rumor tetap lolos, merembes ke ruang-ruang privat WeChat:
“Ada proyek rahasia di Indonesia yang gagal.”
“China kehilangan robot mata-mata di lautan.”
Beijing tahu satu hal: Indonesia sudah mulai mencium bau permainan besar. Jenderal Liang mengetuk meja dengan keras.
“Luncurkan Haiyan-X, turunkan ke garis selatan. Tutup akses intelijen kita. Tidak boleh ada negara lain menemukan Omega terlebih dahulu.”
Perdana Menteri Ru menggeleng perlahan.
“Tidak… Kita tidak butuh robot baru. Kita butuh diplomasi.”
Ia menambahkan, dengan nada yang membuat ruangan hening.
“Dan kita butuh kambing hitam.”
Semua tahu apa artinya: Beijing akan membalikkan narasi, menyalahkan pihak lain agar tidak tampak kehilangan kendali. Dan pilihan paling mudah selalu sama: Washington.
Washington, CIA Terkejut
Di gedung CIA Langley, ruang situasi penuh grafik sonar, peta 3D, dan laporan-laporan yang dibuka secara terburu-buru. Omega hilang—dan Amerika serius terkejut, meskipun yang hilang itu bukan proyek mereka.
Deputy Director CIA, Linda Morse, memasuki ruangan dengan matanya yang tajam bak pisau operasi.
“Let me be clear,” katanya sambil menatap semua analis.
“We did not take Omega. But someone wants Beijing to think we did.”
Laporan intelijen internal menunjukkan noise sonar intens sekitar 4 menit sebelum Omega menghilang. Anomali magnetik. Lalu… senyap total.
Seorang analis muda berkata pelan, “It wasn’t a capture… It was a suppression.”
Direktur Morse menatap layar satelit.
“Suppression berarti satu hal. Teknologi yang belum kita miliki — atau belum pernah dilaporkan ke publik.”
Lalu masuk laporan diplomatik terbaru: Beijing menyiapkan konferensi pers internasional. Nada pernyataannya agresif.
“Damn it…” gumam Morse.
“China akan menuduh kita.”
Ketua Komite Intelijen Senat pun ditelepon. Gedung Putih panik.
Presiden mengirim memo singkat.
“Temukan Omega duluan. Apa pun harganya.”
Washington tahu, jika Omega ditemukan di tangan negara lain—entah Jepang, Australia, Rusia, India, atau bahkan Indonesia—itu adalah malapetaka strategis.
Omega bukan sekadar robot laut. Ia membawa signature code yang bisa mengungkap peta komunikasi bawah laut Tiongkok selama 20 tahun ke depan.
Jika Amerika menemukannya, AS menguasai Asia Pasifik. Kalau Beijing menemukannya, mereka selamat. Kalau negara ketiga menemukannya… dunia akan berubah.
CIA dan US Navy menurunkan tiga kapal selam kelas Virginia ke Laut Banda. Tanpa lampu. Tanpa radio. Tanpa izin.
Operasi, diberi nama: Operation Blue Serpent.
Pada jam 02.17 waktu Indonesia, dua dokumen dilahirkan dari dua ibu kota berbeda.
Dokumen Beijing berisi: “Omega diambil Amerika.”
Dokumen Washington menyatakan: “Omega diambil pihak ketiga untuk memprovokasi konflik AS–China.”
Namun ada satu kalimat yang identik dalam kedua dokumen itu: “Perlu pengawasan ketat terhadap Indonesia.”
Karena keduanya akhirnya sadar satu hal yang sama: Hilangnya Omega bukan kebetulan. Tidak ada badai. Tidak ada tabrakan. Tidak ada gangguan alam.
Ada tangan manusia. Dan tangan itu muncul di wilayah yang sama-sama mereka anggap netral—wilayah yang juga sangat sensitif: Palung Wallace.
Hawa Panas di Jakarta
Menjelang fajar, Menko Polhukam menerima dua pesan diplomatik: satu dari Duta Besar China, satu dari Duta Besar Amerika. Dua-duanya meminta hal yang sama: “Penjelasan mengenai aktivitas di Palung Wallace.”
Jakarta terdiam.
Belum ada yang tahu bahwa TNI AL baru saja memutuskan memindahkan Dokumen Rahasia Palung Wallace dari Gudang Arsip AL ke tempat yang lebih aman.
Karena bagi Indonesia, hilangnya Omega hanya menambah satu pertanyaan baru: Jika AS tidak mengambilnya, dan China kehilangan kendali……siapa pemain ketiga di wilayah kita?
Satu hal pasti: Ini tidak sekedar bicara tentang hilangnya sebuah mesin. Ini sudah memasuki babak baru: perebutan kendali samudra terdalam di Asia Tenggara itu.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
BACA JUGA:
Novel “Imperium Tiga Samudra” (22) – Dokumen Rahasia TNI AL Tentang Palung Wallace
Novel “Imperium Tiga Samudra” (21) – Auto Cloce, Pintu Yang Tidak Boleh Dibuka Lagi
Novel “mperium Tiga Samudra” (20) – “Palung Wallace”, Energi Yang Tak Seharusnya Bangkit
Related Posts

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (13): Membantu Bosnia: Diplomasi Moral dan Dukungan Senjata untuk Muslim Eropa

Novel “Imperium Tiga Samudra” (22) – Dokumen Rahasia TNI AL Tentang Palung Wallace

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (12): Modernisasi Militer, Stabilitas Keamanan, dan Ekspansi Pertahanan Indonesia

Novel “Imperium Tiga Samudra” (21) – Auto Cloce, Pintu Yang Tidak Boleh Dibuka Lagi

Novel “Imperium Tiga Samudra” (20) – “Palung Wallace”, Energi Yang Tak Seharusnya Bangkit

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (11): Pengakuan Dunia, Diplomasi Damai, dan Kiprah Internasional Indonesia di Era Soeharto”

Novel “Imperium Tiga Samudra” (19 ) – Drone Bawah Laut China

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (10): Warisan Stabilitas Makro dan Fondasi Ekonomi Jangka Panjang

Novel “Imperium Tiga Samudra” (18 ) – Shadow Protocol

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (9): Stabilitas Keamanan dan Modernisasi Militer Indonesia


No Responses